BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi
keputusan sejarah bahwa manusia selalu saja berusaha mencari jawaban terhadap
fenomena yang dihadapi. Keterkaitan manusia untuk terus menggali dan ingin
mengetahui segala sesuatu seolah-olah menjadi “takdir” akan keberadaan manusia
itu sendiri. Hal yang demikian tak lain karena hakikat manusia yang sedari awal
mempunyai perbedaan besar dengan makhluk-makhluk lain (hewan dan tetumbuhan),
yaitu kekuatan akal yang lebih dibanding dengan yang lain.
Dengan akallah
manusia menjadi spesies yang paling berpengaruh dalam perubahan peradaban
mahluk hidup (Blackmoore, 1999: 69–81 ). Pepatah Arab mengatakan, “Manusia
adalah hewan yang berbicara menggunakan akal.” Karena itu, “Kalau bukan karena
ilmu pengetahuan, sungguh, manusia hanyalah seperti hewan.” Dan memang, ingin
mengetahuhi dan memahami (sinverstehen), kemudian menjelaskan (erklaren),
menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kedirian manusia sejak zaman dahulu.
Inilah pula yang menjadi dasar lahirnya teori-teori sosial dan pergulatannya
sepanjang sejarah kehidupan manusia (Craib, 1994: 11).
Cara kita memperoleh
pengetahuan tentang dunia, terdiri dari apa saja, dan bagaimana memberikan
penjelasan yang tepat tentangnya sangat ditentukan oleh hakikat keberadaan
sesuatu itu sendiri (Craib, 1994: 30). Roy Baskhar, sebagaimana dikutip Ian
Craib, menengarai bahwa salah satu cara lama yang telah terjadi adalah dengan
melakukan pembedaan (distinction) antara (1) teori-teori “holistik” dan
(2) teori-teori “individualistik”. Teori-teori holistik memulai pengamatan
dengan “masyarakat” sebagai satu kesatuan (unit analisis), memandang masyarakat
sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar totalitas individu yang membentuknya.
Dengan begitu, tindakan-tindakan individu dalam beberapa hal ditentukan
masyarakat yang bersangkutan menjadi bagian dari salah satunya. Selanjutnya,
teori-teori individualistik memulai pemeriksaan terhadap individu-individu dan
melihat masyarakat sebagai hasil tindakan-tindakan individu yang berjalin erat
(Craib, 1990: 31).
Tampaknya, beragam
pendapat yang dikemukakan tersebut menuai kebenaran yang cukup evidensial. Pada
paruh awal abad ke-20—bahkan mungkin hingga sekarang—ruang tempat hilir-mudik
teori-teori sosial sangat didominasi oleh strukturalisme—sebuah paham yang
dapat dimasukkan ke dalam kategori pertama. Di sisi lain juga terdapat paham
yang mempunyai pengaruh besar, yang sekiranya dapat pula dikelompokkan dalam
kategori kedua: eksistensialisme, fenomenologi, etnometodologi, dan sejenisnya.
Paham-paham yang terakhir ini dirumuskan oleh tokoh-tokoh seperti Jean Paul Sartre
(1905–1980), Albert Camus (1913–1960), Karl Jesper (1883–1969), Edmund Husserl,
Martin Heidegger, Harold Garfinkel, Alfred Schutz, dan masih banyak yang
lainnya. Paham ini, secara perlahan-lahan, menjadi “buzzwords” bagi para
mahasiswa, akademisi, intelektual, hingga sastrawan, dan efeknya sangat jauh
membentang hampir ke seluruh dunia (Delfgaouw, 2001).
Kelompok strukturalis
lebih menekankan “kualitas lingkungan”, situasi, atau kondisi (eksternal) dalam
menganalisis suatu hal. Sedangkan aliran eksistensialisme dan sekerabatnya,
sangat berbanding terbalik dengan strukturalisme. Jika stukturalisme lebih
menekankan bagaimana hubungan manusia, situasi, dan kondisi, eksistensialisme
lebih memfokuskan gerak individu dalam membentuk masyarakat. Bahkan, eksistensialisme
seolah-olah ingin mengatakan bahwa “apapun yang mempunyai keputusan adalah
kehendak individu” (Muzairi, 2001).
Misalnya, untuk
mengetahui sebab-musabab fenomena kemiskinan yang sedang melanda bangsa ini.
Kemiskinan terjadi bisa karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang korup,
bermental lemah, dan semangat bekerjanya sangat minim. Padahal, untuk menjadi
bangsa yang maju mesti dibutuhkan mental yang kuat, orang yang bersih, dan
semangat tinggi untuk maju. Bisa juga dikatakan bahwa kemiskinan Indonesia
adalah akibat struktur global yang tidak pernah bersahabat dengan Indonesia.
Kondisi demikian tidak lain disebabkan oleh kekuatan-kekuatan kapitalisme
global yang selalu saja menata setting dunia sehingga menguntungkan
negara-negara besar Dunia Pertama, dan sulit dijangkau oleh negara-negara Dunia
Ketiga. Demikianlah pendapat yang dianut kalangan marxis-strukturalis (Preston,
1996; Arief, Budiman, 1995).
Dalam perdebatan ilmu
ekonomi-politik, untuk menjelaskan peralihan kebijakan ekonomi-politik proteksionis
yang ditempuh Orde Baru menuju ekonomi liberal, kita bisa saja menemukan
berbagai pembacaan. Bagi mereka yang menggunakan analisis aktor dan kedaulatan
individu non-stuktural, kebijakan liberalisasi atau pendobrakan sentralisme
ekonomi Indonesia—yang berlangsung selama dekade 1980-an—merupakan dorongan
dari kalangan “epistemis liberal” yang selalu bersuara dan menginterupsi
kebijakan pemerintah, yang pada saat itu memang sangat sentralistis (Mallarangeng,
2001: 34–128).
Lain halnya menurut
kaum marxis-strukturalis, peralihan kebijakan ekonomi-politik Indonesia terkait
dengan jejaring dunia yang memang telah terjadi proses dominasi negara-negara
Dunia Pertama terhadap negara-negara Dunia Ketiga dengan sistem ekonomi pasar.
Sistem ekonomi tersebut tak lain akan menjadikan negara seperti Indonesia
“tunduk tak berdaya”, tanpa ,mampu sedikit pun melakukan perlawanan, dan larut.
Akibatnya, kondisi demikian menjadikan Indonesia masuk dalam arena sistem
ekonomi pasar (Robison, 1986).
Begitulah dua kutub
yang terus saja berseteru. Bagi kalangan strukturalis, format-format kebudayaan
dan sistem sosial ditentukan oleh struktur yang bermain. Namun, lain halnya
dengan aliran eksistensialis beserta kerabatnya, fenomenologi dan
etnometodologi, yang memandang bahwa realitas sosial adalah kehendak,
kesadaran, dan fenomena-fenomena yang ada dalam suatu realitas tersebut.
Kelompok ini lebih menekankan kedaulatan agensi sebagai penentu realita sosial
(Jenkins, 1992: 66–102).
Lantas, datanglah
Pierre-Felix Bourdieu (selanjutnya: Bourdieu). Filsuf asal Prancis ini kemudian
mencoba memadukan antara mereka yang bersikukuh bahwa struktur sebagai penentu
atau agensi sebagai segalanya. Bagi filsuf yang juga aktivis gerakan sosial ini,
memang strukturalisme lebih memusatkan pada peran “rule” atau “langue”,
yang berarti berarti menolak kedaulatan agensi. Individu, bagi Bourdieu,
tidaklah hanya tunduk dan diam mengikuti alur stuktur. Lebih dari itu, agensi
memiliki pilihan-pilihan rasional, “inovasi”, serta teknik diri yang terapresiasi di dalam
pikiran-pikiran, apresiasi, hingga tindakan (Bourdieu, 1990: 13).
Sebenarnya, terdapat
banyak tokoh lain yang bisa dikategorikan ikut terlibat dalam proses
“pendamaian” antara kekuatan “atomistis” dan “strukturalis”, umpamanya sosiolog
masyhur Anthony Giddens, juga Margaret Archer, dan termasuk Jurgen Habermas
(Ritzer, 1990: 390–422). Jauh-jauh sebelumnya ada pula Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann.
Namun, Bourdieu
merupakan tokoh yang unik. Analisis yang ia curahkan dalam teori sosial mampu
menjelaskan dan membongkar bagaimana dominasi mengalir dan menjelma dalam
masyarakat. Sebagai seorang intelektual, dia bukan cuma duduk di meja dan
melahap sekian buku teori sosial. Akan tetapi, Bourdieu juga menelusuri
lapangan, menelaah, dan menjelaskan secara sistematis dengan konsep yang
matang. Bahkan, Bourdeiu melontarkan sebuah diktum yang terkenal: “Theory
without empirical research is empty, empirical research without theories is
empty” (Jenkins,1992: 8). Dengan demikian, Bourdieu merupakan pemikir yang
amat penting. Akan tetapi, sungguh sayang, belum begitu banyak akademisi di
Indonesia yang mengkaji serius pemikiran-pemikirannya.
Hubungan antara
struktur dan agensi merupakan kajian yang relatif kontemporer. Bahkan,
dikatakan oleh Archer sebagaimana dikutip Ritzer, pembahasan hubungan antara
agensi dan struktur akan menjadi “batu sandungan” (acid test) (Ritzer,
1990: 390). Agar tidak menjadi demikian, pengkajian dan pembahasan serius tema
ini dalam dunia akademis merupakan hal yang amat siginifikan.
Bourdieu adalah
filsuf yang mempunyai tradisi refleksi teoristis yang dalam sekaligus juga
tradisi lapangan atau riset yang tidak “asal-asalan”. Pada sisi lain,
tulisan-tulisan Bourdieu terkenal rumit, sungguh sangat “menggemaskan”, dan njlimet—penuh
dengan anak kalimat. Tetapi, bagi penulis, membiarkan situasi minimnya kajian
tentang Bourdieu terbengkelai dan “menakutkan” adalah sesuatu yang sungguh
sangat disayangkan. Dengan alasan ini, amatlah perlu, juga menarik sekaligus
menantang, bagi penulis untuk mengkaji pemikiran-pemikiran Bourdieu. Terlebih
lagi, lowong besar yang menganga tentang pengkajian pemikiran Pierre Bourdeiu
di Indonesia semakin memperteguh penulis untuk melakukan penelitian ini.
1. Perumusan Masalah
Salah satu yang
menjadi isu penting dalam perkembangan ilmu sosial kontemporer adalah hubungan
antara struktur dan agensi. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
a.
Bagaimana gambaran perdebatan mengenai pertautan antara
struktur dan agensi dalam alur sejarah filsafat?
b.
Apa yang melatarbelakangi Bourdieu mengajukan konsep
yang berkaitan dengan pertautan antara struktur dan agensi?
c.
Apa dan bagaimana pikiran dan gagasan Bourdieu yang
terkait dengan hubungan antara struktur dan agensi?
d.
Bagaimana konsep pertautan antara struktur dan agensi
Bourdieu yang terdapat dalam analisisnya terhadap realitas sosial?
2. Keaslian Penelitian
Setelah menyisir
berbagai kepustakaan, peneliti tak menemukan satu pun karya dalam dunia
akademis yang membentangkan pemikiran Bourdieu terkait dengan tema yang menjadi
fokus kajian ini. Bahkan, tema-tema yang lain pun sangat minimal. Adapun
beberapa karya yang dijumpai penulis pada saat penelusuran karya-karya tentang
Bourdieu yang sudah ada adalah sebagai berikut:
a. Pierre
Bourdieu, Jurnalisme di Televisi (terj. Dadang Rusbiantoro) (Yogyakarta:
Yayasan Kalmakara dan Akademi Komunikasi Indonesia, 2001).
b. Haryatmoko,
“Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut
Pierre Bourdieu”, dalam Jurnal Kebudayaan Basis, Nomor 11–12, Tahun
ke-52, November–Desember 2003.
c.
Suma Rela Rusdiarti, “Bahasa, Pertarungan Simbolik, dan Penguasa”, dalam Jurnal Kebudayaan Basis, Nomor 11–12, Tahun ke-52, November–Desember 2003.
d. Melani Martini, “Kaidah-Kaidah Seni dan Cinta: Seni, Teori
Reproduksi, dan Penerimaan Budaya”, dalam Jurnal Kebudayaan Basis, Nomor
11–12, Tahun ke-52, November–Desember 2003.
e.
Richard Jenkins, Membaca Pemikiran Bourdieu
(Terj. Nurhadi) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004).
f.
Richard Harker, dkk., ed., (Habitus x Modal) + Ranah
= Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu
(Yogyakarta: Jalasutra, 2005).
Cukup langka, memang, kajian akademis kita terhadap tokoh satu ini. Dengan
kelangkaan inilah penulis meyakini bahwa apa yang terkerjakan, penelitian ini,
kebaruannya dan keasliannya dalam dunia akademis merupakan hal yang bisa
dipertanggungjawabkan.
3. Faedah
yang Diharapkan
Penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat:
a.
Bagi penulis, yaitu bahwa penulis ingin menawarkan
nuansa dan cakrawala baru, pengetahuan, wacana, atau diskursus perihal
pertautan antara struktur dan agensi.
b.
Bagi perkembangan wacana filsafat, khususnya di
Indonesia, diharapkan mampu menambah referensi atau pustaka khususnya yang
berkaitan dengan korelasi pemikiran-pemikiran Bourdieu.
c.
Bagi perkembangan ilmu filsafat yang mengkaji hubungan
antara struktur dan agensi, sekiranya dapat menjadi alternartif pembanding
dengan para pemikir lain yang juga menyinggung masalah ini. Dari sini tentu
saja diharapkan banyak manfaat muncul, baik yang bersifat akademis maupun
non-akademis.
d.
Bagi khalayak umum, setidaknya dapat diharapkan
memberikan kontribusi perihal pembacaan pelbagai masalah sosial, dan mampu
menyulut dialog positif terkait pemikiran Bourdieu.
4. Tujuan Penelitian
Yang menjadi poin utama dalam penelitian ini tidak lain merupakan
usaha untuk mengelaborasi dan menjawab permasalahan-permasalahan di atas.
Secara lebih runtut, penelitian ini bertujuan untuk:
a.
Melakukan elaborasi, eksplorasi, dan komparasi
pemikiran-pemikiran sebelumnya di sekitar masalahan-masalah dalam ilmu sosial
yang menjadikan Bourdieu menelurkan gagasan tentang pertautan antara struktur
dan agensi.
b.
Menarasikan latar belakang kehidupan dan konteks sosial
Bourdieu, serta menguak biografi
kehidupan dan karya-karya Bourdieu.
c.
Berusaha melakukan pendedahan pernik-pernik pemikiran
Bourdieu yang terhubung erat dengan pertautan antara struktur dan agensi.
d.
Mendeskripsikan, mengurai, memahami, menjelaskan,
menafsirkan, dan merefleksikan pemikiran Bourdieu untuk menjelaskan fenomena
sosial yang terjadi dalam masyarakat kita. Paparan ini menggunakan beberap
kasus yang ada di Indonesia.
B.
Tinjauan Pustaka
Dalam perbincangan ilmu sosial, studi alternatif komparasi antara struktur
dan agensi setidaknya merupakan isu yang masih cukup hangat hingga saat
penelitian ini dilakukan. Sedemikian pentingnya isu ini hingga Fuller
menyebutnya sebagai “kegilaan” (Ritzer, 1996b: 506). Archer berpendapat,
“Masalah agensi dan struktur dapat dilihat sebagai masalah fundamental dalam
sosiologi modern.” Archer menambahkan bahwa kemampuan menjelaskan hubungan struktur-agensi
(serta jejaring lainnya yang terkait dengan hubungan struktur-agensi) menjadi
semacam masalah sentral dalam teori sosial secara umum (Ritzer, 1996b: 506).
Pembahasan tentang pentingnya isu struktur-agensi juga bisa kita baca dari
banyaknya para pemikir kontemporer yang menyinggungnya. Tercatat nama-nama di sana
yang bisa dikatakan tekun membidangi hal tersebut, seperti Anthony Giddens,
Margaret Archer, Jurgen Habermas, dan mungkin yang lainya (Ritzer, 1996b: 390–422).
Setiap pembaharuan tiada lain merupakan “ketidakpuasan” terhadap apa yang
ditawarkan dari sketsa pemikiran-pemikiran sebelumnya. Pada paruh kedua abad
ke-20, kancah teori sosial didominasi dua aliran besar, yakni aliran yang oleh
Jean Piaget digolongkan sebagai “atomistis” dan aliran “strukturalis” (Piaget,
1995: 1–17). Keduanya mempunyai sisi silang pendapat yang amat tajam, dan mampu
menembus ke dalam semua lini dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora.
Gagasan Bourdieu hadir untuk merespon situasi yang sedang tak lagi
menyenangkan ini. Diiringi semangat untuk melakukan pembacaan terhadap
“distribusi kelas” yang tidak pernah sama dalam tingkatan struktural, Bourdieu
mencoba membongkar “social theories idol” saat itu. Ambisi untuk
mendorong pembacaan atau analisis agar tidak selalu kaku dan terjebak pada
penyerahan model, akan tetapi meletakkannya agar bagaimana antara praktik dan
konsep saling berhadap dan menunjang (Jenkins, 1992: 12), Bourdieu pun
menganalisis ketegangan antara modernitas dan alam tradisi masyarakat Aljazair,
terlebih lagi di sebuah daerah seperti Kayble (Robin, 1991: 10–98 ). Bourdieu turun
gunung, meninggalkan sejenak buku-buku teori yang, terkadang, seolah-olah lebih
tahu realitas ketimbang realitas itu sendiri. Dia mulai melakukan kerja
lapangan di Aljazair pada sekira tahun 1960-an—sebuah momen di saat
Prancis menduduki daerah tersebut (Robin, 1991: xii).
Setidaknya, ada beberapa isu penting yang menjadi gambaran masyarakat
Aljazair saat itu, yakni permasalahan struktur masyarakat secara kuantitas:
mayoritas orang-orang Arab dan Barber, kemudian penduduk asli (native)
dan “pied noir” (orang keturunan Prancis), kelemahan dan kedaulatan
negara yang terancam, dan bebarapa pembantaian yang dilakukan oleh tentara
Prancis (Robin, 1991: 23).
Berangkat dari beberapa refleksi hasil riset di Aljazair ini—ditambah
dengan beberapa riset lanjutan—Bourdieu melakukan pemetaan dan melontarkan
gagasan cemerlangnya tentang cara-baca terhadap fenomena sosial yang sedang
berlangsung dalam masyarakat. Bahkan, Bourdieu keberatan dengan dinamika teori
sosial yang sedang berkembang. Sungguh dapat dibenarkan, sebagaimana telah
tersirat, bila pada paruh awal abad ke-20—bahkan mungkin hingga sekarang—ruang
tempat berlangsungnya hilir-mudik teori sosial sangat didominasi oleh
strukturalisme. Hingga kemudian, secara bersamaan, banyak orang secara serentak
menekuni dan menggemari eksistensialisme, terlebih lagi di Prancis pada saat
Bourdieu sedang meniti karir intelektualnya. Paham ini dirumuskan oleh
orang-orang besar macam Sartre (1905–1980), Camus (1913–1960), Jesper (1883–1969)
dan tentu saja yang lainnya, mendapat posisi yang cukup “seksi”,
diperbincangkan di banyak ruang dalam dunia akademis dan memberi efek yang luar
biasa (Wacquant, 2002: 549–256 dalamhttp://sociology.berkeley.edu/faculty/wacquant/wacquant_pdf/PBSOCIOLOGLIFE.pdf).
Strukturalisme merupakan paham yang banyak terilhami oleh Ferdinand de
Saussure, seorang pakar linguistik dari Swiss. Setidaknya, ada lima poin penting
yang dapat kita pungut dari pikiran-pikiran Saussure: (1) signified (petanda)
dan signifier (penanda), (2) form
(bentuk) dan content (isi), (3) langue (bahasa) dan parole
(ujaran), (4) syncronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis),
serta (5) sintagmatic (sintagmatik) dan associative
(paradigmatik) (Saussure, 1996: 73–91; Sri Ahimsa-Putra, 2001: 33).
Temuan Saussure kemudian digunakan Levi-Strauss dalam mengolah teorinya.
Gagasan penting dari Levi-Strauss adalah prinsip yang mengatakan bahwa
kehidupan sosial dan kultural tidak bisa dijelaskan secara unik oleh
fungsionalisme–seolah-olah semuanya telah termaktub karena jalinan fungsi dalam
masyarakat. Baginya, kehidupan kultural tak bisa hanya diuraikan dalam kerangka
sifat-sifat intrinsik gejala yang terkait dengan kehidupan itu. Tidak pula hal
ini dijelaskan dengan data-data empiris, seolah-olah fakta selalu saja
berbicara sendiri. Sebagai orang yang banyak terilhami oleh Saussure,
Levi-Strauss menitikberatkan pada unsur-unsur suatu sistem yang bergabung
bersama-sama menuai jalinan membentuk
ikatan totalitas. Di sini, “perbedaan” dan “hubungan” menjadi amat penting
(Lechte, 2001: 122). Terkait dengan ini, Levi-Strauss menekankan bahwa tiada
korelasi yang penuh seratus persen, dan para antropolog mesti berani
berkeputusan untuk meminta bantuan dari para pakar bahasa dalam menjelaskan
fenomena linguistik (Sri Ahimsa-Putra, 2001: 27).
Sebagaimana telah disingung di atas, selain kelompok strukturalis yang
lebih menekankan “kualitas lingkungan”, situasi, dan kondisi (eksternal) dalam
menganalisis suatu hal, terdapat juga aliran eksistensialisme. Aliran yang
dimotori oleh Sartre ini sangat berbanding terbalik dengan strukturalisme. Jika
stukturalisme lebih menekankan pada bagaimana hubungan manusia, situasi, dan
kondisi, eksistensialisme lebih memfokuskan kebebasan inidividu dalam
berkehendak. Aliran-aliran seperti fenomenologi, etnometodologi, dan sejenisnya
merupakan teori-teori yang berjalan selaras. Tokoh-tokoh seperti Heidegger dan
Husserl, yang merupakan penyumbang besar bagi aliran-aliran tersebut, juga
merupakan orang-orang yang menjadi pemantik bagi kalangan eksistensialis
(Bertens, 2002: 91).
Keberatan-keberatan Pierre Bourdieu tidak lain bahwa strukturalisme,
dengan segala turunannya, seolah-olah lupa bahwa agensi juga dapat menentukan
terbentuknya struktur. Tidak semua struktur menggiring agensi. Namun, agensi
tidak pula berdiri bebas tanpa polesan dari struktur–agensi juga secara pasti
ikut larut dalam struktur. Tampaknya, keduanya membentuk hubungan resiprokal
yang akan menentukan pola gerak masyarakat atau, dalam bahasa Bourdieu, “a
dialectic of the internalization of externality and the externalization of
internality” (Bourdieu, 1977: 72).
Bagi Bourdieu, individu merupakan produk sejarah (Bourdieu, 1990: 60).
Individu mencerap atau menginternalisasi apa yang diproduksinya sendiri. Proses
internalisasi dan eksternalisasi tersebut terdisposisi lama, hingga seolah-olah
menjadi sesuatu yang tak teringat (Bourdieu, 1977: 72). “Habitus”,
demikian istilah Bourdieu yang amat masyhur, merupakan bagian yang tak
terpisahkaan dari manusia. Kehadiran habitus terkait dengan reproduksi
sosial yang terapresiasi dengan pola dan tingkah laku individu (Bourdieu, 1990:
52–66).
Bourdieu menggunakan istilah “struktur generik”—istilah yang dipakai dalam
membaca problema sosial (Ritzer, 1996b : 40–41)—yaitu sebuah tatanan yang tidak
lain adalah hasil aktivitas manusia sendiri. Struktur tersebut lahir dari
narasi panjang tentang kehidupan kita sehari-hari. Kehidupan sehari-hari tentu
saja tidak stagnan, akan tetapi penuh dengan strategi dan inovasi maupun teknik
diri (Bourdieu, 1990: 56).
Dalam habitus inilah individu akan mencerap makna, menemukan
apresiasi nilai, menjadi matrix persepsi hingga tindakan (Bourdieu,
1977: 83). Dengan habitus ini pula individu-individu akan bertemu dan
bertempur dalam market (pasar). Apakah market itu? Market adalah
medan perebutan makna tempat semua habitus saling bergesek. Pada
saat-saat tertentu, seperti dalam Language and Symbolic Power (1991),
Bourdieu menggunakan istilah market namun tidak dijelaskannya secara
definitif dan rigid. Namun, istilah yang paling populer dan seolah-olah menjadi
hak patennya adalah “field” (Bourdeiu, 1991: 67). Bourdieu memberikan
kategori market tersebut sebagai “field”—sedangkan
Haryatmoko (2003) membahasakannya sebagai “arena perjuangan”—yaitu semacam
ruang tempat bercengkeramanya habitus-habitus dalam menemukan makna,
menentukaan tujuan, dan saling mempertahankan, mengunguli atau proses
perjuangan dalam menentukan tujuan (Bourdieu, 1994: 142).
Dari sinilah kecemerlangan gagasan seorang Bourdieu tampak, yang mencoba
memadukan antara mereka yang bersikukuh bahwa strukur sebagai penentu atau
agensi sebagai segalanya. Bagi filsuf ini, memang strukturalisme lebih
memusatkan peran rule atau langue, yang juga berarti menolak
kedaulatan agensi. Individu, bagi Bourdieu, tidak hanya tunduk dan diam
mengikuti alur struktur, tetapi agensi memiliki pilihan-pilihan rasional dan
inovasi serta teknik diri yang terapresiasi dalam pikiran-pikiran, apresiasi,
hingga tindakan (Bourdieu, 1994: 13).
Individu juga merupakan bagian dari reproduksi struktur yang terdisposisi.
Inovasi, strategi, dan teknik diri individu tersebut kemudian membentuk
jejaring struktur karena setiap habitus terkait dengan jalinan antara
satu dengan yang lainya. Jalinan antar-habitus membentuk kelompok habitus
kolektif. Dalam kelompok inilah masing-masing mempunyai peran dalam
memberikan warna dan mempunyai hubungan resiprosikal. Dengan demikian, selalu
terjalin hubungan resiprokal antara habitus dan field.
Kelompok-kelompok itu akan berjalin dengan field (Bourdieu, 1994: 143).
Di dalam field terjadilah pertarungan yang luar biasa. Proses
pertarungan ini sangat ditentukan oleh keberadaan “modal” (capital) yang
ada pada agensi. Bourdieu membongkar definisi klasik yang menitikberatkan bahwa
modal hanyalah bersifat ekonomis belaka—terutama dalam tradisi marxian.
Baginya, terdapat pula modal yang menempati posisi penting dalam field:
modal simbolik (symbolic capital), modal budaya (cultural capital),
modal sosial (social capital). Modal simbolik bisa berwujud agama,
keyakinan, dan lain sebaganinya, sedangkan modal kultural bisa berbentuk
identitas dan legitimasi masyarakat dalam menilainya yang bisa saja diraih,
misalnya lewat capaian jenjang pendidikan formal (Bourdieu, 1990: 22).
Keberadaan modal yang ada pada setiap indivividu sangat berbeda antarsatu
dengan yang lainnya. Modal ini didapat oleh individu berdasar atas posisi sang
individu. Modal ini pula yang nantinya akan turut menentukan atau menjadi bagian dari pembentuk habitus
seseorang. Meski memang, Bourdieu pun mengakui bahwa modal ekonomilah (ecomomic
capital) yang paling menentukan, dari sekian modal yang ada
(Jenkins, 1992: 195).
Habitus akan mengalami dinamika yang rumit karena selalu saja dihadapkan
pada field. Demikian seterusnya, susunan masyarakat mencakup mereka yang
terus menuntut akan modal dan mempertahankannya. Dengan adanya kehormatan (honour),
misalnya, modal simbolik yang terkait dengan berbagai modal yang lain,
terkadang sulit sekali masyarakat untuk berubah. Bahkan, mereka yang
terdominasi “tidak menyadari” karena adanya modal simbolik yang sudah
tersusun dan diinternalisasi dalam waktu yang lama (Bourdieu, 1994: 198).
Namun, tentu cuma demikian, agensi tak selamanya terlelap dalam daulat kekuatan
modal simbolik semata karena dalam diri agensi juga terdapat modal-modal yang
sekiranya mampu bertahan untuk melakukan “regulated improvisation” dari
hembusan modal besar dalam medan perjuangan. Maka, lahirlah dualitas atau
hubungan bolak-balik, selayaknya bandul yang tak pernah tetap (Bourdieu, 1977:
78).
Demikianlah pola hubungan antara kedaulatan subyek dan kekuatan struktur.
Bourdieu berhasil mengurai dengan terang bagimana kedaulatan subyek dalam
struktur, bagaimana pula struktur menyerap dan membentuk individu, serta pula
hubungan resiprokal keduanya yang mampu membelah analisis lama dalam pergulatan
teori-teori sosial. Apa yang telah dilakukan Bourdieu, tentu saja, tidak bebas
dari kritik. Terlepas dari itu, semua sudah menjadi kepastian yang tak
terbantahkan bahwa Bourdieu telah banyak memberikan kontribusi baru dalam
khazanah ilmu-ilmu sosial.
C. Landasan Teori
Usaha untuk memahami dan menjelaskan gerak serta dinamika dalam realitas
sosial merupakan agenda besar umat manusia. Dengan begitu, segala persoalan
yang melingkari dapat terurai dan terselesaikan. Meski harus diakui bahwa
permasalahan tidaklah akan berakhir, dia akan terus datang dan selalu saja
menghunjami kehidupan manusia. Demikianlah, teori-teori sosial dihadirkan untuk
maksud-maksud yang tidak jauh berbeda, berlaras pada prinsip-prinsip
menerangkan dan memahami pengalaman, berdasar beberapa pengalaman lain serta
ide-ide secara umum mengenai dunia (Craib, 1994: 11).
Cara menjelaskan bagaimana gerak masyarakat dan segala ubo rampe yang
ada padanya merupakan kebutuhan penting yang, nantinya, bakal amat menentukan
dalam usaha dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Sekalipun tidak secara
resmi, namun dapat diambil titik simpul secara umum bahwa semua teori sosial
mendasarkan asumsinya tentang hakikat manusia dan masyarakat (Poloma, 2003: 1).
Dalam sejarah perkembangan teori sosial, salah satu metode tradisional adalah
menempatkan pembedaan antara teori-teori masyarakat “holistik” dan teori-teori
masyarakat “individualistik”, atau dalam bahasa lain agensi menentukan struktur
ataukah struktur yang menentukan agensi (Craib, 1994: 31).
Kemudian, dunia teori sosial dipenuhi berbagai perdebatan. Dapat
dibenarkan, berbagai teori sosial yang ada mempunyai kecenderungan pada
pertentangan dua kutub besar: subjektivis dan objektivis (Giddens, 1984: xx;
Bourdieu, 1994: 34). Manusia sebagai pemegang utama atau struktur atau
masyarakat yang menentukan manusia Terkait dengan ini, tepat apa yang dikatakan
Vegeer (1985: 9):
Lama sekali sosiologi menggumuli soal apakah masyarakat mempunyai wujud
(realitas) dalam dirinya, sehingga berdiri sendiri, berkuasa atas anggotanya,
dan berkembang menurut prinsip dan hukum yang tidak tergantung pada anggota,
atau tidak! Kalau tidak, masyarakat tergantung dari kemauan individu-individu
yang bebas mengadakan relasi-relasi itu. Jawaban atas persoalan ini bersifat
menentukan bagi masalah lain, yaitu apakah masyarakat harus diberikan prioritas
di atas individu, ataukah sebaliknya, individu harus diberikan prioritas di
atas masyarakat. Sampai sekarang, masalah ini masih tetap aktual.
Penelitian ini akan berpijak pada gagasan bahwa terdapat hubungan yang saling menentukan
antara struktur maupun agensi. Keduanya tidaklah mempunyai hubungan yang saling
bertentangan atau tidak bisa dipisahkan. Namun, sebaliknya, keduanya saling
merajut dan mempunyai hubungan yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan yang
lain (Giddens, 1984: 25). Senada dengan simpulan ini, Berger dan Luckmann
mengatakan, “Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan
kenyataan objektif, manusia merupakan produk sosial” (Berger dan Luckmann,
1990: 87).
Manusia, pada satu sisi, sangat ditentukan oleh kondisi dan lingkungan
yang selalu saja menghinggapi. Namun, pada sisi lain, manunsia juga dapat
berstrategi dan keluar dari lanskap struktur (Bourdieu, 1977: 78). Struktur
bukanlah apa yang berdiri di luar agensi, akan tetapi struktur juga merupakan
produk dari agensi itu sendiri, sebagiamana dikatakan Giddens: “Structure is not to be
conseptualised as barrier to action, but as essentially involved in its production” (Giddens, 1984: 70).
Selalu saja terjadi hubungan resiprokal antara manusia dan struktur sosial
yang berusaha menggiring manusia. Sebabnya, walau bagaimanapun, manusia
bukanlah robot-robot yang dengan mudah dapat diatur oleh dunia luar (Bourdieu,
1977: 24). Baik struktur maupun agensi akan terus terpaut erat dan saling
mendukung dalam mereproduksi pola dan format sebuah masyarakat. Artinya, tambah
Vegeer (1985: 9), mengikuti perkembangan sosiologi kontemporer, bahwa
Individu dan masyarakat tidak mungkin dipisah-pisahkan antara satu dengan
yang lain. Kebebasan sebagai individu tidak mungkin dipikirkan tanpa adanya
ikatan dan keterkaitan dengan orang lain. Independensi sebagai individu tidak
mungkin ada tanpa dependensi dari masyarakat, begitu juga tiap-tiap masyarakat
menghidupi pribadi-pribadinya. Tanpa individu tidak ada masyarakat, tanpa
masyarakat tidak ada individu.
Demikianlah, penelitian ini akan menyajikan bagaimana Bourdieu melihat
hubungan antara “kedaulatan” agensi dan struktur sebagai sebuah analisis yang
relatif baru dalam teori sosial. Dan, tentu saja, penelitian ini ingin
membuktikan kemungkinan pemikiran Bourdieu sebagai bagian dari pemikiran
alternatif—yang merupakan pekerjaan yang menarik sekaligus patut diapresiasi
serta diperhitungkan.
D. Metode Penelitian
1. Bahan
dan Materi Penelitian
Penelitian ini merupakan deskripsi sekaligus analisis kritis filosofis
terhadap teori sosial Bourdieu, serta pemikiran yang terkait dengan para tokoh
sebelumnya. Bahan dan meteri penelitian diperoleh dari studi kepustakaan (library
research), yaitu pada buku-buku karya Bourdieu sendiri atau penulis lain
yang menulis tentangnya. Pada tahap berikutnya, bahan-bahan tersebut
diklasifikasi menjadi dua kelompok.
Pertama, kepustakaan primer, yang meliputi buku-buku dan
tulisan yang berkaitan dengan tema penelitian baik dari Bourdieu maupun penulis
lainnya. Di antara buku-buku yang bisa dikategorikan “buku babon” tersebut
adalah Outline of a Theory of Practice (Bourdieu, 1977), Homo
Academicus (Bourdieu, 1984), Distinction ( Bourdieu, 1984), Logic
of Practice (Bourdieu, 1990), Language and Syimbolic Power
(Bourdieu, 1991), The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (1993) In Other Words: Essays Towards a Reflexsive Sociology (Bourdieu, 1994), The Act of Resistance (1998),
Pascalian Meditation (2000). Kedua, kepustakaan sekunder yang
meliputi buku-buku, tulisan, artikel, jurnal, dan website (internet) yang
terkait dengan tema penelitian secara langsung, termasuk buku-buku pengantar,
kamus, dan tulisan dari disiplin ilmu lain yang dapat melengkapi dan membantu
pemahaman terhadap tema penelitian ini.
2. Jalan
Penelitian
Jalan penelitian yang akan ditempuh di sini adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data, yaitu
pengumpulan sebanyak mungkin data yang berkait dengan penelitian.
b. Klasifikasi data, yaitu membuat
pemilihan data sehingga tampak jelas pembedaan antara data primer dan sekunder.
c. Analisis, yaitu menganalisis data
primer dengan bantuan data sekunder dengan menggunakan metode yang dipilih.
d. Menyusun tulisan.
e. Membuat simpulan dan mengajukan
refleksi pribadi (personal critical reflection).
3. Analisis Hasil
Data-data dalam
Penilitian ini dianalisis menggunakan hermeneutika, yaitu menafsirkan pemikiran
Bourdieu dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Deskripsi. Metode ini berusaha memberikan uraian dan
gambaran utuh mengenai pemikiran teori sosial Bourdieu yang terkait dengan
pertautan antara strktur dan agensi.
b.
Kesinambungan historis. Latar belakang pengaruh yang
diterima dari tokoh lain diteliti dalam rangka memahami pemikiran Bourdieu
secara kontekstual.
c.
Holisitk. Usaha dengan semuat tenaga dan mendalam
memahami pemikiran Bourdieu, yang tentu saja dirunut secara mendalam yang
terkait pertautan antara struktur dengan
agensi.
d.
Komparasi. Di sini akan diandingkan Bourdieu dengan
tokoh lain yang mempunyai visi dan aras yang sama tentang tema hubungan antara
struktur dan agensi.
e.
Penafsiran. yaitu mencoba memungut dengan tepat apa yang
dimaksud dengan Bourdeiu yang berkenaan dengan hubungan antara stuktur dan agensi
dengan pertimbangan-pertimbangan penafsiran.
f.
Kohorensi intern. Karya-karya Bourdieu dianalisis
berdasar keselarasan konsep dan aspek yang berkaitan dan ditetapkan inti atau
dasar pemikiranya dalam suatu struktur yang logis dan sistematis. Pokok pemikiran
yang mendasar dan sentral ditetapkan serta diteliti susunan logis sistematisnya
dalam perkembangan pemikiran selanjutnya sesuai dengan metode pemikirannya.
g.
Heuristika. Pokok-pokok pemikiran sentral akan dijadikan
acuan utama untuk melakukan interpretasi dalam rangka menemukan pemahaman
komprehensif perihal teori sosial Bourdieu yang diharapkan akan lebih mudah
dipahami.
E. Hasil yang Ingin Dicapai
Hasil yang akan dicapai dari penulisan dan penelitian tentang hubungan
antara struktur dan agensi menurut Pierre Bourdieu adalah sebagai berikut:
1.
Penelitian ini dapat memberikan gambaran yang mendalam
mengenai ciri khas serta keunikan pemikiran tentang pertautan antara struktur
dan agensi disertai pemahaman yang jelas perihal teori sosial yang dimaksud
oleh Bourdieu.
2.
Mendapatkan pengalaman konseptual dan pemahaman yang
kritis serta dinamis mengenai bagaiamana pendamaian antara struktur dan agensi
dengan segera kemungkinan penerapannya.
3.
Menambah jumlah koleksi pribadi maupun Fakultas Filsafat
UGM, khususnya berkenaan dengan teori-teori sosial, sekiranya dapat menjadi
bagian referensi untuk diapresiasi dalam dunia keilmuan dan akademik.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah memahami susunan penelitian ini, penulis membagi
kerangka penulisan menjadi lima bab dengan tambahan sebelum Bab I, yaitu
Halaman Pengesahan, Motto, Kata Pengantar, Lampiran (foto Pierre
Bourdieu), Intisari, abraksi, Daftar
Isi, Daftar Figur, Daftar Lampiran, dan Lampiran. Tambahan yaitu Daftar Pustaka
pada Bab V.
Bab I merupakan Pendahuluan skripsi, di mana dikemukakan latar belakang
permasalahan, tujuan penelitian, tinjuan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan bagian yang menerangkan lacakan perdebatan mengenai
pertautan antara strktur dan agensi dari zaman ke zaman dalam kancah sejarah
filsafat. Dalam bab ini pula akan diurai sekitar perdebatan teori sosial, juga
disajikan konsepsi pertautan antara struktur dan agensi dari filsuf-filsuf
selain Bourdieu.
Bab III merupakan bab yang mengurai tentang bagaimana latar belakang
kehidupan Bourdieu, karirnya, karya-karyanya, dan sisi-sisi kehidupannya yang
lain. Juga diulas pikiran-pikiran yang mempengaruhi Bourdieu, dan secara
sederhana dijelaskan gagasan-gagasan Bourdieu yang berserakan di luar pemikiran
pertautan antara struktur dan agensi.
Bab IV akan membincang tentang bagaimana hubungan antara struktur dan
agensi yang merupakan jawaban atas keresahan Bourdieu terhadap teori-teori
sosial sebelumnya, baik mengenai posisi agensi dan struktur serta hubungan
keduanya. Akan diulas pula di sini sekitar gagasan pertautan antara struktur
dan agensi dalam gagasan berserak hasil pembacaan realitas sosial yang mencakup
pendidikan, bahasa, gender, hingga dunia yang telah disekap sistem mengerikan:
neo-liberalisme.
Dalam bab terakhir, Bab V,
diuraikan kesimpulan umum dan saran untuk merajut ide besar dari penelitian ini,
yang sekaligus menjadi medan akhir pembahasan dalam skripsi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar