Senin, 03 Juni 2013

SKRIPSI LENGKAP FULL BATASAN SUAMI DALAM NUSYUZ

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Konsep sebuah “keluarga” biasanya tidak dapat dilepaskan dari empat perspektif berikut: (1) keluarga inti (nuclear family); bahwa institusi keluarga terdiri dari tiga komponen pokok, suami, istri dan anak-anak. (2) keluarga harmonis. (3) keluarga adalah kelanjutan generasi. (4) keluarga adalah keutuhan perkawinan. Dari keempat perspektif ini bisa disimpulkan bahwa institusi keluarga (rumah tangga) adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu (yang terikat dalam perkawinan), anak-anak yang bertalian erat dengan unsur kakek-nenek serta saudara yang lain, semua menunjukkan kesatuanya melalui harmoni dan adanya pembagian peran yang jelas.
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan saja untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia yaitu untuk membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan yang maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban antara masing-masing suami dan istri tersebut. Apabila hak dan kewajiban mereka terpenuhi, maka dambaan berumah tangga dengan didasari rasa cinta dan kasih sayang akan dapat terwujud.
Umumnya setiap orang yang akan berkeluarga pasti mengharapkan akan terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Namun kanyataanya tidak selalu sejalan dengan harapan semula. Ketegangan dan konflik kerap kali muncul, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki pun lumrah terjadi, semua itu sudah semestinya dapat diselesaikan secara arif dengan jalan bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Dan pada kenyatannya banyak persoalan dalam rumah tangga meskipun terlihat kecil dan sepele namun dapat mengakibatkan terganggunya keharmonisan hubungan suami istri. Sehingga memunculkan apa yang biasa kita kenal dalam hukum Islam dengan istilah nusyuz.
Istilah nusyuz atau dalam bahasa Indonesia biasa diartikan sebagai sikap membangkang, merupakan status hukum yang diberikan terhadap istri maupun suami yang melakukan tindakan pembakangan atau “purik” (Jawa) terhadap pasanganya. Dan ini bisa disebabkan oleh berbagai alasan, mulai dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan pasanganya, hak-haknya yang tidak terpenuhi atau adanya tuntutan yang berlebihan terhadapnya. Jadi persoalan nusyuz seharusnya tidak selalu dilihat sebagai persoalan perongrongan yang dilakukan salah satu pihak terhadap yang lain, tetapi juga terkadang harus dilihat sebagai bentuk lain dari protes yang dilakukan salah satu pihak terhadap kesewenang-wenangan pasanganya.
Selama ini memang persoalan nusyuz terlalu dipandang sebelah mata. Artinya, nusyuz selalu saja dikaitkan istri, dengan anggapan bahwa nusyuz merupakan sikap ketidakpatuhan istri terhadap suami, sehingga istri dalam hal ini selalu saja menjadi pihak yang dipersalahkan. Begitu pula dalam kitab-kitab Fiqh, persoalan nusyuz seakan-akan merupakan status hukum yang khusus ada pada perempuan (istri) dan untuk itu pihak laki-laki (suami) diberi kewenangan atau beberapa hak dalam menyikapi nusyuznya istri tersebut. Tindakan pertama yang boleh dilakukan suami terhadap istrinya adalah menasehatinya, dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga. Apabila tindakan pertama ini tidak membawakan hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisah tempat tidurnya. Apabila dengan tidakan kedua istri masih tidak mau berubah juga, suami diperbolehkan melakukan tindakan ketiga yaitu memukulya.  Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qura'an;
والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن فان اطعنكم فلا تبغو عليهن سبيلا

Dalam kompilasi hukum islam (KHI) sendiri disebutkan dalam pasal 80 ayat (7), “kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz”.  Yang dimaksud dengan kewajiban suami di sini adalah kewajiban memberi nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri. Seperti yang telah dijelaskan dalam ayat (4) dalam pasal yang sama sebelumnya.
Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan suami tersebut sepertinya sudah menjadi hak mutlaknya dengan adanya justifikasi hukum yang menguatkannya. Dan hal itu dapat ia lakukan setiap kali ada dugaan istrinya melakukan nusyuz. Dalam suatu kutipan kitab klasik dinyatakan, “nusyuz ialah wanita-wanita yang diduga meninggalkan kewajibanya sebagai istri karena kebenciannya terhadap suami, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami dan menentang suami dengan sombong.
Apabila kita pahami pernyataan dalam kitab tersebut, baru pada taraf menduga saja seorang suami sudah boleh mengklaim istrinya melakukan nusyuz, jelas, posisi istri dalam hal ini rentan sekali sebagai pihak yang dipersalahkan. Istri tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, apalagi mengkoreksi tindakan suaminya. Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat leluasa untuk menghukumi apakah tindakan istrinya sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz atau tidak.
Orang sering mengkaitkan konsep nusyuz sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ada benarnya juga, karena jika istri nusyuz suami diberikan berbagai hak dalam memperlakukan istrinya. Mulai dari hak untuk memukulnya, tidak memberinya nafkah baik nafkah lahir maupun batin, suami juga dapat melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban lain terhadap istrinya. Tentu saja pihak istri yang terus menjadi korban eksploitasi baik secara fisik, mental maupun seksual. Hal itu diperparah lagi dengan belum adanya aturan yang jelas dalam memberikan batasan atas hak-hak suami tersebut, sehingga kesewenang-wenangan suami dalam hal ini sangat mungkin sekali terjadi. Oleh karena itu ketika berbicara persoalan istri yang nusyuz dan hak-hak yang menjadi kewenangan suami perlu juga diajukan batasan-batasan hak suami itu sendiri.
Di pihak lain perlu juga diupayakan agar terciptanya sebuah ruang bagi istri untuk bisa melakukan pembelaan atas kemungkinan segala tindak kekerasan terhadap dirinya. Dan hal itu bisa dilakukan dengan menyediakan seperangkat aturan hukum pidana yang dapat melindungi terjadinya tindak kekerasan terhadap mereka. Hal itu ditempuh karena persoalan nusyuz berangkat dari aturan hukum yang telah diterima oleh masyarakat sehingga dalam upaya menyikapinya pun harus menggunakan perspektif hukum pula. Dan itu dapat diupayakan jika batas-batas hak suami dalam memperlakukan istri saat nusyuz telah jelas aturanya, sehingga jika sewaktu-waktu suami melampaui batas-batas yang menjadi haknya, istri dapat melakukan tuntutan pidana.    
Di sinilah yang menjadi nilai penting dari penelitian dalam skripsi ini nanti, disamping untuk mengetahui sampai dimana batas-batas hak suami dalam memperlakukan istrinya yang nusyuz sekaligus menegaskan adanya kemungkinan sanksi pidana atas suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut. Hal ini dengan tujuan untuk melindungi istri dari  tindakan sewenang-wenang suami. Apalagi adanya rencana untuk menjadikan persoalan pidana dalam rumah tangga menjadi wewenang pengadilan agama.

B.    Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, maka pokok masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Sampai mana batasan hak-hak suami dalam memperlakukan istri yang nusyuz.                                                                  
2.    Adakah ketentuan sanksi pidana dalam menindak suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut.

C.    Tujuan dan Kegunaan
1.    Tujuan
a. Mengetahui sampai dimanakah batas-batas hak suami dalam                                                                                                                           memperlakukan istrinya saat nusyuz.
b. Menemukan ketentuan hukum dalam bemberikan sanksi pidana terhadap suami yang melampaui batas-batas haknya dalam memperlakukan istrinya yang nusyuz.
2.    Kegunaan
a.    Sebagai sumbangsih pemikiran dalam persoalan nusyuz agar lebih memiliki nilai keadilan.
b.    Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan Islam khususnya dalam bidang keluarga Islam.
c.    Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pembuat hukum dalam merumuskan ketetapan-ketetapan hukum, khususnya yang berkaitan dengan upaya perlindungan hukum bagi perempuan atas kekerasan dalam rumah tangga.

D.    Telaah Pustaka
Sejauh telaah yang dilakukan oleh penyusun atas berbagai karya tulis baik berupa buku-buku ilmiah, jurnal, majalah ataupun yang lain, telah banyak ditemukan karya-karya yang membahas persoalan nusyuz, hal ini tentu saja karena tema nusyuz sendiri termasuk dalam kategori persoalan klasik. Namun dalam mencari referensi yang membicarakan tentang batas-batas hak suami dalam memperlakukan istrinya saat nusyuz dan mengkaitkannya dengan kemungkinan sanksi pidananya maka penyusun belum menemukan adanya sebuah karya yang membahasnya dalam satu bahasan secara khusus. Hal ini mungkin karena kedua persoalan tersebut berasal dari dua wilayah hukum yang berbeda, yang satu dari wilayah hukum agama yang bersifat privat sedangkan yang satunya dari wilayah hukum negara yang bersifat publik.
Di antara telaah yang sudah dilakukan penyusun terhadap karya-karya yang terbatas itu terdapat beberapa karya yang kiranya relevan untuk dijadikan sebagai acuan dalam mengkorelasikan kedua persoalan tersebut, yaitu karya-karya yang mencoba mengupas persoalan nusyuz sebagai bagian isu-isu wacana keperempuanan kontemporer baik itu yang berupa refleksi pemikiran dalam menggukuhkan pemahaman yang telah ada ataupun upaya untuk mendikontruksinya. Dan di antaranya yang dapat disebutkan di sini adalah:
Wajah Baru Relasi Suami-Istri; Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn. Yang dikeluarkan oleh forum kajian kitab kuning (FK3). Buku ini merupakan sebuah telaah secara kritis terhadap kitab ‘Uqud al-Lujjain karangan syaikh Nawawi yang sangat popular di kalangan pesantren. Dalam membicarakan hak-hak suami ketika memperlakukan istrinya yang nusyuz, pembahasannya diawali dengan menjelaskan makna surat al-Nisa’ (4):34. Dan pisahlah dari tempat tidur mereka, maksudnya adalah para suami dianjurkan untuk meninggalkan para istri dari tempat tidur mereka bukan menghindari berbicara dan memukul. Sebab, memisahkan diri dari tempat tidur memberi dampak yang jelas dalam mendidik wanita. Sedangkan kalimat “dan pukullah mereka”, maksudnya adalah wanita-wanita yang nusyuz itu boleh dipukul dengan pukulan yang tidak membahayakan tubuh, hal itu dilakukan kalau memang membawa faedah. Jika tidak, maka tidak perlu melakukan pemukulan. Bahkan lebih baik jika suami memaafkan. 
Kekerasan Terhadap Istri. Buku yang ditulis oleh Fathul Djannah, Dkk. ini mencoba untuk mengupas tindak kekerasan terhadap istri secara tuntas mulai dari faktor-faktor penyebabnya, konteks sosial budaya dan juga penjelasan tentang jenis-jenis tindak kekerasan itu sendiri. Yang juga menarik di sini adalah sebuah sub bahasannya yang mencoba untuk menyibak kekerasan terhadap istri sebagai sebuah fenomena dari kesalahan pemahaman terhadap agama. Di sini dinyatakan, dari hasil jawaban responden yang diteliti mereka menyatakan di antara ayat al-Quran yang sering dipahami secara salah oleh para suami adalah seperti yang ada dalam surat al-Nisa’ (4):34 dan surat al-Baqoroh (2):223.
 Matinya Perempuan, Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki. Karya Asghar Ali Engineer, diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul; The Quran, Women and Society. Salah satu sub bahasan yang menarik di dalamnya adalah sebuah analisa tentang akar kekerasan terhadap perempuan dengan melihat sosio historis dan pembongkaran atas penafsiran ayat-ayat  al-Qur’an yang dijadikan legalisasinya.
Salah satunya adalah penafsiran terhadap surat al-Nisa’ (4):34 yang banyak dipahami sebagai legalitas terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan.Hal ini dikarenakan kebanyakan penafsir laki-laki membawa bias pilihannya dan memfokuskan pada apa yang menjadi kepentinganya. Dengan demikian surat al-Nisa’ (4):34 dipilih dalam menetapkan hukum bahwa Allah membolehkan memukul istri yang tidak mau tunduk terhadap suami. Interpretasi semacam ini semakin mendapatkan pengakuan dalam masyarakat ketika Islam memasuki era monarki dan feodal, saat perempuan kembali lagi tertundukkan secara sosial dan politis. 
Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan, tentang isu-isu keperempuanan dalam Islam. Karya Syafiq Hasyim. Di sini banyak masalah-masalah keperempuanan  yang telah dikonsepsikan pada masa klasik dicoba untuk diurai kembali (dekontruksi) sebagai langkah awal dalam upaya memperjuangkan nasib perempuan baik dalam wilayah publik maupun domestik. Dalam wilayah domestik, salah satunya adalah dengan usaha menafsirkan kembali konsep nusyuz yang selama ini lebih mengarah pada pengukuhan otoritas kaum laki-laki dan subordinasi kaum perempuan dalam rumah tangga.
Fiqh menurutnya tampak hanya mempertimbangkan kepentingan laki-laki sehingga kedudukan perempuan dalam hal ini sangat lemah. Untuk itu dalam memahami persoalan nusyuz menurutnya harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, prinsip keadilan. Dengan berlandasakan keyakinan dasar bahwa al-Quran selalu dalam posisi yang adil ketika mengemukakan persoalan, artinya ketika istri melakukan nusyuz, harus juga dilihat apa penyebabnya. Tidak hanya dipahami cuma pada sisi ketidaktaatan istri, tetapi harus dipahami secara menyeluruh, misalnya, bagaimana perlakuan suami terhadap istrinya, apakah hak-hak istri sudah dipenuhi suami atau belum. Kedua, prinsip Muasyarah bil Ma’ruf. Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip umum dari keseluruhan tata hubungan suami istri. Baik istri maupun suami, masing-masing harus saling mempergauli secara baik. Apabila prinsip ini benar-benar dilaksanakan, kecil kemungkinan akan terjadinya nusyuz.
Perempuan Kekerasan dan Hukum. Buku yang ditulis oleh Aroma Elmina Martha ini diawali dengan uraian panjang tentang fenomena kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam wilayah domestik atau rumah tangga. Walaupun istilah kekerasan terhadap perempuan sendiri tidak digunakan dalam rumusan hukum. KUHP telah menempatkan masalah kekerasan terhadap perempuan sebagian besar dalam bab kejahatan dengan kesusilaan yang termuat dalam bab XIV. Begitu pula pasal 356 tentang penganiayaan terhadap anggota keluarga termasuk terhadap istri dimasukkan dalam bab penganiayaan.
Pasal-pasal 351, 354 dan 355, yang semuanya mengatur tentang penganiayaan, justru hukumnya diperberat dengan menambah sepertiganya, jika kejahatan tersebut dilakukan kepada ibunya, bapaknya, istri (suami) atau anak. Secara sepesifik, domestic violence diletakkan sebagai unsur yang memberatkan (aggravating circumtances). Dan dalam KUHP sendiri tindak kekerasan yang telah diatur lebih banyak merupakan tindak kekerasan fisik, seperti pornografi, perkosaan, perbuatan cabul, penganiayaan, pembunuhan dan penculikan. Lebih lanjut lagi dijelaskan, bahwa sejumlah tindak kekerasan fisik lainya tidak diberi sanksi pidana, dan akibatnya adalah walaupun terjadi viktimisasi terhadap perempuan, tidak dilakukan tindakan hukum apa pun terhadap perempuan, misalnya inces, marital rape dan sexual harrasment. 

E.    Kerangka Teoritik
Secara etimologis, nusyuz berarti “menentang” (al-isyyan). Istilah nusyuz sendiri diambil dari kata al-nasyaz, artinya bangunan bumi yang tertinggi (ma-irtafa’a minal ardhi). Makna ini sesuai dengan pengertian yang ada dalam surat al-Mujadilah (58):11, “waidza qila unsyuzu”. Secara terminologis nusyuz berarti tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat kepada suami.  Imam Roghib menyatakan bahwa nusyuz merupakan perlawanan terhadap suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan perselingkuhan.
Al-Thobari juga mengasumsikan makna kata nusyuz ini dengan mengartikannya sebagai  suatu tindakan bangkit melawan suami dengan kebencian dan mengalihkan pandangan dari suaminya. Dia juga mengatakan makna literer dari nusyuz adalah menentang dan melawan. Sedangkan menurut Zamakhsari, ia mengatakan nusyuz bermakna menentang suami dan berdosa terhadapnya (an ta’sa zawjaha). Imam Fakhr al-Din al-Rozi juga berpendapat bahwa nusyuz juga dapat disamakan dengan perkataan (qowl) atau perbuatan (fa’l). Artinya, ketika istri tidak sopan terhadap suami ini berarti dengan perkataan dan ketika ia menolak tidur bersamanya atau berbuat sesuatu seperti tidak mematuhinya maka disebut dengan perbuatan (fa’l). 
Rumusan konsep nusyuz yang lebih menyudutkan pihak perempuan tersebut, menimbulkan implikasi tidak hanya dalam memahami makna ayat al-Quran yang membicarakanya, seperti surat al-Nisa’ (4):34 dan 128 tapi juga berimplikasi dalam memahami kedudukan dan hak-hak perempuan dalam Islam. Ayat dari surat tersebut banyak dikutip oleh para ahli hukum Islam untuk menunjukkan bahwa perempuan benar-benar berada di bawah laki-laki dan bahwa laki-laki memiliki hak-hak tertentu dalam memperlakukannya, terutama saat perempuan itu (istri) melakukan pembangkangan atau nusyuz.
Hak-hak yang dimiliki laki-laki (suami) dalam memperlakukan istrinya yang sedang nusyuz dengan mengacu pada surat al- Nisa’ (4) 34 ada tiga macam: (1) menasehati istri yang sedang nusyuz. (2) memisahi ranjangnya.(3) boleh memukulnya. Walaupun dalam memahami ketiga hal tersebut banyak memunculkan penafsiran-penafsiran yang berbeda mengenai tujuannya, apakah murni sebagai pendidikan (li-ta’dzib) atau lebih merupakan sebagai bentuk penghukuman suami terhadap istrinya. Kebanyakan panafsir klasik sepakat bahwa pemukulan tersebut dilakukan setelah dicoba berbagai cara untuk mempengaruhi istri,  jika dia tetap keras kepala baru diberikan pukulan ringan, bukan untuk melukai tapi untuk menghukum. Namun apa pun alasannya perosalan hak-hak suami dalam memperlakukan istri yang nusyuz kiranya tetap saja menjadi ajang legitimasi yang membolehkan tindak kekerasan suami terhadap istri.
Hal itu tentu saja berkaitan dengan batas-batas pengertian nusyuz yang belum jelas dan juga pemberian status hukum nusyuz yang merupakan hak seorang suami. Artinya, suami berhak menentukan apakah istrinya melakukan nusyuz atau tidak. Seperti halnya yang dijelaskan dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn tentang beberapa hal yang membolehkan seorang memukul istrinya: -jika istri menolak berhias dan bersolek di hadapan suami; -menolak ajakan untuk tidur; -keluar rumah tanpa izin; -memukul anak kecilnya yang sedang menangis; -mencaci maki orang lain; -menyobek-nyobek pakaian suami; -menarik jenggot suami (sebagai penghinaan); -mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, seperti bodoh, dungu. Meskipun suaminya mencaci lebih dahulu; -menampakkan wajahnya kepada orang lain yang bukan mahramnya; -memberikan harta suami di luar batas kewajaran; -menolak menjalin hubungan kekeluargaan dengan saudara-saudara suami.
Begitu pula ketika kita mencoba memahami hak suami dalam memisahi ranjang istri yang nusyuz. Tidak ada ketentuan yang menjelaskan secara terperinci sampai dimana batasan-batasannya. Walaupun ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa hijr yang dilakukan suami itu boleh dilakukan asal tidak melebihi tiga hari. Sedangkan yang lain berpendapat dengan menganalogikannya pada batas hak ila’ yaitu empat bulan. Meskipun begitu perlakuan hijr suami itu sendiri  dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual terhadap istri. Sebab jika dikembalikan lagi pada tujuan asal perkawinan yang salah satunya adalah untuk pemenuhan kebutuhan biologis, maka sikap tidak perduli terhadap kebutuhan biologis pasangannya yang ditunjukkan dengan cara menjahui ranjangnya dan menghindari dalam berhubungan seks merupakan tindakan yang salah. Karena kebutuhan itu tidak hanya merupakan hak suami saja namun juga merupakan hak istri.  Seperti yang dijelaskan oleh beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menyinggung tentang arti pentingnya penyaluran kebutuhan biologis secara sehat dan benar. Seperti pada surat al-Baqoroh (2):187
احل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسائكم هن لباس لكم وأنتم لباس لهن علم الله انكم كنتم تختانون انفسكم فتاب عليكم وعفاعنكم

Surat al-Baqoroh (2):223

نسائكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
       Surat al-Ma’arij (70):29-31

و الذين هم لفروجهم حافضون0 إلا على ازواجهم اوماملكت ايمانكم فإنهم غير ملو مين

Tidak hanya sebatas hak untuk memisahi ranjang dan memukul, suami pun masih memiliki hak yang lain dalam memperlakukan istrinya yang sedang nusyuz. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sesuai dengan penghasilan suami menanggung:
a.    nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri
b.    biaya pengobatan bagi istri dan anak
c.    biaya pendididkan bagi anak
Kewajiban-kewajiban di atas diperjelas lagi dengan ayat (5) kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. Begitu pula pada ayat (7) dijelaskan lagi dengan menyatakan; kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (5) gugur apabila istri nusyuz. 
Harus dicatat, pemberian nafkah itu berarti meliputi makanan, tempat tinggal dan pakaian. Dan hal itu wajib bagi suami ketika istri mulai tinggal bersamanya dan mengizinkan hubungan badan setelah pernikahan, asalkan tentu saja istri mampu untuk itu.  Oleh karena itu sudah semestinya jika kewajiban itu tidak hilang hanya karena perkara-perkara sepele seperti hal-hal yang diklaim suami terhadap istrinya saat nusyuz. Menurut Ibnu Hazm bahwa apa pun alasannya memberi nafkah merupakan kewajiban pihak suami sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik istri masih dibuaian, atau berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau telah yatim, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami.  Tidak mudah sebenarnya melacak sebab-sebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, karena tidak bisa dipungkiri kondisi sosial masyarakat kita masih beranggapan bahwa persoalan dalam rumah tangga merupakan sesuatu yang tabuh diungkapkan karena hal itu adalah urusan internal dan privasi sebuah keluarga.
Setidaknya ada beberapa faktor yang berpeluang dalam menimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap istri. Salah satunya adalah kekeliruan dalam memahami ajaran agama. Seperti kekeliruan dalam memahami surat An-Nisa’ (4):34 yang  sering dianggap sebagai pembolehan pemukulan suami terhadap istri. Atau juga juga terhadap ayat dalam surat al-Baqoroh (2):223 yang banyak dipahami sebagai pemberian hak terhadap suami dalam melakukan eksploitasi seksual terhadap istri.  Semua itu tentu saja tidak terlepas dari asumsi dasar bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan dan mereka merupakan pihak yang berkuasa. Paradigma kekuasaan semacam itu tampaknya juga melahirkan implikasi dalam teori perkawinan. Islam memandang bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menghalalkan laki-laki dan perempaun untuk menikmati naluri seksualnya. Melalui akad ini, istri dianggap milik laki-laki atau suami dengan kepemilikan intifa’. Meskipun menurut sebagian ulama Syafi’iyyah, akad nikah bukanlah akad tamlik (pemilikan), melainkan akad ibadah (pilihan).
Sementara itu, seperti yang diketahui walaupun istilah kekerasan terhadap perempuan belum digunakan dalam rumusan hukum. KUHP menempatkan sebagian besar dalam bab kejahatan dengan kesusilaan. Khusus tentang penganiayaan terhadap anggata keluarga termasuk terhadap istri dijelaskan dalam pasal 356 dalam bab penganiayaan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pidana dalam pasal 351,353,354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah,istrinya atau anaknya.
  
F.    Metode Penelitian
1.    Jenis penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian pustaka (Library research), yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, uku-buku atau karya-karya tulis yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Sumber tersebut diambil dari berbagai karya yang membicarakan mengenai persoalan-persoalan keluarga, hak-hak dan perlindungan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan beberapa literatur tentang hukum pidana baik dari perspektif Islam maupun hukum positif.
2.    Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, digunakan untuk melakukan inventarisasi dan identifikasi secara kritis analitis dengan melalui proses klasifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang telah berlaku selama ini dengan tujuan pertama menetapkan kreteria identifikasi untuk menyeleksi manakah norma-norma yang dapat disebutsebagai norma hukum positif, mana yang bersifat sebagai norma social, dan mana yang bersifat non hukum. Kedua, melakukan koreksi terhadap norma-norma yang teridentifikasi sebagai norma hukum (posif). Ketiga, mengorganisir norma-norma yang sudah diidentifikasi dan dikumpulkan kedalam suatu sistem yang kompherensif.
3.    Pendekatan masalah
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah doktrinal research, pendekatan tersebut dipakai untuk menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku,  berupa Pendapat-pendapat ahli hukum baik hukum Islam maupun hukum positif umum untuk selanjutnya dianalisa secara kritis. Tidak lupa pula dengan mengadkan telaah terhadap fakta-fakta hukum yang relevan kemudian mengkorelasikannya dengan doktrin dan asaa-asas hukum tersebut.
4.    Tehnik pengumpulan data
Tehnik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tehnik dokumentatif. Yaitu dengan mengumpulkan data primer yang diambil dari buku-buku yang secara lansung berbicara tentang permasalahan yang diteliti dan juga dari data-data sekunder yang secara tidak langsung membicarakanya namun relevan untuk dikutip sebagai pembanding.
5.    Analisa data
Sedangkan metode yang dipakai dalam menganalisa data agar diperoleh data yang memadai dan valid adalah dengan mengunakan analisa data kualitatif. Dalam oprasionalnya, data yang telah diperoleh digeneralisir, diklasifikasikan kemudian dianalisa dengan mengunakan penalaran induktif. Penalaran induktif dalam prosesnya bertolak dari premisa-premisa yang berupa norma-norma hukum yang diketahui, dan berahir (sementara) pada penemuan asas-asas atau doktrin hukum.  Aplikasi dari metode tersebut dalam penelitian ini adalah bertitik tolak dari upaya untuk menemukan asas-asas dan doktrin hukum tentang Batas-batas Hak Suami dalam Memperlakukan Istrinya yang Nusyuz dan Kemungkinan Sanksi Pidana bagi yang Melampaui Batas-batas Haknya yang telah ada untuk digeneralisir, diklasifikasi dan dianalisa guna menemukan pemahaman baru yang lebih komprehensif dan sistematis.

G.    Sistematika pembahasan
Dalam upaya mengkaji pokok permasalahan yang ingin digali dalam skripsi ini, penyusun mencoba untuk menguraikannya dalam lima bab bahasan, dimana antara masing-masing bab diposisikan saling memiliki korelasi yang saling berkaitan secara logis. Seperti biasa dalam skripsi nanti akan diawali dengan pendahuluan dn diakhii dengan bab kelima, yaitu penutup.
Bab. I tentang pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab. II seputar masalah nusyuz, yang mencakup pengertian nusyuz, bentuk-bentuk perbuatan nusyuz, dasar hukum perbuatan nusyuz dan akibat hukumnya.
Bab. III berbicara tentang hak-hak suami dan batasan-batasannya dalam memperlakukan istri yang nusyuz, bab ini meliputi bahasan tentang macam-macam hak suami, landasan hukumnya dan batasan-batasan hak suami itu sendiri.
Bab. IV mengupas seputar tinak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri yang nusyuz dan kemungkinan sanksi pidana, mencakup pembahasan tentang tindak kekerasan terhadap istri secara umum, nusyuz dan rentannya tindak kekerasan terhadap istri, upaya penyelesaian dalam persoalan nusyuz serta kemungkinan sanksi pidana bagi suami batas-batas kewenanganya.
Bab. V penutup yang mencakup kesimpulan skaligus saran-saran dari penyusun.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar