BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dimaksudkan untuk mempermudah
pemahaman dan pengertian serta menghindari dari kesalahpahaman dalam
menafsirkan judul maupun istilah-istilah dalam judul. Sebab kalau
istilah-istilah judulnya terlalu luas, maka tidak akan diperoleh pengertian
konkrit. Adapun istilah-istilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh
Pengaruh berarti sesuatu yang dapat membentuk atau mengubah
sesuatu yang lain.[1]
2. Bermain
Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau
tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan
informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak.[2]
Bermain secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua
kategori, yaitu aktif dan pasif (“hiburan”).[3]
Kegiatan bermain aktif adalah kegiatan yang memberikan kesenangan dan kepuasan
pada anak melalui aktifitas yang mereka lakukan sendiri.[4]
Sedangkan kegiatan bermain pasif atau dikenal sebagai hiburan adalah kegiatan
dimana anak memperoleh kesenangan bukan berdasarkan kegiatan yang dilakukannya
sendiri.[5]
Dan dalam pembahasan bermain, di sini penulis tegaskan pada
bermain aktif, karena untuk membatasi persoalan supaya tidak terlalu
melebar.
- Perkembangan Sosial
Perkembangan
Sosial berarti perkembangan
tingkah laku anak
dalam
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat di mana
anak berada.[6]
4. Anak Prasekolah
Menurut pendapat
Biechler dan Snowman (1993), yang
dimaksud
dengan
anak prasekolah adalah mereka yang berusia 3-6 tahun.[7]
5. Perspektif
Dalam Kamus Ilmiah Populer, kata perspektif diartikan
pengharapan, peninjauan, tinjauan, padang
luas.[8]
6.
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
diartikan sebagai proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai pada diri peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi
fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala
aspeknya.[9]
Berdasarkan penegasan istilah
diatas, maka yang
dimaksud dengan
judul “Pengaruh Bermain Bagi
Perkembangan Sosial Anak Prasekolah
Perspektif Psikologi Pendidikan Islam” adalah suatu kajian, telaah,
dan penelitian tentang teori dan konsep perkembangan anak, berkaitan dengan
teori bermain dan pengaruhnya terhadap perkembangan sosial anak prasekolah
sebagai upaya untuk menumbuh-kembangkan potensi anak melalui bermain.
B. Latar Belakang Masalah
Manusia, menurut pandangan Islam, makhluk yang istimewa.
Ia tidak hanya diciptakan berbeda akan tetapi juga melebihi makhluk-makhluk
lainnya. Al-Qurán menegaskan bahwa manusia diciptakan Tuhan dalam wujud
sebaik-baik kejadian. Allah Berfirman:
لَقَدْ
خلقْنَا الإنسان في أحسن تقويم ( سورة
التين : (
“Sesungguhnya Kami telah mencisptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (Q.S. At-Tiin: 4)[10].
Kelebihan manusia di banding makhluk-makhluk lainnya,
terutama, karena Ia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang dilengkapi oleh Allah
dengan potensi yang bersifat jasmaniah dan rohaniah untuk belajar dan
menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia itu
sendiri. Potensi-potensi itu ada pada organ-organ fisio-psikis manusia yang
berfungsi sebagai alat penting untuk melakukan kegiatan belajar. Adapun ragam
alat fisio-psikis itu, seperi apa yang tertuang dalam beberapa firman Tuhan,
adalah sebagai berikut:
1. Indera penglihatan
(mata), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi visual.
2. Indera pendengar
(telinga), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi verbal.
3. Akal, yakni potensi
kejiwaan manusia berupa sistem psikis yang kompleks untuk menyerap, mengolah,
menyimpan, dan memproduksi kembali item-ietem informasi dan pengetahuan (ranah
kognitif).[11]
Alat-alat yang bersifat fisio-psikis itu dalam hubungannya
dengan
kegiatan belajar merupakan subsistem-subsistem yang satu sama lain
berhubungan secara fungsional.
Dalam surat
Al-Nahl: 78 Allah SWT berfirman:
والله اخرجكمْ مِّنْ
بُطُونِ اُمَّهاتِكُمْ لاتعلمونَ شيأ وَّجعل
لَكُمُ السّمْعَ والأبْصار
والأفئِدَةََ لعلّكمْ تشكرونَ ( سورة
النحل : 78 )
Artinya:”Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”
(Q. S. An-Nahl: 78) [12]
Dari ayat tersebut jelas bahwa anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah dimana ia mempunyai potensi untuk berkembang dengan
potensi-potensi yang ada pada dirinya, maka secara individual ia memiliki hak
untuk di didik. Kegiatan pendidikan ditujukan agar potensi yang dimilikinya
berkembang secara optimal. Begitu juga Dalam pendidikan Islam dimana
didalamnya terdapat kegiatan proses
transformasi dan internalisasi nilai-nilai Islam secara bertahap kedalam
pribadi peserta didik yang berlangsung sesuai dengan tahap perkembangan
sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan dapat tetap
berfungsi dan menjadi pegangan bagi masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari.
Manusia sepanjang hidupnya akan mengalami pertumbuhan
dan perkembangan, baik dari segi fisik maupun psikis. Adapun pertumbuhan dan
perkembangan itu dialami secara bertahap, di mulai sejak manusia lahir hingga
dewasa. Tahap-tahap perkembangan dilalui secara berurutan, dan masa awal
kehidupan yang akan menjadi dasar untuk masa-masa selanjutnya.
Menurut pendidikan Islam, salah satu fitrah yang ada
dalam diri manusia adalah fitrah seni. Fitrah seni adalah kemampan manusia yang
menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat-sifat “al-jamai”. Tugas pendidikan yang terpenting adalah memberikan
suasana gembira dan amamn oleh proses belajar mengajar, karena pendidikan
merupakan proses kesenian yang menuntut adanya “seni mendidik”.[13]
Seni termasuk didalamnya adalah bermain. Bermain[14],
sebagai kegiatan utama yang mulai tampak sejak bayi berusia tiga atau empat bulan,
penting bagi perkembangan kognitif, sosial dan kepribadian anak pada umumnya.
Bagi orang dewasa, bermain hanyalah kegiatan untuk
mengisi waktu luang. Tetapi bagi anak-anak, bermain merupakan pekerjaan yang
sangat penting. Melalui kegemaran bermain, akal dan fisik mereka menjadi
berkembang. Aktivitas bermain juga akan menyempurnakan fungsi-fungsi sosial,
emosional, dan inteligensinya, yang mencangkup kegiatan berpikir, problem solving (pemecahan masalah), dan
kecepatan imaginasi. Bagaimana pun juga lingkungan fisik dan bimbingan orang
tua memainkan peran-peran yang nyata dalam menentukkan kemampuan-kemampuan anak
dan perkembangan kecerdasannya.[15]
Namun pada kenyataannya ada orang tua yang kurang
memperhatikan perkembangan anak mereka melalui kegiatan bermainnya. Terbukti
akhir-akhir ini berkembang kecenderungan di masyarakat untuk memperkenalkan
berbagai cara kegiatan belajar sejak masa kanak-kanak sedini mungkin. Berbagai
alasan dikemukakan tentang betapa perlunya berbagai potensi anak yang dipacu perkembangannya,
terutama menyangkut intelegensi. Berbagai buku telah beredar untuk membuktikan
betapa proses pembelajaran pada anak dapat di percepat, tanpa menunggu tibanya
masa sekolah.
Di lain pihak ada anggapan bahwa perkembangan anak
sebaiknya tidak dipacu dengan berbagai beban pembelajaran yang belum perlu dan
tidak sepadan dengan tahap-tahap perkembangannya. Ada ungkapan “anak bukanlah orang dewasa”
kiranya masih berlaku dalam berbagai pendekatan untuk menunjang proses
perkembangan anak. Kultus inteligensi merupakan faktor yang cenderung
menimbulkan ketimpangan dalam menilai perkembangan anak. Diunggulkan dan
diagungkannya faktor intelegensi inilah barangkali yang turut menyuburkan
gagasan untuk menganjurkan dilakukannya usaha pembelajaran yang dipercepat (accelerated learning).
Orang awam mudah terkesan
oleh berbagai cara pembelajaran yang
dipercepat dan orang mudah menyaksikan betapa pendekatan pembelajaran
dengan cara dan sarana tertentu menjadikan seorang anak cepat pintar atau
terampil. Tapi apa perlu anak usia tiga tahun sudah kecanduan membaca? Apa
kemahiran berhitung pada usia tiga tahun sudah berfungsi dalam interaksi antara
si anak dengan lingkungannya? apa tidak ada permainan yang lebih baik bagi
perkembangan fungsi kognitif, motorik, dan sosial anak usia tiga tahun dibandingkan dengan kecanduannya bermain ‘games’ pada computer?
Disisi lain, kita juga dihadapkan pada kenyataan yang
ada, dihadapan kita terlihat permainan anak-anak sudah didominasi oleh mainan
yang sudah jadi. Misalnya mobil-mobilan, senapan, pesawat dan lain-lainnya yang
menggunakan baterai. Walau jenis permainan itu cukup bagus, namun kurang sekali
membuat anak berpikir kreatif dan kurang memberikan kesempatan yang kondusif
untuk terjadinya proses sosialisasi.
Dari fenomena tersebut, bisa dilihat kesalahan yang
terjadi adalah karena orang tua maupun guru belum paham betul akan pribadi anak
secara utuh, baik sifat-sifatnya, kecenderungannya, maupun kodrat kenakalannya,
serta belum paham akan nilai-nilai yang terkandung dalam bermain, seperti
nilai-nilai fisik, pendidikan, sosial, moral, inovatif, individual dan
pengobatan (lihat Muhammad Sa’id Mursid, 2001 hlm 158-159) .
Oleh karena itu bisa kita pahami, bahwa pada periode
kanak-kanak dunianya adalah bermain dan merupakan masa yang strategis untuk
menerima ilmu pengetahuan dan mengembangkan diri. Bagi anak, bermain bersama
dengan teman sebaya adalah merupakan salah satu syarat kemajuan bagi anak dn
banyak mengandung nilai-nilai pendidikan, misalnya dapat melatih bergaul dan menyesuaikan
diri dengan teman-temaaan sebaya, belajar mengindahkan hak orang lain dan
belajar untuk menghasilkan sesuatu dalam kerjasama, serta sebagai sarana untuk
menyalurkan minat dan bakat anak.[16] Maka
sangatlah efektif jika menanamkan jiwa anak melalui permainan atau bermain.
Mengapa melalui kegiatan bemain? Dan permainan
seperti apa? Bermain adalah aktivitas
yang menyenangkan dan merupakan kebutuhan yang sudah melekat dalam diri setiap
anak. Aktivitas bermain akan menyiapkan anak untuk dapat menyesuaikan diri
dimasa depan melalui respon-respon baru yang ditampilkan olehnya ketika ia
bermain. Menurut Al Ghazali,[17] permainan
harus memenuhi dua syarat. Pertama, harus
dengan cara yang sopan dan baik sesuai dengan norma kesusilaan masyarakat,
sesuai pula dengan nilai keagamaan. Kedua,
alat permainannya harus disesuaikan dengan perkembangan usia anak, sehingga
dapat mengembangkan fungsi jasmani dan rohani anak secara optimal sesuai dengan
minat dan bakat, mengembangkan daya imajinasi dan fantasi, serta kreasi anak.
Karena itu, janganlah kita memandang bermain sebagai
sesuatu yang membuang-buang waktu,
tetapi pandanglah bermain sebagai kegiatan yang sangat penting bagi
perkembangan anak. Para orang tua yang
mencegah anak-anak mereka bermain di rumah atau di luar rumah berarti mencegah
anak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok mereka untuk berkembang dan orang
tua juga harus selektif memilih permainan untuk bermain anak mereka..
Berangkat dari perspektif di atas, tidak keliru
apabila dilakukan kajian yang mendalam tentang pengaruh bermain bagi
perkembangan sosial anak prasekolah dengan mendasarkan pada tinjauan Pendidikan
Islam.
C. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah diatas kiranya
bisa dirumuskan beberapa masalah yang memungkinkan dikaji, yaitu:
1.
Bagaimana perkembangan anak prasekolah dalam
pendidikan?
2.
Bagaimana konsep bermain?
3.
Bagaimana pengaruh bermain bagi perkembangan sosial
anak prasekolah ditinjau dari sudut pendidikan Islam?
D. Alasan Pemilihan Judul
Adapun pertimbangan yang mendasari penulis
mengangkat judul “Pengaruh Bermain Bagi
Perkembangan Sosial Anak Prasekolah, Perspektif Pendidikan Islam”, adalah:
1.
Anak pada usia prasekolah sedang mengalami pertumbuhan
dan perkembangan di beberapa aspek yang memerlukan perhatian dari orang tua
maupun pendidik. Hal ini memunculkan masalah yaitu mungkinkah pertumbuhan dan
perkembangan anak, tumbuh dan berkembangan dengan sendirinya tanpa ada yang
mempengaruhinya? Untuk itu perlu sekali adanya pengaruh dari luar terhadap
perkembangan anak dalam hal ini adalah bermain. Bermain sangat berpengaruh bagi
perkembangan sosial anak prasekolah dalam proses menuju ke kedewasaannya.
2.
Pengkhususan penelitian ini karena ingin memperlihatkan
beberapa aspek yang menyangkut tentang pengaruh bermain bagi perkembangan anak
prasekolah sebagai manusia kecil, terutama perkembangan sosial. Posisi apa yang
sebenarnya ditempati bermain terhadap perkembangan sosial anak prasekolah.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
a.
Untuk mendeskripsikan secara gamblang poin-poin penting
tentang perkembangan anak prasekolah dalam konteks pendidikan.
b.
Untuk mengungkap konsep bermain secara tepat.
c.
Menjelaskan pentingnya persoalan-persoalan bermain
dalam mempengaruhi perkembangan sosial anak dalam pandangan pendidikan Islam.
2. Kegunaan
a.
Untuk kepentingan studi ilmiah, dan diharapkan tulisan
ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan khazanah pendidikan
Islam.
b.
Diharapkan dapat memperluas cakrawala berpikir penulis
khususnya dan para pembaca pada umumnya, terutama yang menyangkut
masalah-masalah bermain bagi anak untuk memajukan dunia pendidikan Islam dimasa
kini maupun di masa yang akan datang.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai bermain, akan selalu menarik karena
bermain erat kaitannya dengan dunia anak, dan bermain sangat berperan bagi
perkembangan anak untuk menjadi makhluk sosial. Oleh karena itu telah banyak
buku, majalah, artikel, dan penelitian lainnya yang telah membahas tantang
barmain kaitannya dengan perkembangan anak, karena banyaknya penelitian ilmiah
yang mencoba membahas dan mengkaji tentang bermain dalam berbagai dimensinya,
penulis tidak akan mampu untuk menguraikan semua penelitian yang telah dibahas
tentang bermain.
Banyak buku yang didalamnya membahas masalah bermain,
dan diantaranya yang berhasil penulis temukan adalah; Anggani Sudono berjudul Sumber Belajar dan Alat Permainan. Didalamnya dijelaskan pengertian
bermain dalam pendidikan anak, pengelolaan sumber belajar dengan penggunaan
alat permainan serta membahas mengenai seluk beluk permainan dan sumber
belajar, disertai juga dengan evaluasi mengenai alat permainan dan sumbar
belajar.
Syaikh Muhammad Said Mursi berjudul Seni Mendidik Anak_terjm. Buku ini menjelaskan tentang bagaimana
seni mendidik anak sejak usia dini, yang dilengkapi dengan langkah-langkah
praktis seperti aneka macam permainan, lagu-lagu islami, tes kecerdasan dan
beberapa simulasi, serta tips-tips untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
muncul dalam keseharian mereka.
Mayke S. Tedjasaputra, berjudul Bermain, Mainan, dan Permainan: Untuk Pendidikan Usia Dini. Buku
ini membahas tentang sejarah perkembangan bermain, tahapan perkembangan
bermain, manfaat bermain bagi perkembangan anak, yang terdiri dari aspek
fisik-motorik, sosial-emosional, dan kognisi. Selain itu juga diulas tentang
pemanfaatan bermain bagi pendidik dan psikolog, karena bermain dapat
difungsikan sebagai sarana untuk melakukan pengamatan dan penilaian tentang
anak, media intervensi, media psikoterapi. Juga mengulas tentang jenis kegiatan
bermain, terdiri dari bermain aktif dan pasif. Dan juga mengulas tentang alat
permainan dan teman bermain bagi anak, yang dapat diperoleh dari benda-benda
yang ada dilingkungan sekitar. Kemudian ulasan diakhiri dengan berbagai isu
tentang bermain, antara lain resiko bermain, petunjuk bermain dengan anak, alat
permainan yang merangsang agresivitas, pengaruh televisi, film, alat-alat
permainan elektronik terhadap perkembangan anak.
Selain itu, ada penelitian lain yang dilakukan oleh
Muflichah yaitu berupa skripsi dengan judul “Fungsi
Permainan dalam Meningkatkan jiwa Keagamaan dan Mengembangkan Kreativitas Anak
di TK/RA Muslimat 10 Manyar Gresik “, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1999.
Skripsi ini menjabarkan materi pelajaran dengan metode bermain
sambil belajar, karena melalui bermain atau permainan merupakan cara yang
efektif dalam menyampaikan informasi keagamaan dan ilmu pengetahuan lainnya.,
termasuk dalam meningkatkan kreativitas bagi anak.
Disamping itu skripsi ini juga meneliti, mempelajari dan
menelaah tentang fungsi permainan dalam menanamkan jiwa keagamaan dan
mempertingi daya cipta anak di TK/RA Muslimat 10 Manyar Gresik.
Disamping skripsi diatas ada sebuah skripsi lagi yaitu
skripsi saudari Syarifah Nuzuliana
dengan judul “Hak Anak untuk Bermain
Menurut Pendidikan Islam”, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2003.
Zuliana berusaha menulis dan kemudian mendeskripsikan
hak anak untuk bermain. Anak mempunyai hak untuk mengembangkan kreativitas dan
potensinya melalui kegiatan bermain, dimana orang tua harus memenuhi hak anak
tersebut dengan cara memberikan formulasi yang tepat bagi anak untuk bermain
sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan Islam.
Adapun skripsi ini akan menekankan pembahasannya pada
konsep bermain dalam perspektif pendidikan Islam dan pengaruhnya bagi
perkembangan sosial anak prasekolah sebagai proses menjadi manusia sosial.
G. Kerangka Teoritik
1.
Pengertian Bermain
Bermain merupakan suatu fitrah
dari Allah SWT kepada makhluk-NYA, khususnya bagi kehidupan anak-anak. Anak
pada periode kanak-kanak memiliki kecenderungan untuk bermain, karena anak-anak
seusia ini memiliki dorongan batin untuk mengenal dan melakukan sesuatu yang
lain, dan memiliki dorongan untuk mengembangkan diri. Kebutuhan anak terhadap
permainan dan hiburan diwaktu kecil, lebih banyak dan besar dibanding ketika ia
sudah dewasa. Dalam suatu hadits dikatakan, bahwa anak energik yang
mempergunakan waktunya dengan berbagai macam kegiatan, maka setalah dewasa
kemungkinan besar ia akan menjadi seorang yang cerdas.
Hadits yang menyatakan hal
tersebut adalah:
عُرامَة ُ الصَّبِيِّ في صغره زيادة في العَقلهِ في كُبْرِهِ ( رواه الترمذي )
Artinya: “Anak yang energik
ketika kecilnya adalah pertanda ia akan
menjadi orang cerdas ketika dewasa.” (HR. Tirmidzi).[18]
Oleh karena itu orang dewasa harus memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk bermain bagi anak dengan memberikan
bimbingan kepadanya.
Dari
uraian diatas, dapat dimengerti bahwa bermain sangat berarti bagi kehidupan anak
untuk mengembangkan segala potensi yang ada di dalam dirinya. Untuk memperjelas
tentang bermain, maka penulis akan mengemukakan pengertian bermain, di bawah
ini:
a. Menurut Anggani Sudono:
bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan
alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan
maupun mengembangkan imajinasi pada anak.
b. Menurut Ellizabeth B. Hurlock:
Bermain ( play ) merupakan
istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya menghilang. Arti
yang paling tepat ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang
ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara
suka rela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban.[19]
Dari dua pengertian diatas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang menimbulkan
keasyikan dan kesenangan dengan memakai alat maupun tidak dan dilakukan secara
suka rela tanpa paksaan dan rasa tanggung jawab, dan tanpa mempertimbangkan
hasil akhir yang dicapai.
Melihat pentingnya arti bermain
bagi kehidupan anak dalam mengembangkan jasmani, rohani maupun kepribadiannya,
maka para ahli banyak mendefinisikan bermain melalui teori-teorinya, yaitu:
a. Teori
rekreasi
b. Teori
pemunggahan
c. Teori
atavitis
d. Teori
biologis
e. Teori
psikologi dalam
f. Teori
fenomenologis[20]
Teori-teori
bermain diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Teori rekreasi
Teori ini berasal dari Schaller dan Lazarus.
Keduanya adalah ilmuwan dari Jerman. Mereka berpendapat bahwa bermain adalah
sebagai kesibukan rekreatif, sebagai lawan dari kerja dan keseriusan hidup. Ini
berarti bahwa seseorang melakukan permainan bila ia telah bekerja. Dalam hal
ini bermain berfungsi untuk menyegarkan kembali jiwa dan raga setelah melakukan
suatu pekerjaan tertentu.
b. Teori pemunggahan
Menurut
sarjana Inggris Herbeth Spencer, bermain itu disebabkan oleh
mengalir-keluarnya energi, yaitu tenaga yang belum dipakai dan menumpuk pada
diri anak, itu menuntut dimanfaatkan atau dipekerjakan. Sehubungan dengan itu
energi tersebut mencair dalam bentuk bermain. Dalam hal ini bermain berfungsi
untuk mempergunakan kelebihan tenaga. Dan teori ini disebut pula sebagai teori “
kelebihan tenaga ”.
c.
Teori atavitis
Teori
ini berasal dari Stanley Hall sarjana Amerika. Dia menyatakan, bermain
itu merupakan penampilan dari semua faktor hereditas (warisan sifat keturunan),
yaitu segala pengalaman manusia sepanjang sejarah akan diwariskan kepada anak
keturunannya. Ini berarti bermain berfungsi untuk mengenang dan mengulang
kembali kebudayaan manusia dari zaman ke zaman. Ini diperkuat bahwa bermain
sekarang masih banyak seperti bermain-main yang dilakukan oleh orang tua, kakek
nenek kita dan lain-lain.
d.
Teori biologis
Teori
ini dipelopori oleh Karl Gross dari Jerman. Ia menyatakan bahwa bermain
itu mempunyai tugas biologis, yaitu melatih macam-macam fungsi jasmani dan
rohani. Waktu-waktu bermain merupakan kesempatan bagi anak untuk menyesuaikan
diri terhadap lingkungan hidup dan terhadap hidup itu sendiri. Ini bisa
diartikan bahwa melalui bermain seorang anak dapat melatih anggota badannya
sehingga menjadi kuat untuk kehidupan yang akan datang.
e.
Teori psikologi dalam
Menurut
teori ini, bermain merupakan penampilan
dorongan –dorongan yang tidak disadari pada anak-anak dan orang dewasa. Ada dua dorongan yang
paling penting pada diri manusia. Menurut Adler
ialah: “dorongan berkuasa” dan
menurut Frued ialah “dorongan seksual” atau “libido
sexualis”. Adler berpendapat, bahwa
bermain memberikan pemuasan atau kompensasi terhadap perasaan-perasaan
diri-lebih yang fiktif. Dalam bermain tadi juga bisa disalurkan
perasaan-perasaan yang lemah dan perasaan-perasaan rendah hati. Sedangkan
menurut Frued, perasaan-perasaan dan
dorongan-dorongan seksual infantil, yang didesakkan kedalam ketidaksadaran atau
di dorong di alam bawah sadar itu menemukan pemuasan simbolis dalam bentuk macam-macam bermain.
Pada
dasarnya kedua dorongan yang dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut disalurkan
melalui bermain, karena dalam situasi bermain anak dapat mengembangkan
fantasinya dan dapat memperoleh kebebasan.
e.
Teori Fenomenologis
Prof. Kohnstamm,
seorang sarjana Belanda. Ia menyatakan, bahwa bermain merupakan satu fenomena
atau gejala nyata, yang mengandung unsur suasana permainan (spelsfeer).
Dorongan bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu.
Yakni tidak khusus bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan
tetapi anak bermain untuk permainan itu sendiri. Jadi, tujuan bermain
ialah bermain itu sendiri.[21] Jadi
bermain adalah bermain itu sendiri. Sehingga pada saat melakukan aktifitas
bermain, seorang anak mendapatkan kebebasan, kegembiraan dan harapan, juga
dapat ikhtisar siasat dalam mengatasi perlawanan dan hambatan, sehingga mereka
dapat mengembangkan aktivitasnya, baik psikis maupun motoris organisnya. Di
samping itu melalui bermain mereka dapat membentuk kerjasama di antara kelompok
bermainnya.
2. Teori-teori Perkembangan
Perkembangan merupakan perubahan, dalam upaya mengungkap
perubahan dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan ini para ahli psikologi
mengemukakan berbagai konsepsi yang menggambarkan mekanisme perubahan yang
dialami manusia sepanjang masa perkembangannya. Masing-masing teori dan konsep
yang dikemukakan mempunyai alasan dan cara pandang yang berbeda, sehingga tidak
ada alasan bagi masyarakat untuk sepenuhnya mengikuti salah satu konsep secara
murni, mengingat tidak ada konsep yang berlaku obyektif untuk semua kondisi
perkembangan manusia. Teori-teori tersebut diantaranya adalah:
a. Teori Psikoanalisis
Pada dasarnya perkembangan psikis manusia, menurut
psikoanalisis ini, adalah perkembangan libido
seksualis. Dalam arti, bahwa perkembangan psikis manusia banyak ditentukan
oleh perkembangan seksualnya.[22]
Tokohnya adalah Sigmund Freud dan terkenal dengan teori Psikodinamika.[23]
Sigmund Freud membagi psikis manusia dalam empat fase. Pertama, fase oral, fase dimana sumber kesenangan atau kenikmatan pokok diperoleh
dari kegiatan-kegiatan mulut, seperti menetek, mengisap, mengunyah, berbicara,
dan sebagainya. Kenikmatan yang diperoleh dari inkoperasi oral biasa
dipindahkan ke bentuk-bentuk inkoperasi lain, seperti kenikmatan mendapatkan
pengetahuan dan harta.[24]
Secara normal fase ini berlangsung dari lahir hingga 18 bulan.[25]
Kedua, fase anal, fase ini sering juga disebut juga
fase anal-sadistik berlangsung dari
usia 18 bulan sampai kira-kira empat tahun. Sensitifitas sensual berpindah dari
mulut ke anus. Perhatian difokuskan pada proses dan hasil asimilasi
(pembuangan). Tingkat anal, falik dan genital, cenderung berkembang secara
overlap. Pada tingkat anal ini, untuk pertama kalinya anak mengembangkan
kebebasan lokomosi (gerak dari satu tempat ke tempat lain), dan sejalan dengan
itu berkembang pula perasaan berkuasa. Hal penting untuk diajarkan di sini
adalah “toilet training” (bagaimana melakukan buang air besar dan kencing
dengan baik), dan melatih kebebasan.[26]
Ketiga, fase falik, fase ini merupakan masa akhir
fase seksualitas infantile, yang berlangsung dari usia kira-kira tiga hingga lima tahun. Pada tahap
ini kepuasan seksual yang semula diperoleh stimulasi oral dan anal, diperoleh
dari manipulasi dan perhatian terhadap daerah genital. Pada periode ini
berkembang kompleks oedipus. Kompleks
ini timbul dari rasa bersaing anak dengan ayahnya dalam memperebutkan cinta dan
perhatian ibunya. Sedang pada wanita berkembang kompleks Elektra yang timbul dari rasa bersaing dari anak perempuan
dengan ibunya dalam memperebutkan cinta dan perhatian ayahnya. [27]
Keempat, fase
Laten, pada fase ini, sekitar tingkat
usia Sekolah Dasar, dorongan seksual menurun atau berkurang sampai tingkat
minimal. Kompleks oudipus atau Elektra telah terkendali, sedangkan gerak kearah adolsen belum tampak.[28]
Kelima, fase pubertas, fase ini kekuatan instinktual
menggerakkan individual kearah pemilihan objek cinta yang berupa lawan jenis.
Pada fase ini, menurut Freud, saat di mana anak laki-laki paling mirip dengan
ayahnya, dan anak perempuan paling mirip dengan ibunya.
Di sini mulai
tumbuh rasa kasih sayang (tenderness) sebagai bagian dari emosi seksual.[29]
b. Teori
Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif yang dipelopori oleh Piaget
didasarkan atas presuposisi biologis, dengan fokus minatnya pada bagaimana
makhluk hidup menyesuaikan atau mengorganisasikan dirinya terhadap lingkungan
dan berkembang.
Dinyatakan dalam teori tersebut bahwa makhluk hidup
mempunyai regulasi diri untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya.
Apabila penyesuaian berjalan dengan baik, maka akan tercipta keseimbangan, sedang
apabila penyesuaian tidak berjalan dengan baik akan tercipta tidak
keseimbangan. Dalam diri makhluk hidup terdapat pola perilaku yang
terorganisasikan dengan baik yang disebut skema. Skema tersebut disesuaikan
dengan lingkungannya melalui dua cara, ialah: asimilasi dalam bentuk
mempersepsi dan menafsir informasi dari lingkungannya sebagai bentuk
pengetahuan baru; dan akomodasi dalam bentuk restrukturisasi organisasi mental
agar informasi yang baru tersebut dapat diterima.
Piaget mengakui bahwa perkembangan ialah suatu yang
kontinu yang terjadi secara sekuensial. Satu bagian dikembangkan diatas bagian
lain yang telah ada dalam kurun waktu sebelumnya. Dengan demikian kematangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap yang berbeda dan berurutan.
Diugkapkan oleh Piaget adanya lima tahapan perkembangan yaitu tahap
sensorik-motorik (usia 0-2 tahun), tahap prekonsep (usia 2-4 tahun), tahap
intuiisi (usia 4-7 tahun), tahap operasiaonal konkrit(usia 7-11 tahun), dan
tahap operasional formal (usia 11-15 tahun).[30]
c. Teori Belajar (Konsepsi Assosiasi)
Inti dari konsepsi asosiasi adalah: bahwa hakekat
perkembangan adalah proses asosiasi, dimana bagian-bagian mempunyai nilai yang
lebih penting dari keseluruhan. Dalam perkembangannya anak-anak pada mulanya
mempunyai kesan sebagian-sebagian, kemudian melalui proses asosiasi
bagian-bagian tersebut akan membentuk menjadi suatu keseluruhan. Banyak tokoh
terkenal yang menganut konsepsi ini, diantaranya yaitu: John Locke dengan teori
tabularasa, Thorndike dengan teori Conectionisme, J.B. Watson dengan teori
Behaviorisme, dan Ivan Pavlov dengan teori Conditioning Reflect.
Konsepsi asosiasi dibangun dari teori Pavlov mengenai
pembiasan klasik. Dimulai dari kajian JB.Watson, teori ini mendapatkan
bentuknya yang lengkap dari BF Skiner. Fokus utama teori ini adalah bahwa
perilaku sepenuhnya merupakan hasil dari kegiatan belajar. Perilaku terbentuk
sebagai respon terhadap stimulus, selain pembiasaan klasik bisa diberikan
pembiasaan aktif (condifioning operant), yang di kenal sebagai penguatan
(reinforcement).
d. Teori
Humanistik
Teori ini terutama dikembangkan oleh Maslow. Teori ini
menjelaskan bahwa pada hakekatnya setiap diri manusia adalah unik, memiliki
potensi individu dan dorongan internal untuk berkembang dan membentuk perilakunya.
Dalam kaitan itu maka setiap diri manusia adalah bebas dan memiliki
kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang mencapai aktualisasi diri. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa kebutuhan manusia adalah bertingkat-tingkat, terdiri
dari tingkatan: kebutuhan faali, kebutuhan keamanan, kebutuhan pengakuan dan
kebutuhan aktualisasi diri.
e.
Teori Ethologi (Sosiologi)
Pendiri teori ini adalah Carl Von Frisch. Teori ini
ditegakkan berdasarkan penelitian yang cermat terhadap perilaku binatang dalam
keadaan nyata.
Garis besar teori ini
menyatakan pada dasarnya sumber dari semua perilaku sosial ada dalam gen. Ada insting dalam makhluk
untuk mengembangkan perilakunya. Analogi yang dikemukakan adalah; “genes setting the stage, and society
writing the play”. Teori ini memberikan dasar bagi pemahaman periode kritis
perkembangan dan perilaku melekat pada anak segera setelah dilahirkan.[31]
f. Konsepsi Gestalt
Bagi para ahli yang mengikuti aliran Gestalt,
perkembangan itu adalah proses diferensiasi.
Dalam proses diferensiasi yang primer
adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian
dari keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain,
keseluruhan adalah terlebih dahulu, baru kemudian menyusul bagian-bagiannya.[32]
Prinsip ini berlaku untuk perkembangan aspek motorik maupun psikisnya. Tokoh
yang masuk dalam pandangan ini adalah Wertheimer.
g. Konsepsi Neo-Gestalt
Konsepsi ini dikenal pula dengan nama “Field Theory”
atau “teori medan”,
tokoh yang terkenal pada konsepsi ini adalah Kurt Lewin. Teori ini pada intinya
berpendapat bahwa perkembangan disamping merupakan proses deferensiasi juga
merupakan proses stratifikasi. Struktur pribadi manusia digambarkan terdiri
dari lapisan-lapisan, dan makin besar anak makin tinggi perkembangannya maka
makin bertambah pula lapisan-lapisannya. Pada awal perkembangannya, anak kecil
masih satu lapis, anak akan jujur mengatakan apa adanya dan belum dapat
menyembunyikan sesuatu dalam jiwanya. Anak tidak akan dapat berdusta dengan
sengaja.
h. Konsepsi Sosiologis
Konsepsi ini berpendapat bahwa perkembangan itu
merupakan proses sosialisasi. Pendapat ini menyatakan bahwa anak-anak pada
mulanya adalah asosial (pra-sosial), kemudian berkembang menjadi sosial. Tokoh
terkenal dalam konsepsi ini adalah James Mark Baldwin.
Baldwin berpendapat
lebih lanjut bahwa proses perkembangan itu berlangsung malalui adaptasi dan
seleksi berdasarkan hukum “Law of Effec”.
Adaptasi adalah peniruan pada orang lain, sedang seleksi berarti mempertahankan
tingkah laku yang menguntungkan, dan menyingkirkan atau meninggalkan tingkah
laku yang tidak menguntungkan.
i. Konsepsi Bio-sosial
Konsepsi ini berpendapat bahwa hidup itu belajar, dan
perkembangan itu juga belajar, “Living is
Learning, and Growing is Learning”. Maksudnya adalah setiap makhluk untuk
dapat mempertahankan hidupnya harus
belajar, karena proses belajar manusia akan dapat berkembang. Untuk belajar
diperlukan kemasan biologis, dan kemasan sosial. Tokoh yang berpendapat
demikian adalah R.J. Havighurs. Ada
empat faktor yang berkaitan dengan perkembangan menurut pendapat ini. Faktor
tersebut yaitu; pertama, kemasan phisik; kedua, tekanan sosial; ketiga,
nilai-nilai pribadi; keempat, gabungan ketiganya.[33]
3. Pengaruh Bermaina Bagi Perkembangan Anak
Sepanjang masa kanak-kanak, bermain
mempunyai arti dan pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial sesuai dengan
tingkat perkembangannya. Pengaruh bermain bagi perkembangan anak menurut
Elizabeth B. Hurlock sebagai berikut:
a.
Perkembangan fisik
Dengan bermain aktif, anak akan dapat
mengembangkan otot-otot dan melatih seluruh bagian tubuh. Bermain juga dapat
menyalurkan tenaga yang ada pada anak. Apabila energinya tidak tersalurkan atau
terpendam akan berakibat mengalami ketegangan, kegelisahan, dan lain-lain.
b. Dorongan berkomunikasi
Bermain
mendorong anak untuk berkomunikasi dengan teman
temannya.
Oleh karena anak dapt mengerti apa yang di komunikasikan oleh temannya.
c. Menyalurkan energi emosional yang terpendam
Dengan bermain, ketegangan
pada diri anak dapat diatasi, karena permainan memberikan kesempatan dan
merupakan sarana untuk menyalurkan enargi emosional yang masih terpendam,
termasuk ketegangan yang disebabkan oleh pembatasan lingkungan terhadap tingkah
laku mereka.
d. Penyaluran
bagi kebutuhan dan keinginan
Kebutuhan dan keinginan yang
tidak dapat dicapai dengan cara lain dapat dipenuhi dengan bermain, seperti
yang dilakukan anak.
e. Sumber belajar
Bermain merupakan salah satu
sarana yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk dapat mempelajari
segala sesuatu yang dapat dijadikan pengalaman bagi anak, yang tidak diperoleh
dari belajar dirumah atau sekolah.
f. Rangsangan bagi kreativitas
Dalam bermain, anak dapat
mengekspresikan permainannya, sehingga anak dapat menemukan rancangan baru atau
berbeda. Selanjutnya minat kreatifnya dapat dialihkan pada situasi yang lain.
g. Perkembangan wawasan diri
Dengan bermain, anak dapat
mengetahui kemampuan dirinya, sehingga ia dapat mengembangkan konsep dirinya
dengan lebih cepat.
h. Belajar bermasyarakat
Dengan bermain bersama
teman-temannya, mereka dapat belajar untuk berhubungan sosial dan dapat
menghadapi masalah yang timbul dan mengerti pemecahannya.
i. Standar moral
Anak dapat belajar tentang hal yang buruk dan baik
dalam kelompok bermain selain dalam keluarga dan
sekolah.
j. Belajar bermain sesuai dengan jenis bermain
Selain anak belajar peran
jenis kelamin di rumah dan sekolah, dalam kelompok bermain anak menyadari dan
menerima perbedaan peran dan jenis permainannya.
k.
Perkembangan ciri kepribadian yang
diinginkan
Dalam permainan sosial, anak
akan dapat bekerja sama, murah hati, jujur, sportif dan disukai orang.[34]
H.
Metode Penelitian dan Pendekatan
1. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research) jadi data yang diperoleh melalui studi pustaka. Dalam penelitian
pustaka dilakukan dengan cara menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan,
mereduksi dan menyajikan data yang diperoleh dari berbagai sumber yang tertulis.[35]
Sumber tersebut dibedakan menjadi sumber data primer dan sumber data sekunder.
Yang pertama merupakan sumber data utama yang menjadi acuan pokok dari
pembahasan ini, yaitu buku-buku yang secara eksplisit menguraikan tentang
bermain atau permainan dan perkembangan anak prasekolah. Sedangkan yang kedua
adalah data-data atau dokumen penunjang dari data primer yang diperoleh dari
buku-buku, jurnal-jurnal dan sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan.
Yang menjadi sumber data primer dalam kajian ini yaitu Mayke S.
Tedjasaputra, Bermain, Mainan, dan Permainan: Untuk Pendidikan Usia Dini,
Jakarta: Grasindo, 2003., Hurlock, E. B., Child Development, Mc Graw Hill Kogakusha: International Student,1978, (terj) Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah
Zarkasih, Agus Darma (edt), Perkembangan Anak, Jakarta: Erlangga, 1997., Kartini Karrtono, Psikologi Anak Psikologi
Perkembangan, Bandung: Bandar Maju, 1995.,
Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta; Rineka
Cipta, 2003., Anggani Sudono, Sumber Belajar dan Alat
Permainan untuk Pendidikan Usia Dini, Jakarta:
Grasindo, 2000.,
Sedangkan sumber data sekunder ini,
antara lain: Zainuddin, dkk, Seluk-beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta:
Bumi Aksara, 1991., Muhammad Sa’id Mursi, Melahirkan Anak Masya
Allah Sebuah terobosan Baru Dunia Pendidikan Modern, Jakarta: Cendekia,
2001., Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosdakarya, 2003., Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Jakarta:
Rineka Cipta, 1996., Tim pengembangan
MKDK IKIP Semarang, Psikologi Perkembangan, Semarang: IKIP Semarang Press,
1990., Kartini Kartono, Peranan
Keluarga Memandu Anak, Jakarta: Rajawali Pers, 1992., Zulkifli L, Psikologi Perkembangan,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.,
b. Teknik Analisa Data
Setelah
data terkumpul, kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode: Deskriptif
Analitis, yaitu suatu usaha untuk menghimpun dan menyusun data kemudian
dilakukan analisis dan interpretasi pada data tersebut.[36] Hal
ini dimaksudkan untuk menganalisis dan mengkritisi serta membandingkan
teori-teori bermain dalam konteks pengaruh bermain bagi perkembangan sosial
anak prasekolah dalam pendidikan Islam.
Dengan langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut:
1.
Langkah pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai
sumber.
2.
Langkah deskriptif yaitu langkah yang bersifat
menggambarkan
atau menguraikan
sesuatu hal.
3.
Langkah interpretatif
4.
Langkah komparatif
5. Langkah
pengambilan kesimpulan sebagai hasil dari langkah-langkah diatas.
Sedangkan metode berpikir yang digunakan adalah induksi
dan deduksi. Penalaran induksi adalah proses penalaran dari hal-hal yang
bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum (proses generalisasi),
sedangkan penalaran deduksi adalah proses penalaran dari hal-hal yang bersifat
umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.[37]
2. Pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan
pendekatan filosofis dan psikologis. Pendekatan filosofis adalah suatu
pendekatan yang terkait erat dengan kegiatan refleksi, yang direfleksikan
adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, apa saja. Filsafat
berupaya mengekplisikatkan tentang hakekat realitas yang ada dalam kehidupan
manusia.[38]
Pendekatan filosofis digunakan untuk mencari jawaban secara mendasar
tentang aspek-aspek pendidikan Islam mengenai pengaruh bermain terhadap
perkembangan sosial anak prasekolah. Sementara itu pendekatan psikologis adalah
penghayatan terhadap jiwa dan tingkah laku manusia dalam lingkungan yang
meliputi ranah kognitif, afektif, dan konatif (psikomotor).[39] Perspektif
psikologis lebih melihat bermain dari segi kekuatan-kekuatan pada diri
seseorang sebagai penentu perkembangan anak seperti intelegensi, kesehatan,
sosial, dan emosi serta disposisi-disposisi kepribadian lainnya. Dengan
pendekatan ini, pengaruh bermain bagi
anak prasekolah didasarkan pada prinsip-prinsip perkembangannya.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka memberi gambaran awal dari skripsi ini, perlu penulis paparkan mengenai sistematika pembahasan.
Skripsi ini terdiri atas lima
bab yang masing-masing diperinci sub-sub secara sistematis dan saling
berkaitan, sebagai berikut:
Bab Pertama,
merupakan pendahuluan yang memuat aspek-aspek pertanggungjawaban ilmiah
penelitian ini, yang meliputi penegasan istilah, latar belakang masalah,
rumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan dan kegunaan penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, sistematika pembahasan.
Bab Kedua,
membahas
PERKEMBANGAN ANAK PRASEKOLAH
A.
Pengertian Perkembangan Anak
Prasekolah.......................
B.
Faktor-faktor
Perkembangan...............................................
C.
Aspek-aspek
Perkembangan................................................
1. Perkembangan Jasmani..................................................
2. Perkembangan
Bahasa.................................................
3. Perkembangan
Kognitif...............................................
4. Perkembangan
Emosi..................................................
5. Perkembangan
Sosial...................................................
tinjauan umum
tentang bermain yang meliputi:
pengertian bermain, macam-macam bermain, dan karakteristik bermain
Bab Ketiga, membahas tentang KONSEP BERMAIN DAN PENGARUH BERMAIN BAGI
PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK PRASEKOLAH DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian Bermain
.........................................................
B.
Macam-macam Bermain
.................................................
C.
Karakteristik Bermain .....................................................
D.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Bermain....................
E.
Pengaruh Bermain Bagi Perkembangan Sosial Anak
Prasekolah..........................................................................
Manfaat Bermain
Bagi Perkembangan Sosial Anak
Prasekolah...................................................................perkembangan
anak prasekolah yang meliputi; pengertian perkembangan anak prasekolah,
faktor-faktor perkembangan, serta unsur-unsur perkembangan anak prasekolah.
Bab Keempat,
di bahas tentang PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................
Saran-saran.....................................................................pandangan
pendidikan Islam terhadap pengaruh bermain bagi perkembangan anak prasekolah,
yang meliputi; faktor-faktor yang mempengaruhi bermain, pengaruh bermain bagi
perkembangan sosial anak prasekolah, serta manfaat bermain bagi perkembangan
sosial anak prasekolah.
Bab
Kelima, merupakan penutup yang memuat kesimpulan, saran-saran, dan kata
penutup.
DAFTAR
PUSTAKA
Beker,
Anton dan Zubair, Ahmad Achari, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Darodjat,
Zakiah, “Menumbuhkan Minat Beragama Dan
Pembinaan Akhlak Pada Anak Balita” dalam Pendidikan Agama Dan Akhlak Bagi
Anak Dan Remaja, ed. Rama Furqona, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2000.
Hurlock,
E. B., Child Development, Mc Graw
Hill Kogakusha: International
Student,1978, (terj) Med.
Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, Agus Darma (edt), ., Perkembangan
Anak, Jakarta: Erlangga, 1997.
Kartono, Kartini, Psikologi Anak Psikologi Perkembangan, Bandung: Mandar Maju, 1995.
Muhadjir,
Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin, 1989.
Mujib,
Abdul dan Mudzakir, Jusuf, Nuansa-nuansa
Psikologi Islam,(Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001
Mursi, Muhammad Sa’id, Melahirkan Anak Masya Allah: Sebuah Terobosan Baru Dunia Pendidikan Modern, Jakarta: Cendekia, 2001.
Mustaqim dan Wahib, Abdul, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rieneka Cipta, 1991.
Partanto,
Pius A dan al Barry, M. Dahlan, Kamus
Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 1994.
Patmonodewo, Soemiarti, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta:
Rineka Cipta, 2003.
Poerwadarminto, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: - 1976.
Purwanti,
Endang dan Widodo, Nur, Perkembangan
Peserta Didiki, Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2002
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996
Surachmad,
Winarno, Pengantar Penelitian: Dasar
Metode Teknik, Bandung:
Tarsito, 1998.
Syah,
Muhibin, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003
Tauhid,
Abu, Beberapa Aspek Pendidikan Islam,Yogyakarta: Sekertaris Ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Kalijaga, 1990
Tedjasaputra,
Mayke S., Bermain, Mainan, dan Permainan:
Untuk Pendidikan Usia Dini’, Jakarta:
Grasindo, 2003.
Tim
Pengembangan MKDK IKIP Semarang,
Psikologi Perkembangan, Semarang: IKIP Semarang Press, 1990
Ulwan,
Abdullah Nashi, Pendidikan Anak Dalam Islam, jilid II, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Zain,
Sutan Mohammad dan J. S. Badudu, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Zainuddin dkk, Seluk-beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
[2]
Anggi Sudono, Sumber Belajar dan Alat
Permainan Untuk Pendidikan Usia Dini, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), hlm. 1.
[3] Hurlock,
E. B., Child Development, Mc Graw
Hill Kogakusha: International
Student,1978, (terj) Med.
Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, Agus Darma (edt), ., Perkembangan
Anak, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 326
[4]
Mayke S. Tedjasaputra, Bermain, Mainan,
dan Permainan: Untuk Pendidikan Usia Dini’, (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 53
[5] Ibid, hlm. 63
[6]
Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak
Prasekolah, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2003),
hlm., 31
[7] Ibid, hlm. 19
[9]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam,Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung:
Trigenda Karya, 1993), hlm. 136
[10] Depag RI,
al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang;
CV. Toha Putra, 1996), hlm.
478
[11]
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 101
[13]
Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan
Islam,Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung:
Trigenda Karya, 1993), hlm. 140
[16]
Zainuddin dkk, Seluk-beluk Pendidikan
dari Al-Ghazali,(Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hlm. 130-131
[18]
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani,
2002), hlm. 609
[19]
Elzabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm.
320.
[20]
Kartini Kartono, Psikologi Anak Psikologi Perkembangan, (Bandung: Mandar
Maju, 1995), hlm. 117.
[21]
Kartini Kartono, Psikologi Anak Psikologi Perkembangan, (Bandung: Mandar
Maju, 1995), hlm. 121
[22]
Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, Psikologi
Perkembangan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990), hlm. 51.
[23] Endang Purwanti dan Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didiki, (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm. 58.
[24]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa
Psikologi Islam,(Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 92-93.
[25]
Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, Psikologi
Perkembangan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990), hlm. 58
[26] Ibid. hlm. 59.
[27] Ibid. hlm. 59-60
[28] Ibid. hlm. 60.
[29] Ibid. hlm. 60.
[30] Endang
Purwanti dan Nur Widodo, Perkembangan
Peserta Didiki, (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm. 61
[31] Ibid.
hlm. 62
[32]
Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, Psikologi
Perkembangan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990), hlm. 49
[33] Endang
Purwanti dan Nur Widodo, Perkembangan
Peserta Didiki, (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm. 65
[38] Anton Beker dan
Ahmad Achari Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (yogyakarta:
Kanisius, 1998), hlm. 15
[39]
Winarno Surachmad, Op. Cit., hlm. 139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar