Sabtu, 15 November 2014

MAKALAH PENELITIAN EKSPERIMEN DI BIDANG PENDIDIKAN

PENELITIAN EKSPERIMEN DI BIDANG PENDIDIKAN
Oleh : Prof. Supardi

BAGIAN I 

A.   PENDAHULUAN
Setiap guru yang telah senior merasakan bahwa kenaikan pangkat dari IIIa ke Pembina/IVa sangat mudah, cepat dan lancar tanpa dituntut persyaratan yang dapat memberatkan guru, akibatnya sangat banyak guru yang menduduki pangkat/jabatan tersebut. Sedangkan untuk menduduki Pembina Tk.I/gol. IVb harus memunyai nilai kredit pengembangan profesi. Mengapa banyak guru  Pembina/gol. IVa usulan kenaikan pangkatnya banyak yang belum berhasil?  Karena karya ilmiah (KTI) yang diusulkan belum memenuhi syarat, antara lain:  (a)banyak KTI yang tidak asli, jiplakan, bukan buatan sendiri, (b) KTInya berisi uraian yang terlalu umum, tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan guru dalam mengembangakan profesinya, (c) sistematika tulisannya tidak mengikuti sistematika karya ilmiah.
 Apakah  untuk naik ke Pembina Tk I/IVb melalui pengembangan profesi sangat berat? Sebenarnya tidak  asalkan mau berusaha, belajar, dan menulis sesuai dengan profesinya sebagai guru. Apakah KTI merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi? Tidak, KTI bukan merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi guru. Namun, karena berbagai alasan yang antara lain belum jelasnya petunjuk operasional pelaksanaan dan penilaian dari kegiatan selain KTI, maka kegiatan pengembangan profesi sebagian terbesar dilakukan melalui KTI. Apa saja jenis KTI itu? KTI itu ada 7 jenis, yaitu penelitian, kajian ilmiah hasil gagasan sendiri, ilmiah populer, makalah seminar, Buku pelajaran/modul, diktat pelajaran, dan Hasil terjemahan. Dari ketujuh jenis KTI itu, hasil penelitian yang mempunyai nilai kredit tertinggi, maka guru cenderung memilih jenis ini untuk kenaikan pangkatnya walaupun banyak yang belum menguasai cara/metode penelitiannya.
Sebagai contoh; ada seorang guru menghadapi masalah proses pembelajaran di klas: siswa sulit memahami pokok bahasan pada pelajaran tertentu, sebagian besar siswa prestasi belajarnya rendah, tidak berani mengeluarkan pendapat, dan motivasi/minat belajar kurang. Timbul pertanyaan  pernahkah guru mencari upaya untuk mengatasinya? Apa yang harus dilakukan guru? Apa tidak perlu dicari akar masalahnya? Apa guru tetap mengajar seperti biasanya dan masalah itu diabaikan?  Tentunya tidak, dan ternyata umumnya guru sudah berupaya untuk mengatasinya dengan berbagai cara/metode/pendekatan melalui perubahan cara mengajar seperti metode/pendekatan CTL (Contextual Teaching Learning), Quantum learing, cooperative learning, tutor sebaya, local material learning, dan lain-lain. Hasilnya  menunjuk kan ada perubahan ke arah perbaikan Hal ini memberi gambaran bahwa guru tersebut sudah melakukan kegiatan pengembangan profesi, namun belum ditulis secara sistematis sehingga tidak punya bukti untuk diusulkan kenaikan pangkat melalui pengembangan profesi. Ada pula guru yang sepulang mengikuti Diklat, langsung mencoba metode mengajar yang baru saja diperolehnya, dan hasilnya memberikan kepuasan baik prestasi belajar, suasana belajar maupun keberanian bertanya, dan menambah percaya diri guru. Guru tersebut sudah melakukan kegiatan ilmiah, sudah melaksanakan pengembangan profesiya, namun lagi-lagi tidak ada bukti tertulis yang terdokumensi yang harus disampaikan waktu akan mengusulkan kenaikan pangkat.
Pada waktu melihat prestasi siswanya rendah guru sudah berpikir bagaimana cara mengatasinya. Untuk itu, berdasarkan hasil diklat yang diikutinya, mereka ingin mencoba menerapkan melalui penelitian. Apakah hasil belajar siswa yang diajar dengan metode belajar yang selama ini dilakukan lebih jelek dibandingkan dengan metode baru yang diperoleh waktu diklat.  Untuk mencoba guru tersebut tidak memahami jenis penelitian apa yang tepat digunakan untuk mengatasi masalah itu? Guru belum semua  menguasai berbagai jenis penelitian. Jenis penelitian yang sering digunakan guru dalam mengatasi masalah pembelajaran adalah penelitian tindakan kelas, penelitian deskriptif, penelitian korelasional, dan penelitian eksperimen.  Jenis pendekatan penelitian  yang paling tepat untuk merealisasi kegiatan guru dalam membandingkan dua metode pembelajaran terhadap hasil belajar adalah melalui penelitian eksperimen.
Apakah penelitian eksperimen itu? Apa tujuannya? Bagaimana cara melakukan yang benar? Bagaimana menulis laporan hasil penelitiannya agar memenuhi syarat dan dapat nilai kreditnya?. Marilah kita belajar bersama untuk memahami dan kemudian melaksanakan secara hati-hati dan terarah.
Penelitian eksperimen (Experimental Research) kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menilai  pengaruh suatu perlakuan/tindakan/treatment pendidikan terhadap tingkah laku siswa ata menguji hipotesis tentang ada-tidaknya pengaruh tindakan itu bila dibandingkan dengan tindakan lain. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan umum penelitian eksperimen adalah untuk meneliti pengaruh dari suatu perlakuan tertentu terhadap gejala suatu kelompok tertentu dibanding dengan kelompok lain yang menggunakan perlakuan yang berbeda. Misalnya, suatu eksperimen dimaksudkan untuk menilai/membuktikan pengaruh perlakuan pendidikan (pembelajaran dengan metode pemecahan soal) terhadap prestasi belajar matematika pada siswa SMU atau untuk menguji hipotesis tentang ada-tidaknya pengaruh perlakuan tersebut bila dibandingkan dengan metode pemahaman konsep. Tindakan di dalam eksperimen disebut treatment, dan diartikan sebagai semua tindakan, semua variasi atau pemberian kondisi yang akan dinilai/diketahui pengaruhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menilai tidak terbatas pada mengukur atau melakukan deskripsi atas pengaruh treatment yang dicobakan tetapi juga ingin menguji sampai seberapa besar tingkat signifikansinya (kebermaknaan atau berarti tidaknya) pengaruh tersebut bila dibandingkan dengan kelompok yang sama tetapi diberi perlakuan yang berbeda.

Apakah perlu kelompok pembanding? Marilah kita renungkan jawaban ini. Proses yang disebabkan oleh satu macam tindakan/perlakuan, kita tidak pernah dapat menyatakan bahwa tindakan dan proses itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik, kurang baik, dan kita baru dapat menyatakan kalau sudah dibandingkan dengan yang lain. Dari suatu tindakan kita hanya dapat menyatakan bahwa proses begini dan begitu itu akan menimbulkan gejala yang begini atau begitu. Gejala itu baru dapat dikatakan lebih baik jika gejala lain jadi ukuran sebagai pembanding. Karena itu dalam suatu eksperimen ilmiah dituntut sedikitnya dua grup, yang satu ditugaskan sebagai grup pembanding (control group), sedang grup yang satu lagi sebagai grup yang dibandingkan (experimental group).

Bagaimana cara melaksanakan jenis penelitian eksperimen ini ?. Untuk melaksanakan suatu eksperimen yang baik, kita perlu memahami terlebih dahulu segala sesuatu yang berkait dengan komponen-komponen eksperimen. Baik yang berkaitan dengan pola-pola eksperimen (design experimental), maupun penentuan kelompok eksperimen dan kontrol, bagaimana kondisi kedua kelompok sebelum eksperimen dilaksanakan, cara pelaksanaannya, kesesatan-kesesatan yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen, cara pengumpulan data, dan teknik analisis statistik  yang tepat digunakan. Hal itu semua, para guru dapat mempelajari, mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan penelitian itu, tanpa meninggalkan tugas sehari-hari di kelas.
 B.   MEMPERSIAPKAN EKSPERIMEN
Marilah kita mempersiapkan penelitian eksperimen secara baik. Sebelum peneliti melaksanakan treatment/perlakuan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Sebagai ilustrasi seorang guru akan mengadakan percobaan tentang keampuhan dua metode mengajar dalam bidang Matematika, Mana di antara dua macam metode yang dapat memberikan prestasi belajar lebih baik (metode pemahaman konsep atau metode pemecahan soal). Karena, ditemukan selama guru menggunakan metode pemahaman konsep prestasi belajar siswanya belum menggembirakan.
1.    Langkah awal dijumpai ada problem terhadap prestasi belajar matematika yang selama ini diajarkan melalui metode pemahaman konsep. Seorang guru matematika waktu mengikuti diklat mendapat metode baru yaitu metode pemecahan soal“ muncul pertanyaan: manakah di antara dua metode pembelajaran Matematika yang dapat menumbuhkan prestasi belajar lebih baik?.
2.    Tujuannya: Untuk mengetahui apakah metode pemecahan soal lebih baik dalam mengembangkan kecakapan matematika dibandingkan dengan pemahaman konsep (Untuk mengetahui pengaruh metode pemecahan soal terhadap prestasi belajar matematika). Guru juga dapat mengetahui sikap siswa terhadap metode pembelajaran  tersebut.
3.    Langkah berikutnya, mencari dasar teori yang  berkaitan dengan variabel penelitian (metode pembelajaran pemecahan soal dan pemahaman konsep, serta prestasi belajar). Diupayakan adanya kerangka pemikiran yang mengarah pada simpulan bahwa metode pemecahan soal lebih baik dalam menanamkan pemahaman matematika dibandingkan dengan metode pemahaman konsep.
4.    Selanjutnya, perlu dikemukakan hipotesisnya: “Metode pemecahan soal lebih baik dibandingkan metode pemahaman konsep dalam meningkatkan prestasi belajar matematika”. Hipotesis ini diperlukan untuk pedoman peneliti dalam merancang lebih lanjut..
5.    Langkah awal bagian  metode penelitian adalah melakukan pengukuran kepada dua kelompok yang  siswanya mempunyai kesamaan kemampuan /IQ dalam matematika. Dari dua kelompok yang sudah mempunyai kesamaan itu dipilih secara random untuk menentukan mana kelompok kontrol dan mana yang akan ditugaskan sebagai kelompok eksperimen.
6.    Menentukan siapa guru yang akan ditugasi untuk mengajar pada masing-masing kelopok tersebut. Bilamana telah mendapatkan guru yang memiliki kualitas yang sama, dipilih secara random untuk ditugaskan ke kelompok eksperimen/kontrol. Kalau gurunya sama/satu orang, wajib menjaga obyektivitas dalam menerapkan kedua metode tersebut.
7.    Persiapkan materi ajar dan rincian tindakan yang akan dilakukan pada metode yang telah ditetapkan untuk kedua kelompok tersebut.

Sesudah memahami langkah-langkah tersebut, kita perlu melihat kembali hal hal mendasar yang perlu diperhatikan sebelum eksperimen dilakukan. Kalau semua komponen tersebut sudah dipersiapkan dengan baik dan lengkap barulah mencoba menyusun rancangan/desain eksperimennya.

C.   FAKTOR YANG PERLU DIKONTROL
Sebelum eksperimen dilaksanakan ada berbagai faktor, variable, serta kondisi apa saja yang berkaitan dengan kegiatan eksperimen perlu diperhatikan. Hal ini untuk mengantisipasi adanya perbedaan sesudah eksperimen itu benar-benar disebabkan oleh metode bukan karena faktor lain. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan  antara lain sebagai berikut :
a)    Latar belakang kebudayaan. Pelajar yang mempunyai kebudayaan yang berbeda besar kemungkinan mempunyai sifat dan kebiasaan yang berbeda pula. Untuk itu perlu diperhatian agar adanya perbedaan bukan karena faktor ini tetapi faktor metode mengajarnya. Ada siswa yang setiap hari selalu belajar bersama dengan kakak-kakaknya, mengikuti pelajaran tambahan setiap sore.
b)    Dasar matematika; Sebelum eksperimen dimulai siswa masing-masing kelas/kelompok perlu diseimbangkan agar tidak terjadi salah satu kelas terdiri atas siswa yang pandai sedang lainnya terdiri atas siswa yang sedang dan kurang pandai. Sehingga adanya perbedaan hasil akhir eksperimen bukan disebabkan oleh metode mengajar tetapi oleh kondisi siswa yang berbeda.
c)    Ruangan kelas. Ruangan kelas kedua calon kelompok eksperimen dan control itu harus dibuat sedemikian sehingga tidak ada perbedaan kebisingan, kepengapan, ventilasi, serta tata ruang lainnya.
d)    Waktu belajar: Perlu diperhatikan waktu berlangsungnya jam pelajaran, tidak diperkenankan kelompok eksperimen (E) masuk pagi kelompok control (K) masuk sore atau sebaliknya.Jika kelas E masuk pagi, kelas K harus masuk pagi, kalau kelas E masuk jam 8.00 kelas K tidak boleh masuk jam 12.00, sehingga hasil eksperimen dikotori oleh faktor masuk sekolah. Jumlah jam kedua kelas/kelompok harus sama
e)    Cara mengajar :  Metode-metode yang akan dicobakan harus ditetapkan dan dirancang lebih dahulu serta dijalankan secara tertib dan benar. Cara guru mengajar harus sesuai dengan pola yang ditetapkan dalam desain eksperimen yang dipersiapkan.
f)     Guru/pengajar : Latar belakang pendidikan, serta pengalaman mengajar di upayakan mempunyai derajat yang seimbang. Demikian tingkat kedisiplinan maupun kemampuannya.
g)    Lain-lain : walaupun peneliti sudah berupaya mengendalikan variable non eksperimen agar tidak memengaruhi hasil eksperimen, namun sering dijumpai adanya kejadian yang sulit dikontrol dan diprediksi, misalnya: tiba-tiba dijumpai adanya anak yang suka mengganggu jalannya pelajaran, sehingga memengaruhi temannya untuk tidak disiplin, atau terganggu konsentrasinya akibat ulah satu atau beberapa temannya. Dapat terjadi pula adanya pemberian bimbingan belajar di luar jam pelajaran, baik oleh anggota keluarga atau yang lain..
Perlu disadari bahwa sebenarnya banyak sekali faktor yang mungkin dapat berpengaruh terhadap eksperimen. Oleh karena itu, peneliti eksperimen perlu hati-hati pada setiap langkah agar selalu memperhatikan adanya kemungkinan timbulnya kesesatan, dan ada upaya untuk mengendalikan.


D.   KESESATAN DALAM EKSPERIMEN
Segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi, keadaan, faktor, perlakuan, atau tindakan yang diperkirakan dapat memengaruhi hasil eksperimen disebut variable. Dalam eksperimen selalu dibedakan adanya variable-variabel yang berkaitan secara langsung diberlakukan untuk mengetahui suatu keadaan tertentu dan diharapkan mendapatkan dampak/akibat dari  eksperimen  sering disebut variabel eksperimental atau treatment variable, dan variable yang tidak dengan sengaja dilakukan tetapi dapat memengaruhi hasil eksperimen disebut variabel noneksperimental. Variabel eksperimental adalah kondisi yang hendak diteliti bagaimana pengaruhnya terhadap suatu gejala. Untuk mengetahui pengaruh varibel itu, kedua kelompok , yaitu kelompok eksperimental dan kontrol dikenakan variabel eksperimen yang berbeda ( misalnya metode pemecahan soal untuk kelompok eksperimen dan metode pemahaman konsep untuk kelompok control) atau yang bervariasi. 

Variabel noneksperimental sebagian dapat dikontrol, baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Ini disebut variabel yang dikontrol atau controlled variabel. Akan tetapi sebagian lagi dari variabel non-eksperimen ada di luar kekuasaan eksperimen untuk dikontrol atau dikendalikan. Ini disebut variabel ekstrane atau extraneous variabel. Dalam setiap eksperimen, hasil yang berbeda pada kelompok eksperimen dan kontrol sebagian disebabkan oleh variabel eksperimental dan sebagian lagi karena pengaruh variabel ekstrane. Oleh karena itu, setiap guru yang akan melakukan eksperimen harus memprediksi akan munculnya variabel pengganggu ini.

Adanya perbedaan hasil eksperimen yang dilakukan oleh peneliti/guru/ pengawas  dari kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, bukan secara mutlak disebabkan tindakan yang diberikan, tetapi sebagian lagi karena adanya variable luar/ekstrane yang ikut memengaruhinya. Besar kecilnya pengaruh variable ekstrane yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan dengan yang diobservasi dalam hasil eksperimen disebut kesesatan atau errors.  Dalam eksperimen dapat dijumpai adanya dua jenis kesesatan yaitu : (1) Kesesatan konstan, dan (2) Kesesatan tidak konstan (kesesatan kompensatoris). Kesesatan konstan merupakan pengaruh akibat variable ekstrane, yang selalu ada dalam setiap eksperimen. Variabel ini tidak dapat diketahui, tidak dapat diukur dan sulit untuk dikendalikan, serta tidak mudah untuk diperhitungkan  dan dipisahkan dengan perbedaan hasil yang ditimbulkan oleh variable eksperimen. Sebagai contoh dari kesesatan konstan adalah sebagai berikut:
Suatu penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetahui pengaruh suatu metode (pemecahan soal) terhadap prestasi belajar matematika. Prosedur eksperimen telah dilaksanakan sesuai dengan metodologis yang benar, maka peneliti berkeyakinan bahwa adanya perbedaan hasil belajar siswa nanti secara mutlak dipengaruhi oleh baiknya metode yang dilakukan. Ia tidak menyadari adanya berbagai variable yang mungkin dapat mengganggu proses dan hasil eksperimen. Variabel pengganggu kesesatan konstan; misalnya pada kelompok kontrol terdapat anak-anak/siswa yang pada sore hari ikut pelajaran tambahan/privat. Di samping itu, banyak orang tua/keluarga yang peduli sekali terhadap waktu dan kedisiplinan belajar anaknya, sehingga anak itu selalu diawasi orang tuanya. Ditinjau dari segi guru yang mengajar di kelompok kontrol mempunyai kecakapan mengajar, penguasaan bahan ajar, kepribadian, dan pendekatan kepada siswa sangat bagus. Alat untuk mengukur kemampuan siswa baru mampu mengukur sebagian dari kecakapan dan materi yang diajarkan. Variabel-variabel tersebut merupakan variable luar/ekstrane yang sulit diperhitungkan, sulit dikendalikan, sehingga disinilah muncul adanya kesesatan konstan.

Dengan adanya kesesatan itu, akibatnya setelah data akhir eksperimen diperoleh dan dianalisis terjadi tidak adanya perbedaan antara hasil belajar matematika bagi siswa kelompok eksperimen yang diberi perlakukan metode A (pemecahan soal) dengan kelompok kontrol yang menggunakan metode B (pemahaman konsep). Mengapa hal ini terjadi ? Pada hal secara teori jelas bahwa metode pemecahan soal lebih baik dibandingkan dengan metode pemahaman konsep. Apa jawabannya? Hal ini terjadi karena banyaknya variabel luar/ekstrane yang muncul pada suatu kelompok tertentu pada saat waktu pelaksanaan eksperimen. Jadi hasil belajar pada siswa kelompok kontrol telah dicemar oleh varibel ekstrane yang peneliti tidak mampu memperhitungkan. Pada hal kalau eksperimen berjalan dengan mulus tanpa banyak dipengaruhi variable yang menyesatkan, besar kemungkinan  metode yang dicobakan pada kelompok eksperimen akan mampu memberikan hasil belajar yang lebih baik.

Kemudian, tindakan apa yang sebaiknya dilakukan guru yang akan melakukan eksperimen? Perlu mempersiapkan secara maksimal berbagai komponen yang berkaitan dengan metode yang akan dieksperimenkan pada bidang materi pelajaran tertentu, baik yang berkaitan dengan metode pembelajaran yang akan ditreatmenkan/diperlakukan, materi pelajaran, guru pelakasana tindakan, siswa yang dikenai tindakan, kondisi/situasi kelas, lingkungan belajar, maupun komponen lain yang mungkin dapat memengaruhi hasil eksperimen. Selama proses kegiatan ekperimen berlangsung, peneliti perlu memperhatikan adanya variabel lain yang dimungkinkan akan dapat mengganggu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi munculnya variabel luar yang dapat menyesatkan  hasil eksperimen. 
Kemudian, apa yang dimaksud dengan kesesatan tidak konstan itu? Kesesatan tidak konstan adalah kesesatan yang terjadi pada satu atau beberapa kelompok dalam suatu eksperimen, tetapi tidak terjadi pada satu kelompok lain. Kesesatan pada jenis ini ada kemungkinan untuk dapat diperhatikan atau dikendalikan pada waktu mempersiapkan eksperimen, atau menentukan pola eksperimen. Kesesatan tipe ini dapat dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu:
1). Kesesatan tipe S (Subyek).
2). Kesesatan tipe G (Grup), dan
3). Kesesatan tipe R  (Replikasi).
Untuk mendapatkn pemahaman tentang beberpa tipe kesesatan tersebut di atas berikut ini disampaikan penjelasan singkatnya.

a)    Kesesaatan Tipe S
Ciri khusus dari kesesatan  adalah adanya fluktuasi subjeks sampling pada suatu penugasan subjek ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok pembanding/kontrol pada suatu eksperimen.  Kejadian ini kemungkinan muncul karena dalam salah satu atau kedua kelompok itu terhimpun beberapa orang dalam segi perimbangan menguntungkan salah satu dari kelompok. Misalnya, dalam suatu eksperimen yang ingin diketahui pengaruh metode terhadap hasil belajar matematika pada suatu kelas di sekolah dasar, mungkin sekali secara kebetulan pada kelas pembanding terhimpun siswa yang memiliki IQ yang tinggi dan rajin belajar.Setelah proses eksperimen berakhir, diadakan tes kepada kedua kedua kelompok secara bersamaan. Setelah diadakan analisis statistik dengan menggunakan uji t diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh antara metode A dan metode B terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas tertentu pada SD tersebut. Mengapa demikian? Hal ini dapat disebabkan hasil belajar dari kedua kelompok eksperimen (kontrol dan eksperimen) bukan disebabkan oleh pengaruh metode, tetapi  karena adanya perbedaan subyek (S) yang ditugasi pada kedua kelompok tersebut. Maka dalam pelaksanaan eksperimen, distribusi subyek yang akan ditugasi pada kelompok-kelompok eksperimen harus diseimbangkan, hal ini agar mendapatkan perhatian bagi para peneliti eksperimen pembelajaran.
b)    Kesesatan Tipe G
Pada suatu eksperimen dapat terjadi adanya variabel-variabel luar yang mempengaruhi satu atau beberapa kelompok siswa dalam suatu kegiatan eksperimen, tetapi tidak menyangkut seluruh kelompok yang digunakan. Dalam suatu eksperimen bidang pembelajaran seorang guru yang ditugasi untuk mengajar dengan metode CTL (eksperimen), sedemikian baiknya sehingga memberikan pengaruh yang sangat sistematis terhadap prestasi belajar siswa, dan sebaliknya di kelas lain, diajar oleh guru yang kurang mempunyai motivasi mengajar, kurang menguasai bahan ajar, dan bahkan kurang disiplin. Demikian pula kalau dalam suatu kelompok eksperimen terdapat siswa yang  nakal, dan sering mengganggu teman waktu pelajaran sedang berlangsung, akan mempengaruhi hasil eksperimen pada kelas tersebut. Kalau hal ini terjadi maka kesesatan tipe G telah memengaruhi eksperimen, dan hasil eksperimen tersebut akan tercemari.
c)    Kesesatan Tipe R
Ada pola eksperimen yang dilakukan terhadap beberapa eksperimen yang dilakukan secara serentak dengan menggunakan sample dari bermacam-macam sub-populasi. Pada eksperimen tersebut disebut Replikasi. Berdasarkan pada istilah inilah kesesatan tipe R ini muncul.

Pada eksperimen-eksperimen yang menggunakan  metode mengajar yang dilakukan beberapa kali umumnya dikerjakan seorang guru. Akan tetapi, guru lain juga dapat mereplika (mengulangi dalam keadaan yang sama) setelah memahami apa yang dilakukan oleh guru sebelumnya. Kesesatan tipe R ini terjadi bilamana variabel luar memberikan pengaruh secara sistematis terhadap satu replikasi, tetapi tidak memberikan pengaruh pada replikasi yang lain. Metode mengajar yang pernah diberikan sebelumnya mungkin memberikan landasan yang sangat menguntungkan bagi metode yang sedang dicobakan, dan tidak demikian halnya yang ada pada kondisi sebaliknya. Metode yang akan dicobakan ternyata sudah biasa diberikan, sehingga siswa pada sekolah itu akan mendapatkan prestasi belajar yang lebih baik daripada sekiranya mereka diajarkan dengan metode lain. Kalau eksperimen ini dilaksanakan pada suatu sekolah, maka perbedaan pengaruh variabel yang diobservasi dapat dianggap bebas dari kesesatan R itu. Tetapi kalau ditinjau dari segi banyaknya replikasi pada suatu eksperimen yang diadakan di beberapa sekolah, mungkin terjadi kesesatan tipe ini dan berpengaruh terhadap rerata dari variabel yang dieksperimenkan.

MAKALAH PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH


PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI TAMAN KANAK-KANAK AISYIYAH GLESUNGREJO-BATURETNO-WONOGIRI

  A.    Penegasan Judul

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menghindari salah pengertian       dari maksud judul di atas, maka perlu penegasan istilah-istilah yang terdapat di dalam judul tersebut yaitu sebagai berikut:
1.      Pengembangan Nilai-Nilai Keagamaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengembangan secara etimologi berasal dari kata kembang yang berarti menjadi tambah sempurna (tentang pribadi, fikiran, pengetahuan, dan sebagainya). Pengembangan berarti proses, cara, perbuatan.1 berasal dari kata kerja “menanam”, berarti menaburkan faham,ajaran,dan sebagainya1, kemudian mendapat tambahan pe-an sehingga berarti perihal, cara-cara ataupun upaya menanamkan (menaburkan) suatu paham atau ajaran kepada obyek-obyek tertentu2,dalam hal ini adalah anak.
1
 
Sedangkan nilai, dalam kamus Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan3, dan keagamaan adalah yang bersifat agama4. Nilai-nilai keagamaan berarti sesuatuyang berharga dan mengandungmanfaat bagi umat manusia menurut tinjauan keagamaan, dengan kata lain sejalan dengan pandangan ajaran agama. Dalam hal ini adalah agama Islam yang meliputi nilai-nilai keimanan, ibadah dan akhlak.
Penanaman nilai-nilai keagamaan yang dimaksud disini adalah proses menanamkan nilai-nilai agama Islam yang meliputi keimanan, ibadah dan akhlak pada anak yang dilakukan dengan sadar, terencana dan tanggung jawab.
2.      Anak Usia Pra Sekolah
Anak usia pra sekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar usia 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya dan mengenal beberapa hal yang berbahaya5. Adapun yang dimaksud penulis disini adalah anak-anak yang berusia 5-6 tahun dengan asumsi nahwa pada usia tersebut anak sudah mampu diberi pengetahuan dan latihan-latihan keagamaan.
3.      Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Glesungrejo-Baturetno-Wonogiri
Taman Kanak-Kanak adalah sebuah lembaga sekolah formal yang berada di bawah Sekolah Dasar, atau isebut juga lembaga formal pra sekolah dasar6. Pada lembaga pendidikan TK ini anak dibina dan dididik untuk menumbuhkan dasar-dasar pendidikan pada tahap pengenalan alam kepribadian anak dan terbentuknya pengenalan dalam kepribadian anak dan terbentuknya nilai pendidikan yang baik, serta mulai terbina sikap positif terhaap agama. Anak pada usia TK menyerap nilai-nilai materi pelajaran melalui pengalaman yang dilalui, baik melalui penglihatan, pendengaran, perlakuan yang diterimanya maupun latihan yang diberikan kepada anak7.
Sedangkan Taman Kanak-Kanak Aisyiyah adalah lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak yang terletak di komplek Masjid Al-Muayyad dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) yang berada di desa glesungrejo kecamatan Baturetno kabupaten Wonogiri.
TK Aisyiyah ini menggunakan metode penekatan bermain dan pembiasaan islami. Pendekatan bermain dan pembiasaan Islami yang dimaksud disini adalah menanamkan dan memasukkan nilai-nilai ajaran islam kedalam sebuah permainan, sehingga anak akan terbiasa melakukan ajaran islam dengan sendirinya, seperti membaca do’a sehari-hari dalam setiap melakukan sesuatu, lari syahadat, tepuk Islam, tepuk Anak Sholeh, dan sebagainya. Adapun yang dijadikan obyek penelitian adalah anak usia pra sekolah pada tahun ajaran 2004/2005.
Adapun yang dimaksud dengan judul skripsi ini adalah suatu penelitian yang ingin mengetahui proses dari penanaman nilai-nilai ajaran Islam yang meliputi keimanan, ibadah dan akhlak yang dilakukan dengan sadar, terencana dan bertanggung jawab dalam rangka membimbing dan melatih anak-anak usia 5-6 tahun pada kehidupan beragama dengan pendekatan bermain dan pembiasaan Islami yang dilakukan oleh Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Glesungrejo kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri tahun ajaran 2004/2005.

B.     Latar Belakang Masalah.

Anak merupakan amanat Allah pada orang tua yang pada akhirnya nanti akan dimintai pertanggung jawaban. Anak merupakan bagian dari keluarga, maka secara kodrati orang tuanyalah yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak lahir batin, mental maupun spiritual. Oleh karena itu anak sebagai amanat Allah perlu mendapat perhatian dalam segala bidang kehidupan, salah satunya yaitu agama.
Anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan putih bersih tanpa coretan sedikitpun. Sejak lahir, anak telah membawa potensi dasar yaitu keadaan fitrah, jadi orang tuanyalah yang akan menentukan apakah anaknya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Bukhari Muslim). Jadi anak merupakan makhluk lemah yang selalu bergantung pada manusia sekelilingnya. Seorang anak secara psikis merupakan cikal bakal yang bisa dicetak dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu anak memerlukan perhatian khusus, sebab ia akan menyerap apa saja yang dilihat, diberikan maupun didengarnya, karena ia belum mempunyai konsep untuk menolaknya. Maka sudah menjadi kewajiban orang tua atau orang disekelilingnya untuk memberikan perhatian masalah agama yang meliputi keimanan, ibadah dan akhlak. Hal ini disebabkan karena agama adalah pedoman hidup manusia di dunia dan akhirat, juga sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia baik lahir maupun batin.

Anak yang telah mempunyai potensi sejak lahir sangat memungkinkan untuk ditumbuh kembangkan dan dipupuk dengan nilai-nilai keagamaan sejak dini. Rasa ketuhanan itu akan mendapat dorongan untuk berkembang secara optimal dengan penanaman nilai keagamaan sejak dini. Apabila tidak dibina secara baik masa perkembangan terbesar psikis dan indra ini akan terlewatkan begitu saja. Hal ini akan sangat merugikan bagi anak, sebab jika pada masa ini perkembangan jiwa keagamaannya baik, maka ia akan menginternalisasikan dalam hatinya dan akan mendapat kemanfaatan di masa selanjutnya.

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwasannya pendidikan merupakan upaya membimbing umat manusia ke jalan Allah dengan cara bijaksana, nasehat yang baik serta berdebat dengan cara yang baik pula. Pendidikan merupakan suatu usaha atau proses yang diselenggarakan dengan sadar, terencana, dan bertanggung jawab untuk itu diperlukan metode yang sesuai dengan sasaran atau anak didik untuk mencapai tujuan yang akan dicapai.

Hakekat dari pendidikan agama adalah peneneman moral beragama pada anak, sedangkan pengajaran adalah memberikan pengetahuan agama pada anak didik8 . Pendidikan agama pada dasarnya adalah membina (melestarikan) fitrah agama pada anak yang dibawa sejak lahir, agar tidak luntur menjadi atheis atau bahkan menganut agama selain agama islam. Oleh karena itu yang harus diperhatikan adalah membiasakan anak untuk melaksanakan syari’at agama dan menjauhkan larangan-Nya.

Proses pendidikan tidak selamanya bisa dipegang orang tua, untuk itu diperlukan bantuan orang lain atau suatu lembaga untuk mrnangani masalah pendidikan, misalnya sekolah, pesantren, TPA dan jenis pendidikan lainnya untuk mengajarkan ilmu dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap individu.

Taman Kanak-Kanak Aisyiyah merupakan salah satu dari sekian banyak Taman Kanak-Kanak di wilayah kecamatan Baturetno yang mempunyai tujuan membentuk anak didik agar berkepribadian muslim dan mengupayakan anak didik agar lebih berani tampil, mandiri serta mampu bersosialisasi dengan lingkungan pergaulan.

Adapun sebagai peserta didik pada Taman Kanak-Kanak Aisyiyah adalah anak-anak usia 5-6 tahun yang dididik oleh tenaga pengajar yang terdidik dan berpengalaman. Sedangkan materi yang diberikan terhadap peserta didik pada Taman Kanak-Kanak Aisyiyah ini disesuaikan dengan pertumbuhan usia anak. Dalam hal ini materi yang diberikan meliputi:

  1. Pengembangan pembentukan sikap dasar Islami.
  2. Kemampuan dasar.
  3. Kegiatan-kagiatan pendukung.
Materi pengembangan pembentukan sikap dasar Islami meliputi salam, do'a sehari-hari, pengenalan surat-surat pendek, bimbingan sholat dan pengenalan huruf hijaiyah.
Adapun materi kemampuan dasar meliputi bahasa, daya pikir, daya cipta dan keterampilan. Kemampuan bahasa ini dilaksanakan dengan cara melatih bernyanyi, bicara, mengenal huruf hidup, menjawab pertanyaan dari cerita pendek dan sebagainya. Kemampuan daya pikir disampaikan dengan melatih mengenal angka, bentuk, gejala alam, nama-nama hari, macam-macam rasa dan warna. Untuk kemampuan daya cipta meliputi menggambar bebas, bercerita tentang gambar yang dibuat sendiri, berkreasi dan sebagainya.
Sedangkan materi keterampilan diberikan dengan melatih cara mewarnai, melipat, meronce, menyusun balok-balok , menempel dan lain sebagainya. Disamping itu juga disampaikan materi kemampuan jasmani yaitu dengan cara melatuh senam dan latihan olah gerak dan tari.
Materi-materi yang telah ditetapkan ini disampaikan kepada anak didik melalui sistem klasikal, yaitu pengajaran di dalam kelas dalam suasana bermain. Artinya anak secara tidak langsung mempelajari sesuatu hal melalui permainan-permainan yang mereka lakukan.
Kehadiran Taman Kanak-Kanak Aisyiyah sebagai salah satu lembaga pendidikan bagi anak mendapat sambutan yang positif dari bnerbagai pihak terutama orang tua. Hal ini terbukti dengan banyaknya orang tua yang mendaftarkan anaknya pada Taman Kanak-Kanak Aisyiyah.
Selanjutnya, melihat keberadaan Taman Kanak-Kanak Aisyiyah sebagai mana tersebut di atas maka penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang pendidikan agama Islam yang dilaksanakan didalamnya dalam hal ini mengenai penanaman nilai-nilai keagamaan dimana penulis melakukan penelitian di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah desa Glesungrejo kecamatan Baturetno kabupaten Wonogiri.

C.    Rumusan Masalah.

Mengacu pada persoalan di atas maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah proses penanaman nilai-nilai keimanan, ibadah, dan akhlak terhadap anak usia pra sekolah yang dilaksanakan di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah
2.      Apakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dari pelaksanaan penanaman nilai keimanan, ibadah dan akhlak yang dilaksanakan di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah

D.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tentang proses penanaman nilai-nilai keimanan, ibadah dan akhlak yang dilaksanakan oleh Taman Kanak-Kanak Aisyiyah
2.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan faktor penukung dan penghambat dari pelaksanaan penanaman nilai keimanan, ibadah dan akhlak yang dilakukan oleh Taman Kanak-Kanak Aisyiyah

E.         Kegunan Penelitian

1.  Kegunaan Praktis
a.       Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh TK Aisyiyah Glesungrejo sebagai bahan pertimbangan dalam rangka meningkatkan kualitas penanaman ajaran Islam pada anak usia pra sekolah.
b.      Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi, dan bahan pertimbangan bagi orang tua, pengasuh (pembimbing) dan pendidik dalam rangka menambah wawasan dalam mrndidik anak secara islami.
2.  Kegunaan Teoritis
a.       Untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan khususnya pada lembaga pendidikan islam
b.      Sebagai pengembangan dari ilmu pendidikan yang menyangkut pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.

F.     Telaah Pustaka

Pembahsan mengenai pendidikan agama Islam bagi anak telah banyak dibahas baik oleh para ahli pendidikan maupun dijadikan tema bagi penulisan skripsi oleh mahasiswa jurusan kependidikan. Buku-buku yang bertemakan pendidikan agama islam bagi anak dapat dengan mudah didapatkan, seperti karyaUmar Hasyim dalam bukunya “Cara Mendidik Anak Dalam Islam”, Ali Fikri dengan bukunya “Kepada Putri-Putriku” dan masih banyak lagi. Pada umumnya pembahasan yang mereka kemukakan bersifat sangat global, yaitu mencermati kehidupan anak sejak bayi hingga terlepasnya tanggung jawab orang tua terhadap anak.
Selain keterangan-keterangan yang telah kita dapati tadi, banyak pula dijumpai tulisan-tulisan mahasiswa dalam bentuk skripsi yang bertemakan pendidikan agama islam bagi anak. Kebanyakan tulisan-tulisan tersebut menitik beratkan pada pendidikan anak oleh orang tua atau pendidikan anak pada taman pendidikan al- Qur’an yang tumbuh subur diberbagai daerah.
Ada pula skripsi yang telah menyoroti pendidikan agama islam bagi anak usia pra sekolah, salah satunya skripsi yang disusun oleh Faiqoh yang mengemukakan judul “Pendidikan Agama Islam bagi Anak Usia Pra Sekolah (Tinjauan dari segi materi pelajaran dan metode mengajar)”. Dalam pembahasannya, skripsi ini mencermati secara mendalam mengenai materi yang layak diberikan bagi anak-anak usia pra sekolah dan metode yang digunakan dalam menyampaikan materi itu agar anak dapat mengerti dan memahaminya secara mendalam. Namun demikian skripsi ini lebih bersifat teori-teori umum karena keterangan-keterangan yang terdapat di dalamnya merupakan telaah terhadap kepustakaan yang ada.
Lebih lanjut Mahbub Zamroni mencoba memberikan pembahasan serupa dengan judul “Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam bagi Anak Usia 2-4 tahun (Pra TK) Pada Play Group Taman Qur’ani Bina Anak Sholeh di Karangkajen Yogyakarta”. Di dalamnya dikemukakan secara panjang lebar mengenai pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama islam yang dilaksanakan secara full day school.
Adapun dalam skripsi ini penulis mencoba mengemukakan tentang proses penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak usia pra sekolah dengan mengambil lokasi penelitiannya di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Glesungrejo Baturetno Wonogiri. Lembaga pendidikan ini menyelenggarakan kegiatannya dari pukul 08.00-10.00 WIB. Dengan keterbatasan waktu yang disediakan tersebut, penulis mencoba mengorek lebih dalam bagaimana pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam hal ini mengenai penanaman nilai-nilai keagamaan dan apa faktor yang menghambat dan faktor yang mendukung dari proses penanaman nilai-nilai keagamaan tersebut.

G.    Kerangka Teoretik

1.      Tinjauan Tentang Penanaman Nilai-Nilai Keagaman
A.    Hakekat dan Makna Nilai
Nilai (Value/Qimah) dalam pandangan Brubacher tak terbatas ruang lingkupnya. Nilai tersebut sangat berkaitan erat dengan pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks, sehingga sulit ditentukan batasannya9.
Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat. Nilai ini merupakan unsur realitas yang sah sebagai satu cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu atau bersifat khayali10.
Misalnya nilai keagamaan, maksudnya adalah konsep mengenai penghargaan yang diberikan oleh masyarakat kepada beberapa masalah yang pokok dalam kehidupan beragama yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkutan.[11]
Adapun sumber nilai yang berlaku dalam kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
1). Nilai Ilahi
Nilai yang dititahkan Tuhan melalui para rasul-Nya yang berbentuk taqwa, iman, adil yang diabadikan alam wahyu Ilahi. Religi merupakan sumber yang pertama dan utama bagi para penganutnya. Dari religi, mereka menyebarkan nilai-nilai untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, nilai ini bersifat statis dan kebenarannya mutlak.[12] Adapun tugas manusia yaitu menginterpretasikan nilai-nilai itu agar mampu menghadapi dan menjalani agama yang dianut.[13]
2). Nilai Insani
Nilai insani timbul atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini bersifat dinamis sedang keberlakuan dan kebenarannya bersifat relatif (nisbi) yang dibatasi ruang dan waktu.[14]
Sedangkan dilihat dari orientasinya, sistem nilai dapat dikategorikan dalam empat bentuk:
1)      Nilai etis, yang mendasari orientasinya pada ukuran baik dan buruk
2)      Nilai pragmatis, yang mendasari orientasinya pada berhasil atau gagalnya
3)      Nilai affek sensorik, mendasari orientasinya pada menyenangkan atau menyedihkan
4)      Nilai religius, yang mendasari orientasinya pada dosa dan pahala.[15]
Istilah nilai dalam pendidikan agama Islam dalam hal ini penanaman nilai-nilai keagamaan, dapat dipahami sebagai sesuatu yang disetujui dalam pendidikan Islam. Dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam, banyak materi yang dianggap mempunyai nilai, baik formal maupun nilai materiil. Para ahli pendidikan pada umumnya menentukan bahwa yang harus dinilai dalam sebuah proses itu meliputi:
1)      Aspek Kognitif
Merupakan penguasaan pengetahuan yang menekankan pada mengenal dan mengingat kembali bahan yang diajarkan dan dapat dipandang sebagai suatu dasar atau landasan untuk membangun yang lebih kompleks dan abstrak.
2)      Aspek Afektif
Aspek ini bersangkutan dengan sikap mental, perasaan dan kesadaran siswa. Hasil belajar akan diperoleh melalui internalisasi yaitu suatu proses kearah pertumbuhan batiniyah/rohani siswa.
3)      Aspek Psikomotorik
Aspek psikomotorik ini berlangsung dengan keterampilan yang lebih bersifat faaliyah dan konkret. Hasil belajar aspek ini merupakan tingkah laku nyata yang dapat diamati.[16]
B.     Konsep Islam tentang Penanaman Nilai-Nilai Keagamaan
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa penanaman nilai keagamaan adalah upaya menanamkan nilai keimanan, ibadah dan akhlak yang dilakukan secara sadar, terencana dan bertanggung jawab dalam rangka membimbing anak menuju kehidupan beragama.
Agama melindungi nilai-nilai spiritual yang mendalam dimana terdapat iman terhadap-Nya, terhadap ajaran-Nya juga terhadap makhluk-Nya. Hal ini merupakan sumber kekuatan bagi kehidupan manusia dalam manjalankan kehidupan agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini berarti bahwa nilai keagamaan dapat dijadikan sebagai pedoman dan landasan pembinaan kepribadian.
Sedangkan sidi Gizalba berpendapat bahwa nilai-nilai keagamaan itu menyangkut nilai ketuhanan, kepercayaan, ibadat, ajaran, pandangan dan sikap hidup serta amal yang terbagi dalam baik dan buruk.[17]
Adapun yang dimaksud penulis disini adalah bahwa nilai-nilai ajaran Islam yang perlu ditanamkan pada anak adalah nilai keimanan, ibadah dan akhlak.
Dalam melaksanakan pendidikan agama Islam melalui penanaman nilai keagamaan pada anak yang menjadi dasar pokok adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Disini penulis mengutip beberapa ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang memberikan perlunya pendidikan agama Islam sehingga manusia akan menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah yang memiliki tugas dan kewajiban untuk menyembah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Adapun dasar dari pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dibagi menjadi dua, yaitu:
1)      Dasar Religius
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan Agama Islam dalam hal ini penanaman nilai keagamaan adalah sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an surat Fushilat ayat 33
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ

Artinya: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kejalan Allah”[18]
Maksud dari “menyeru kejalan Allah” adalah menyaru kepada manusia untuk mengesakan Allah dan mematuhi Allah.


b.      Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”[19]
Ayat tersebut mengandung perintah agar menggunakan metode yang terbaik dalam membimbing dan mendidik anak. Dalam kitab al- Maraghi (terjemah) dijelaskan bahwa “al-hikmah” adalah perkataan yang kuat yang disertai dengan dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan kesalahpahaman. Sedang mau’idhah hasanah adalah dalil-dalil yang bersifat dhanni yang dapat memberi kepahaman pada orang-orang awam. Dan mujadalah adalah percakapan dan perdebatan untuk memuaskan penentang-penentang.[20] Jadi dalam mengadakan pendidikan Agama Islam melalui penanaman nilai keagamaan, seorang pembimbing ataupun pendidik harus menggunakan cara atau metode yang terbaik.
Sedangkan Al-Hadits yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan Agama Islam dalam hal ini penanaman nilai keagamaan, adalah:



a.       Hadits Riwayat Abu Hurairah dan Muslim
من راى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الا يمان
Artinya: “Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika itupun tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman”[21]
b.      Hadits Riwayat Tabrani
اد بوا اولا دكم على ثلاث حصال حب نبيكم وحب الى بيته وتلا وة القران
Artinya: “Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara yaitu mencintai nabimu, mencintai keluarga nabi dan membaca al-Qur’an”[22]
Adapun tujuan diadakannya pendidikan agama Islam dalam hal ini penanaman nilai-nilai keagamaan adalah menanamkan taqwa kepada Tuhan dan akhlak serta menegakkan kebenaran untuk membentuk manusia yang berpribadi yang berbudi luhur sesuai dengan ajaran Islam.[23]
2)      Dasar Yuridis / Hukum
Dasar pelaksanaan Pendidikan Agama Islam yang bersumber dari perundang-undangan secara langsung dapat digunakan sebagai pegangan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah maupun lembaga-lembaga pendidikan. Adapun dari segi yuridis atau hukum ada 3 macam, yaitu:
a.       Dasar Idiil
Merupakan dasar dari falsafah negara yaitu Pancasila sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa). Dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran agama.[24]
b.      Dasar Struktural
Merupakan dasar dari UUD 1945 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1&2 yang berbunyi:
(1)   Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
(2)   Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.[25]
Dari bunyi pasal 29 tersebut mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia nharus beragama karena negara telah melindungi dan menjamin umat beragama untuk menunaikan ajaran agamanya masing-masing.


c.       Dasar Operasional
Dasar operasional tentang pelaksanaan pendidikan agama  di Indonesia tercantum dalam Tap MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan Agama dimasukkan kedalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari SD hingga Universitas[26]

C.     Proses Penanaman Nilai-Nilai Keagamaan
Proses penanaman nilai keagamaan merupakan proses edukatif berupa rangkaian kegiatan atau usaha sadar untuk memberikan suatu bimbungan dan pengarahan keagamaan yang diberikan pada pertumbuhannya. Oleh karena itu usaha penanaman nilai-nilai keagamaan yang dilakukan dengan intensif dan dapat dipertanggung jawabkan harus dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya supaya menghasilkan produk atau tujuan yang dikehendaki.
Dalam aktifitas penanaman nilai keagamaan ada beberapa faktor yang dapat membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi namun (faktor Integrasinya) terutama terlihat pada pendidik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Adapun faktor-faktor tersebut, para ahli pendidikan membagi menjadi lima faktor, yaitu: tujuan, pendidik, anak didik, metode dan faktor alam sekitar.[27] Ada pula ahli pendidikan yang membagi menjai empat faktor, yaitu faktor tujuan, pendidik, anak didik, dan alat-alat.[28]
Untuk lebih jelasnya faktor-faktor penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak akan penulis jelaskan sebagai berikut:
1)      Tujuan
Tujuan merupakan target utama yang harus dicapai dalam sebuah proses. Keberhasilan dari sebuah proses dapat dilihat dari tercapai atau tidaknya tujuan yang digariskan.
Tujuan pendidikan melalui penanaman nilai keagamaan disini adalah agar siswa dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada padanya serta meningkatkan motivasi dan kreativitas siswa dalam belajar. Dalam hal ini pendidik atau pembimbing memberikan kesempatan, dorongan dan penghargaan pada siswa untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
Dari proses pencapaian tujuan tersebut akan diperoleh suatu hasil. Dengan demikian untuk memperoleh hasil yang optimal, sebuah proses harus dilakukan secara sadar, terorganisir dengan baik, terencana dan dapat dipertanggung jawabkan.
2)      Faktor Pendidik (pengasuh)
Pendidik atau pengasuh dapat kita bedakan menjadi dua yaitu:
a). Pendidikan menurut kodrati
b).  Pendidikan menurut jabatan yaitu guru, pembimbing dan pengasuh.[29]
Orang tua sebagai pendidik secara kodrati merupakan pendidik utama oleh karena itu hanya dengan pertolongan dan layanannya anak akan berkembang lebih dewasa sedang pembimbing atau pengasuh sebagai pendidik mempunyai tanggung jawab yaitu kepada orang tua, masyarakat dan negara. Tanggung jawab dari orang tua diterima guru atas dasar kepercayaan bahwa guru, pembimbing mampu memberikan pendidikan dan lembaga sesuai dengan perkembangan peserta didik, diharapkan pula dari pribadi seorang guru pembimbing dapat memancar sikap dan sifat yang normatif baik sehingga dapat ditauladani oleh peserta didik.
Sutari Imam Barnadib menguraikan tentang sifat-sifat ideal seorang pendidik yaitu sebagai berikut:
a)      Berbakat
b)      Sopan
c)      Kepribadiannya harus kuat dan baik
d)     Harus disenangi dan disegani oleh anak didik
e)      Emosinya stabil
f)       Pandai menyesuaikan diri
g)      Tidak boleh sensitif
h)      Harus tenang obyektif dan bijaksana
i)        Jujur dan adil
j)        Susila dalam tingkah lakunya[30]





3)      Anak Didik
Anak didik yang dimaksud dalam hal ini adalah anak usia pra sekolah, dimana keberadaannya merupakan suatu keharusan bagi berlangsungnya penanaman nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu seorang guru harus memperhatikan mengenai tingkat perkembangan anak. Adapun beberapa ciri perkembangan pada anak usia pra sekolah yaitu:
a).  Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya, yang ditandai denga berkembangnya kemampuan dan keterampilan motorik seperti naik turun, loncat dan lari maupun gerakan yang halis seperti meniru gaya orang lain dan menggunakan benda atau alat.
b).  Perkembangan Intelektual
Perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode preoperasional, dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Perlu ditandai dengan kemampuan menggunakan sesuatu atau mewakili sesuatu yang lain dengan simbol (kata-kata, bahasa gerak dan benda)
c).  Perkembangan Emosional
Pada usia ini anak mulai menyadari ke-Aku-annya, bahwa dirinya berbeda dengan yang lain. Adapun emosi yang berkembang antara lain takut, cemas, cemburu, marah, senang, kasih sayang, phobia dan rasa ingin tahu.
d). Perkembangan Bahasa
                  Adapun perkembangan bahasa pada masa ini ditandai dengan:
Ø  Anak mulai bisa menyusun kalimat dengan sempurna
Ø  Anak sudah memahami tentang perbandingan
Ø  Anak banyak menanyakan tentang nama dan tempat
Ø  Anak banyak menggunakan kata-kata yang berawalan dan berakhiran
e).  Perkembangan sosial
Perkembangan sosial anak mulai tampak jelas, karena mereka mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Hal ini ditandai dengan:
Ø  Anak mulai mengetahui aturan
Ø  Anak mulai tunduk pada aturan
Ø  Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain
Ø  Anak dapat bermain bersama yang lain
f).  Perkembangan Bermain
Usia pra sekolah dapat dikatakan sebagai usia bermain, dimana mereka melakukan kegiatan dengan kebebasan batin intuk memperoleh kesenangan.
g).  Perkembangan Kepribadian
Masa ini disebut dengan masa trotzalter, peroode perlawanan atau masa kritis pertama. Pada masa ini berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab.
h).  Perkembangan Moral
Pada masa ini anak sudah memiliki dasar tentang sikap moral terhadap kelompok sosialnya (orang tua, saudara dan teman sebaya), melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang boleh atau tidak boleh dan baik atau tidak baik.
i).  Perkembangan kesadaran beragama
Kesadaran beragama pada usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Ø  Sikap keagamaannya bersikap reseptif atau menerima meskipun banyak bertanya
Ø  Pandangan ketuhanan yang bersifat Anthropormorf (dipersonifikasikan)
Ø  Penghayatan belum mendalam
Ø  Hal mengenai ketuhanan bersifat egosentris[31]
Dengan mempelajari ciri perkembangan anak usia pra sekolah, maka orang tua, pendidik maupun pengasuh (pembimbing) mempunyai gambaran sebenarnya yang menjadi kebutuhan jasmani maupun rohani anak, sehingga bimbingan yang diberikan akan lebih mencapai sasaran sasuai dengan tingkat perkembangannya.
4)      Materi
Materi merupakan segala sesuatu yang diberikan pendidik kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan tingkat perkembangan anak didiknya. Adapun materi yang perlu diberikan dalam penanaman nilai keagamaan, secara garis besar meliputi tiga materi yaitu:
a)      Keimanan
Keimanan merupakan hal yang paling pokok dan mendasar dalam islam, karena menyangkut seluruh aspek kehidupan menusia lahir dan batin. Iman merupakan keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dilakukan dengan perbuatan. Hanya dengan iman yang kuat seseorang dapat melakukan ibadah dengan baik dan dapat menghias diri dengan akhlakul karimah.
Sejak dilahirkan anak sudah dibekali dengan benih akidah yang benar, ia dilahirkan berdasarkan kesuciannya. Oleh karena itu pembinaan terhadap benih yang telah ada harus benar-benar diperhatikan. Dengan pembinaan dan pendidikan yang tepat benih keimanan akan tumbuh dengan subur dan mengakar kuat pada diri seorang anak. Hal ini akan berpengaruh besar pada perkambangan masa berikutnya. Akidah Islam perlu dijabarkan dalam rukun iman dan barbagai cabangnya serta menjauhkan diri dari syirik, dan ini menjadi tonggak islam dalam membentuk nilai-nilai yang baik. Maka sejak kecil anak harus sudah mulai diperkenalkan dengan rukun iman serta dibimbing dan diajarkan bagaimana cara beriman pada masing-masing rukun iman tersebut. Adapun materi yang diajarkan adalah pengenalan terhadap ciptaan Allah yang meliputi manusia, nama-nama Nabi dan Rosul, Kitab Allah dan alam sekitar, pengenalan terhadap sifat ghaib Allah, dan makhluk ghaib Allah seperti malaikat-malaikat Allah.
b)      Ibadah
setiap keyakinan akan dianggap lengkap jika hal itu direalisasikan dalam perbuatan yang nyata dan itulah yang dianggap sebagai iman sejati. Ibadah salah satu sendi agama islam yang harus ditegakkan, karena sesungguhnya Allah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya.[32]
Orang tua, pendidik, dan pengasuh hendaklah pandai-pandai dalam menanamkan kebiasaan-kebiasaan beribadah pada anak, agar setelah mereka tumbuh dewasa akan menjadi hamba yang taat beribadah pada Allah dan menganggap ibadah sebagai kewajiban sekaligus kebutuhan bagi mereka. Setelah anak mengenal rukun iman, kemudian anak mulai diperkenalkan dengan rukun Islam, karena didalamnya memuat ibadah yang dilakukan manusia kepada Allah.
Adapun ibadah yang perlu diperkenalkan pada anak semenjak kecil yaitu shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat dan haji,adapun ibadah yang perlu dibiasakan adalah shalat lima waktu dan membaca do’a sehari-hari.
c)      Akhlak
Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir Beliau diutus oleh Allah ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini disebabkan karena akhlak merupakan perbuatan yang mencerminkan jiwa seseorang dan akhlak merupakan salah satu sendi dalam Islam yang tidak boleh diabaikan. Islam mengajarkan pada manusia bagaimana berakhlak pada Allah, sesama manusia dan sesama makhluk ciptaan-Nya. Hal ini akan terpelihara dengan baik bila masing-masing telah menghiasi dirinya dengan akhlakul karimah, karena hanya dengan akhlakul karimah inilah akan tumbuh manusia-manusia mulia yang sehat jasmani rohani dan siap menjadi kader bangsa yang kuat dan kokoh.
Oleh karena itu, orang tua dan pembimbing berkewajiban untuk mendidik akhlak anak sejak kecil,dan membiasakan anak dengan perbuatan dan perkataan yang baik pada Allah, sesama manusia maupun sesama makhluk-Nya. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan anak sedini mungkin agar berakhlakul karimah, mencintai Allah dan menjadikan rasul sebagai teladan sehingga anak termotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik dan disukai Allah dan dalam perkembangan selanjutnya anak akan memotivasi orang lain untuk berbuat baik dalam segala ucapan dan tingkah laku. Adapun akhlak yang diperkenalkan adalah akhlak pada Nabi dan rasul serta para pejuang Islam dan yang dibiasakan adalah akhlak pada Allah, orang tua, guru dan sesama manusia.
5)      Metode
Proses edukatif dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan disamping dibutuhkan materi yang tepat, juga dibutuhkan metode yang tepat pula. Dalam melaksanakan pendidikan agama Islam,dalam hal ini penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak, metode merupakan faktor yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena metode sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses penanaman nilai, disamping itu metode juga merupakan jalan bagi pembimbing untuk menyampaikan materi yang ada.
Menurut Nasikh Ulwan, ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak yaitu:
a)      Metode Keteladanan
b)      Metode Adat Kebiasaan
c)      Metode Nasihat
d)     Metode Pengawasan
e)      Metode Hukuman[33]

Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh metode-metode di atas maka penulis akan menjelaskan, sebagai berikut:
a)      Metode Keteladanan
Menurut Nasikh Ulwan, keteladanan adalah metode yang influentif dan metode yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak dalam moral, spiritual dan sosial. Hal ini disebabkan karena keteladanan merupakan contoh konkrit yang terbaik dalam pandangan anak yang akan ditiru dalam tindak tanduknya dan tata santunnya disadari atau tidak bahkan akan tercetak dalam jiwa dan perasaannya suatu gambar pendidikan tersebut baik ucapan maupun perbuatan, materi maupun spiritualnya, diketahui maupun tidak diketahui[34]
Sedangkan menurut K.H. Abdurrahman Wahid, keteladanan merupakan katakunci dari kerja mengembangkan keagamaan dalam dirianak. Keimanan anak merupakan sesuatu yang tumbuh nyata, walaupun dalam bentuk dan cakupan yang sederhana dari apa yang diajarkan.[35]
b)      Metode Adat Kebiasaan
Metode ini merupakan metode yang digunakan pendidik dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan pada anak untuk melakukan pembiasaan Islami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Ihya Ulumuddin, al-Ghazali berpendapat bahwa, pembiasaan anak dengan sifat baik atau buruk serta kaitannya dengan fitrah (kesucian) sebagai berikut: “Bayi itu merupakan amanat disisi kedua orang tuanya, hati dan jiwanya suci,jika ia dibiasakan dengan kejahatan atau dibiarkan seperti hewan liar, maka ia akan celaka. Memeliharanya ialah dengan jalan mendidiknya dan mengajarkannya adanya akhlak yang baik.[36] Dalam hal ini , Ibnu Sina juga berpesan: “Carikanlah tempat belajar anak yang berperilaku cakap dan sopan,serta mempunyai kesamaan akan lebih mudah meniru dan mengambil contoh.[37]
Berdasarkan hal di atas, maka hendaknya setiap pendidik menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan dan latihan yang cocok dengan perkembangan jiwanya. Karena dengan demikian akan membentuk sikap tertentu pada anak yang lambat laun sikap itu akan nampak jelas dan kuat menjadi sebagian dari kepribadiannya.
c)      Metode Nasihat
Metode nasihat merupakan metode yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan pada anak tentang konsep Tuhan, membimbingnya untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menggunakan metode ini untuk menenemkan nilai-nilai agama seperti pada surat Luqman ayat 13 di bawah ini:
وَإِذْقَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata pada anaknya diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya. “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.[38]

Dengan demikian pendidik hendaklah lebih memahami hakekat dan metode al-Qur’an dalam upaya memberi nasehat, petunjuk dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anak sehingga mereka menjadi anak-anak yang baik, berakidah, berakhlak, berpikir dan berwawasan matang.
d)     Metode Pengawasan
Pengawasan anak dilakukan dengan cara memperhatikan terus menerus perkembangan mereka mengenai aspek-aspek pengetahuan dan sikap (tindak tanduk dan perbuatan). Menurut Nasikh Ulwan maksud pendidikan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi anak dalam upaya membentuk akidah, moral dan mengawasinya secara psikis dan sosialnya serta menanyakan secara terus menerus tentang keadaannya baik dalam hal jasmani maupun dalam hal belajarnya.[39]
Faktor lingkungan atau situasi lingkungan akan mempengaruhi proses hasil pendidikan. Beberapa ahli pendidikan membagi mileu (lingkungan) menjadi 3 bagian, yaitu:
a). Lingkungan keluarga
b). Lingkungan sekolah
c). Lingkungan masyarakat.[40]
Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosiokultural.[41] Oleh karena itu dalam proses menanamkan nilai-nilai keagamaan pada anak dibutuhkan lingkungan fisik yang sehat, dinamis dan suasana ceria sehingga anak selalu mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar.
D.    Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat
Dalam proses interaksi edukatif melalui penanaman nilai keagamaan pada anak, untuk mencapai tujuan secara optimal dan menghasilkan produk yang diharapkan memerlukan faktor-faktor pendukung yang apabila faktor tersebut tidak tersedia maka akan menghambat proses tersebut. Hal ini dikarenakan manusia dalam proses kehidupannya selalu terpengaruh dengan berbagai macam sarana pendidikan,seperti rumah tangga, sekolah, pergaulan, lembaga sosial, agama dan sebagainya. Hal itu meliputi teladan yang baik, nasihat atau pengajaran yang baik, atau peniruan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Adapun faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan penanaman nilai-nilai keagamaan adalah:
1)      Anak
Anak merupakan peserta didik dalam penbinaan kehidupan beragama melalui penanaman nilai-nilai keagamaan. Adapun yang mempengaruhi perkembangan jiwa pada anak yaitu:
a).  Faktor intern
Terdiri dari faktor rohaniah meliputi pikiran kehendak, perasaan fantasi dan sebagainya, dan faktor jasmaniah yang meliputi nagian luar seperti bentuk kepala, leher, kaki dan bagian dalam seperti jantung, paru-paru dan sebagainya.
b).  Faktor Ekstern
Faktor ini dibedakan atas faktor sosial yang meliputi keluarga dan sekolah dan faktor non sosial yang meliputi organis dan non organis.[42]
2)      Guru
Seorang guru harus mempunyai kecakapan serta pengetahuan dasar sedikitnya pada bidang utama:
a)      guru mengenal murid yang telah dipercayakan meliputi sifat,  kebutuhan, minat dan kemampuan
b)      guru harus memiliki kecakapan memberikan bimbingan
c)      guru memiliki dasar pengetahuan yang luas sesuai dengan perkembangan anak
d)     guru mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan.[43]
Faktor penghambatnya adalah:
a)      kesulitan melayani setiap perbedaan individual dari murid
b)      kesulitan menentukan metode mengajar yang tepat
c)      kesulitan untukmenanamkan motivasi pada anak
d)     kesulitan membimbing kegiatan belajar anak
e)      kesulitan menentukan materi yang cocok
f)       kesulitan memperoleh bahan, materi dan alat pengajaran
g)      kesulitan mengadakan evaluasi
h)      kesulitan mengatur waktu untuk melaksanakan kegiatan yang direncanakan.[44]
3)      Rumah Tangga
Rumah tangga adalah sarana pendidikan yang pertama bagi anak. Disana anak belajar mempergunakan semua anggota badannya, melakukan gerakan jasmani dan mendapatkan banyak kebiasaan dan pembiasaan. Di sana pula anak belajar berbicara, memahami cara bersikap, memahami kalimat dan bertingkah laku antar anggota keluarga.
a)      Di antara anggota keluarga hubungan sosial antar masing-masing individu dengan segala hak dan kewajibannya. Bila anak belajar dalam rumah tangga yang baik maka akan semakin baik di sekolah, sebaliknya jika anak belajar dalam rumah tangga yang tidak baik maka akan mengganggu yang lainnya, karena sekolah hanyalah sarana pelengkap bagi pendidikan di rumah tangga.[45]
4)      Alat-alat Pendidikan
Alat pendidikan meliputi 3 tingkat, yaitu:
a)      Tingkat pengalaman riil yaitu segenap media yang ada di dalam dunia kehidupan sehari-hari
b)      Tingkat pengalaman buatan yaitu segenap media yang sengaja diciptakan untuk mendekatkan pada pengalaman riil
c)      Tingkat pengalaman verbal, dimana bahasa sebagai alat utama baik tertulis maupun lisan.[46]

2.      Tinjauan Tentang Anak Usia Pra Sekolah
a.   Pengertian anak usia pra sekolah
Dalam hal ini, penulis memberi batasan pengertian anak usia pra sekolah yaitu anak usia 5 sampai 6 tahun. Tetapi untuk lebih jelasnya dalam memahami maksud penulis maka ada baiknya kita tinjau pengertian ini secara umum.
Perkembangan anak sejak lahir sampai usia lanjut mengalami beberapa fase. Ada beberapa metode yang digunakan oleh para ahli untuk menentukan fase-fase perkembangan, seperti Ki Hajar Dewantoro yang membagi perkembangan usia berdasarkan hitungan Jawa yaitu: 0,0-8,0 disebut wiraga, usia 8,0-16,0 disebut wicipta dan usia 16-24disebut wirawa.[47]
Dari  pendapat ahli di atas dapat di simpulkan bahwa para ahli berbeda pendapat dalam memberi batasan usia anak. Namun demikian dapat diambil kesimpulan juga bahwa anak usia pra sekolah adalah anak yang belum memasuki usia sekolah.
b.      Perkembangan Agama Pada Anak
Perkmbangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya terutama pada masa pertumbuhannya yang pertama dari umur 0-12 tahun.[48] Perkembangan keagamaan mempunyai arti penting dalam kehidupan keagamaan pada anak baik pada masanya maupun masa selanjutnya. Seseorang yang pada masa anaknya tidak mendapat bimbingan agama dan tidak mempunyai pengalaman keagamaan maka setelah dewasa ia mempunyai kecenderungan sikap yang negatif terhadap agama.
Oleh karena itu diperlukan penanaman nilai keagamaan yang meliputi keimanan, ibadah dan akhlak yang berlangsung sejak dini supaya terbentuk pribadi yang kuat berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan dan mengakar kuat sepanjang hidupnya.hal ini terjadi karena pada masa tersebut anak akan menerima apa saja yang dilakukan, dikatakan dan diperdengarkan pada mereka oleh orang tua dan orang di sekelilingnya sebab ia belum mempunyai konsep untuk menolaknya.
Untuk membuat anak-anak mengerti tentang agama, konsep keagamaan harus diajarkan dengan bahasa sehari-hari sehingga akan menjadi konkret dan realistis. Sepanjang masa anak-anak kepercayaan dan pemahaman masing-masing anak berbeda dan sangat berfariasi, karena dibangun atas dasar konsep pendidikan dan pengalaman yang berbeda pula.[49]
Pada masa selanjutnya nilai-nilai tersebut akan terbentuk menjadi kata hati yang pada usia selanjutnya akan menjadi dasar dan pegangan terhadap nilai-nilai dan pengaruh yang datang padanya.
Selain hal tersebut, informasi keagamaan yang tererap melalui cerita-cerita atau nyanyian-nyanyian yang didengarnya akan menambah kekayaan pengalaman keagamaan anak. Fase ini adalah fase berkembangnya daya fantasi secara luar biasa. Teladan dalam bentuk cerita atau cerita-cerita nabi akan bermain bebas dalam fantasi anak dan memberikan bekas yang sangat berperan dalam perkembangan religiusitas selanjutnya.





H.    Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang penulis gunakan ini adalah sebagai berikut:
1.  Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian adalah orang yang dapat memberikan informasi atau sering disebut dengan key person yang berarti sumber informasi.[50] Subyek penelitian dalam hal ini adalah ustadzah, pengurus, dan anak-anak usia pra sekolah Taman Kanak-Kanak Aisyiyah. Adapun obyek penelitiannya yaitu Penanaman Nilai-Nilai Keagamaan yang meliputi: keimanan, ibadah dan akhlak yang dilaksanakan oleh Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Glesungrejo Baturetno Wonogiri. Metode penelitian ini termasuk dalam penelitian kasus yang penelitiannya sempit[51] yaitu penanaman nilai keagamaan pada anak usia pra sekolah.
2.  Metode Pengumpulan Data
a.       Interview
Metode interview merupakan metode pengumpulan data dengan tatap muka secara langsung antara penulis dengan subyek penelitian, Sudijono berpendapat bahwa wawancara merupakan cara menghimpun bahan keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab secara langsung sepihak, berhadapan muka dan dengan arah dan tujuan yang telah ditentukan.[52]
Dalam hal ini penulis menggunakan metode wawancara bebas terpimpin[53] artinya memberi pertanyaan menurut keinginan peneliti tetapi masih berpedoman pada ketentuan atau garis-garis yang menjadi pengontrol relevan atau tidaknya isi interview tersebut. Metode ini digunakan untuk memperjelas data tertulis tentang obyek penelitian yaitu penanaman nilai keagamaan pada anak usia pra sekolah.
b.      Metode observasi
Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan dengan sistematis terhadap fenomena yang diselidiki.[54] Dalam hal ini penulis tidak ambil bagian dalam proses penanaman nilai keagamaan tetapi mengamati dan menyaksikan kegiatan para pengasuh/pembimbing dan anak-anak Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Glesungrejo Baturetno Wonogiri.
c.       Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode yang penyelidikannya ditujukan padapenjelasan apa yang telah lalu melalui sumber dokumentasi. Dalam penelitian ini metode dokumentasi dipergunakan untuk memperoleh dan mencatat data secara langsung tertang letak geografis, keadaan pengasuh, struktur organisasi, buku induk dan data administrasi lainnya.
3.  Metode Analisa Data
Setelah data terkumpul selanjutnya penulis mengadakan analisa terhadap data tersebut. Dalam menganalisa data tersebut penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif yaitu sebuah analisa dengan memberikan predikat pada variabel yang diteliti sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.[55]
Hasil dari pengolahan dan analisa data, kemudian digunakan oleh penulis sebagai dasar untuk menarik kesimpulan terhadap masalah yang diteliti. Dalam menarik kesimpulan, penulis menggunakan cara berpikir induktif yaitu cara berfikir seseorang berdasarkan fakta-fakta yang khusus, peristiwa yang konkrit menuju pada kesimpulan yang bersifat umum.

I.       Sistematika Pembahasan

Dalam penyusunan skripsi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: bagian awal, bagian utama dan bagian akhir yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut
Bagian awal, memuat tentang bab satu yaitu pendahuluan yang berisi penegasan istilah judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bagian utama meliputi bab kedua yaitu memuat tentang gambaran umum tentang Taman Kanak-Kanak Aisyiyah yang terdiri dari: letak geografis, sejarah dan tujuan berdirinya, struktur organisasi, keadaan anak, keadaan pengasuh, serta sarana dan prasarana. Bab ketiga menguraikan dan membahas proses penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak usia pra sekolah di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Glesungrejo Baturetno Wonogiri yang meliputi penanaman nilai keimanan, penanaman nilai ibadah, penanaman nilai akhlak, teknik evaluasi hasil belajar, faktor pendukung dan penghambat, serta upaya pemecahannya.

Bagian akhir meliputi bab keempat yang memuat tentang kesimpulan, saran-saran dan diakhiri penutup.



1 Tim Penyusun Kamus Ps
1 Pusat pembinaan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1990), hlm. 895.
2 Ibid, hlm. 69.
3 Ibid, hlm. 10.
4 Mursal, Kamus Jiwa dan Pendidikan, (Bandung: Al-Ma’arif,1976), hlm.92.
5 Syamsu Ma’arif, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosda,2000), hlm. 162.
6 Direktorat Jendral kelembagaan Agama Islam, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2002), hlm. 7.
7 Anisa Hidayati, Anak Saleh ( Tanamkan Iman Sejak Dini), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,1990), hlm.v
8 Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Stategi Dakwah Islam, (Surabaya; Al-Ikhlas,t.t.), hlm.157.
9 Muhammad Nur Syams, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional,1986), hlm.133.
10 Ibid, hlm.133
[11] Pusat Pembinaan Bahasa Debdikbud, Op.Cit., hlm. 615.
[12] Sulaiman MI, Manusia Religi dan Pendidikan, (Jakarta: Dirjen PT PPLTP, 1988), hlm. 161.
[13] Noeng Muhajir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasih, 1987), hlm.144. 
[14] Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasional, (Bandung: PT Tri Genda Karya, 1993), hlm.111.
[15] Muhammad Tolhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), hlm.57.
[16] Muhammad Zein, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: AK Group dan Indra Buana, 1990), hlm. 186.
[17] Sidi Gizalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),hlm. 254.
[18] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: PT Tanjung Masyarakat Inti, 1992), hlm. 778.
[19] Ibid, hlm. 950.
[20] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tarjamah Tafsir al-Maraghi, Drs. Herry Nur Aly, K. Anshori Umar Sitanggal dan Bahron LC. Pent., (Semarang: CV Toha Putera, 1989), hlm. 283.
[21] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t.), hlm. 159.
[22] Moh. Rifa'Islam, 300 Hadits Bekal Dakwah dan Pembinaan Pribadi Muslim, (Semarang: Wicaksono, 1980), hlm. 123.
[23] Abdullah Nasikh Ulwan, Pedoman Mendidik Anak dalam Islam, (Semarang: Asyifa, 1991),hlm. 320.
[24] UUD 1945, P4, GBHN, (Tap MPR No.2/MPR/1993), hlm. 30.
[25] Ibid, hlm. 37.
[26] Ketetapan MPR RI tgl 1-3-1988.
[27] Muh. Zein, Op.Cit., hlm.32.
[28] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 5.
[29] Sutari Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Islam dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hlm. 73.
[30] Fuad Ihsan, Op.Cit., hlm. 8.
[31] Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.47.
[32] Depag RI, Op.Cit., hlm.645.
[33] Abdullah Nasikh Ulwan, Op.Cit., hlm. 197.
[34] EB Hurlock, Psikologi Perkembangan Anak, terjemah oleh Met Meita Sari, (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 320.
[35] YBU Mangun Wijaya, Menumbuhkan Sikap Religius Pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1991), hlm.xi.
[36] Abdullah Nasikh Ulwan, Op.Cit., hlm.53.
[37] Ibid, hlm.49.
[38] Depag RI, Op.Cit., hlm.645.
[39] Abdullah Nasikh Ulwan, Op.Cit., hlm.126.
[40] Fuad Ihsan, Op.Cit., hlm. 10.
[41] Sutari Imam Barnadib, Op.Cit., hlm. 118.
[42] Abu Bakar Muhammad, Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 47.
[43] Winarno Surahmat, Metodologi Pengajaran Nasional, (Jakarta: Jemmars, 1979), hlm.47.
[44] Ibid, hlm. 48.
[45] Winarno Surahmat, Op.Cit., hlm. 60.
[46] Ibid, hlm. 64.
[47] Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, Psikologi Perkembangan, (Semarang: IKIP Semarang Press, t.t.), hlm. 37.
[48] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm.72.
[49] Zakiah Daradjat, Op.Cit., hlm. 75.
[50] Tatang M Amirin, Menyusun rencana Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), hlm. 183.
[51] Mawardi Bahtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta:Logos, 1997),hlm. 82.
[52] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 183.
[53] Suharsimi Ari Kunto, Prosedur Penelitian; Suatu Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 127.
[54] Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid II, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 136.
[55] Suharsimi Ari Kunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990),hlm. 353.