Sabtu, 15 November 2014

MAKALAH ARTIKEL FILSAFAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi keputusan sejarah bahwa manusia selalu saja berusaha mencari jawaban terhadap fenomena yang dihadapi. Keterkaitan manusia untuk terus menggali dan ingin mengetahui segala sesuatu seolah-olah menjadi “takdir” akan keberadaan manusia itu sendiri. Hal yang demikian tak lain karena hakikat manusia yang sedari awal mempunyai perbedaan besar dengan makhluk-makhluk lain (hewan dan tetumbuhan), yaitu kekuatan akal yang lebih dibanding dengan yang lain.
Dengan akallah manusia menjadi spesies yang paling berpengaruh dalam perubahan peradaban mahluk hidup (Blackmoore, 1999: 69–81 ). Pepatah Arab mengatakan, “Manusia adalah hewan yang berbicara menggunakan akal.” Karena itu, “Kalau bukan karena ilmu pengetahuan, sungguh, manusia hanyalah seperti hewan.” Dan memang, ingin mengetahuhi dan memahami (sinverstehen), kemudian menjelaskan (erklaren), menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kedirian manusia sejak zaman dahulu. Inilah pula yang menjadi dasar lahirnya teori-teori sosial dan pergulatannya sepanjang sejarah kehidupan manusia (Craib, 1994: 11).
Cara kita memperoleh pengetahuan tentang dunia, terdiri dari apa saja, dan bagaimana memberikan penjelasan yang tepat tentangnya sangat ditentukan oleh hakikat keberadaan sesuatu itu sendiri (Craib, 1994: 30). Roy Baskhar, sebagaimana dikutip Ian Craib, menengarai bahwa salah satu cara lama yang telah terjadi adalah dengan melakukan pembedaan (distinction) antara (1) teori-teori “holistik” dan (2) teori-teori “individualistik”. Teori-teori holistik memulai pengamatan dengan “masyarakat” sebagai satu kesatuan (unit analisis), memandang masyarakat sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar totalitas individu yang membentuknya. Dengan begitu, tindakan-tindakan individu dalam beberapa hal ditentukan masyarakat yang bersangkutan menjadi bagian dari salah satunya. Selanjutnya, teori-teori individualistik memulai pemeriksaan terhadap individu-individu dan melihat masyarakat sebagai hasil tindakan-tindakan individu yang berjalin erat (Craib, 1990: 31).
Tampaknya, beragam pendapat yang dikemukakan tersebut menuai kebenaran yang cukup evidensial. Pada paruh awal abad ke-20—bahkan mungkin hingga sekarang—ruang tempat hilir-mudik teori-teori sosial sangat didominasi oleh strukturalisme—sebuah paham yang dapat dimasukkan ke dalam kategori pertama. Di sisi lain juga terdapat paham yang mempunyai pengaruh besar, yang sekiranya dapat pula dikelompokkan dalam kategori kedua: eksistensialisme, fenomenologi, etnometodologi, dan sejenisnya. Paham-paham yang terakhir ini dirumuskan oleh tokoh-tokoh seperti Jean Paul Sartre (1905–1980), Albert Camus (1913–1960), Karl Jesper (1883–1969), Edmund Husserl, Martin Heidegger, Harold Garfinkel, Alfred Schutz, dan masih banyak yang lainnya. Paham ini, secara perlahan-lahan, menjadi “buzzwords” bagi para mahasiswa, akademisi, intelektual, hingga sastrawan, dan efeknya sangat jauh membentang hampir ke seluruh dunia (Delfgaouw, 2001).
Kelompok strukturalis lebih menekankan “kualitas lingkungan”, situasi, atau kondisi (eksternal) dalam menganalisis suatu hal. Sedangkan aliran eksistensialisme dan sekerabatnya, sangat berbanding terbalik dengan strukturalisme. Jika stukturalisme lebih menekankan bagaimana hubungan manusia, situasi, dan kondisi, eksistensialisme lebih memfokuskan gerak individu dalam membentuk masyarakat. Bahkan, eksistensialisme seolah-olah ingin mengatakan bahwa “apapun yang mempunyai keputusan adalah kehendak individu” (Muzairi, 2001).
Misalnya, untuk mengetahui sebab-musabab fenomena kemiskinan yang sedang melanda bangsa ini. Kemiskinan terjadi bisa karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang korup, bermental lemah, dan semangat bekerjanya sangat minim. Padahal, untuk menjadi bangsa yang maju mesti dibutuhkan mental yang kuat, orang yang bersih, dan semangat tinggi untuk maju. Bisa juga dikatakan bahwa kemiskinan Indonesia adalah akibat struktur global yang tidak pernah bersahabat dengan Indonesia. Kondisi demikian tidak lain disebabkan oleh kekuatan-kekuatan kapitalisme global yang selalu saja menata setting dunia sehingga menguntungkan negara-negara besar Dunia Pertama, dan sulit dijangkau oleh negara-negara Dunia Ketiga. Demikianlah pendapat yang dianut kalangan marxis-strukturalis (Preston, 1996; Arief, Budiman, 1995).
Dalam perdebatan ilmu ekonomi-politik, untuk menjelaskan peralihan kebijakan ekonomi-politik proteksionis yang ditempuh Orde Baru menuju ekonomi liberal, kita bisa saja menemukan berbagai pembacaan. Bagi mereka yang menggunakan analisis aktor dan kedaulatan individu non-stuktural, kebijakan liberalisasi atau pendobrakan sentralisme ekonomi Indonesia—yang berlangsung selama dekade 1980-an—merupakan dorongan dari kalangan “epistemis liberal” yang selalu bersuara dan menginterupsi kebijakan pemerintah, yang pada saat itu memang sangat sentralistis (Mallarangeng, 2001: 34–128).
Lain halnya menurut kaum marxis-strukturalis, peralihan kebijakan ekonomi-politik Indonesia terkait dengan jejaring dunia yang memang telah terjadi proses dominasi negara-negara Dunia Pertama terhadap negara-negara Dunia Ketiga dengan sistem ekonomi pasar. Sistem ekonomi tersebut tak lain akan menjadikan negara seperti Indonesia “tunduk tak berdaya”, tanpa ,mampu sedikit pun melakukan perlawanan, dan larut. Akibatnya, kondisi demikian menjadikan Indonesia masuk dalam arena sistem ekonomi pasar (Robison, 1986).
Begitulah dua kutub yang terus saja berseteru. Bagi kalangan strukturalis, format-format kebudayaan dan sistem sosial ditentukan oleh struktur yang bermain. Namun, lain halnya dengan aliran eksistensialis beserta kerabatnya, fenomenologi dan etnometodologi, yang memandang bahwa realitas sosial adalah kehendak, kesadaran, dan fenomena-fenomena yang ada dalam suatu realitas tersebut. Kelompok ini lebih menekankan kedaulatan agensi sebagai penentu realita sosial (Jenkins, 1992: 66–102).
Lantas, datanglah Pierre-Felix Bourdieu (selanjutnya: Bourdieu). Filsuf asal Prancis ini kemudian mencoba memadukan antara mereka yang bersikukuh bahwa struktur sebagai penentu atau agensi sebagai segalanya. Bagi filsuf yang juga aktivis gerakan sosial ini, memang strukturalisme lebih memusatkan pada peran “rule atau “langue”, yang berarti berarti menolak kedaulatan agensi. Individu, bagi Bourdieu, tidaklah hanya tunduk dan diam mengikuti alur stuktur. Lebih dari itu, agensi memiliki pilihan-pilihan rasional, “inovasi”, serta teknik  diri yang terapresiasi di dalam pikiran-pikiran, apresiasi, hingga tindakan (Bourdieu, 1990: 13).
Sebenarnya, terdapat banyak tokoh lain yang bisa dikategorikan ikut terlibat dalam proses “pendamaian” antara kekuatan “atomistis” dan “strukturalis”, umpamanya sosiolog masyhur Anthony Giddens, juga Margaret Archer, dan termasuk Jurgen Habermas (Ritzer, 1990: 390–422). Jauh-jauh sebelumnya ada pula Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.
Namun, Bourdieu merupakan tokoh yang unik. Analisis yang ia curahkan dalam teori sosial mampu menjelaskan dan membongkar bagaimana dominasi mengalir dan menjelma dalam masyarakat. Sebagai seorang intelektual, dia bukan cuma duduk di meja dan melahap sekian buku teori sosial. Akan tetapi, Bourdieu juga menelusuri lapangan, menelaah, dan menjelaskan secara sistematis dengan konsep yang matang. Bahkan, Bourdeiu melontarkan sebuah diktum yang terkenal: “Theory without empirical research is empty, empirical research without theories is empty” (Jenkins,1992: 8). Dengan demikian, Bourdieu merupakan pemikir yang amat penting. Akan tetapi, sungguh sayang, belum begitu banyak akademisi di Indonesia yang mengkaji serius pemikiran-pemikirannya.
Hubungan antara struktur dan agensi merupakan kajian yang relatif kontemporer. Bahkan, dikatakan oleh Archer sebagaimana dikutip Ritzer, pembahasan hubungan antara agensi dan struktur akan menjadi “batu sandungan” (acid test) (Ritzer, 1990: 390). Agar tidak menjadi demikian, pengkajian dan pembahasan serius tema ini dalam dunia akademis merupakan hal yang amat siginifikan.
Bourdieu adalah filsuf yang mempunyai tradisi refleksi teoristis yang dalam sekaligus juga tradisi lapangan atau riset yang tidak “asal-asalan”. Pada sisi lain, tulisan-tulisan Bourdieu terkenal rumit, sungguh sangat “menggemaskan”, dan njlimet—penuh dengan anak kalimat. Tetapi, bagi penulis, membiarkan situasi minimnya kajian tentang Bourdieu terbengkelai dan “menakutkan” adalah sesuatu yang sungguh sangat disayangkan. Dengan alasan ini, amatlah perlu, juga menarik sekaligus menantang, bagi penulis untuk mengkaji pemikiran-pemikiran Bourdieu. Terlebih lagi, lowong besar yang menganga tentang pengkajian pemikiran Pierre Bourdeiu di Indonesia semakin memperteguh penulis untuk melakukan penelitian ini.

1. Perumusan Masalah
Salah satu yang menjadi isu penting dalam perkembangan ilmu sosial kontemporer adalah hubungan antara struktur dan agensi. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
a.      Bagaimana gambaran perdebatan mengenai pertautan antara struktur dan agensi dalam alur sejarah filsafat?
b.      Apa yang melatarbelakangi Bourdieu mengajukan konsep yang berkaitan dengan pertautan antara struktur dan agensi?
c.      Apa dan bagaimana pikiran dan gagasan Bourdieu yang terkait dengan hubungan antara struktur dan agensi?
d.     Bagaimana konsep pertautan antara struktur dan agensi Bourdieu yang terdapat dalam analisisnya terhadap realitas sosial?

2. Keaslian Penelitian
Setelah menyisir berbagai kepustakaan, peneliti tak menemukan satu pun karya dalam dunia akademis yang membentangkan pemikiran Bourdieu terkait dengan tema yang menjadi fokus kajian ini. Bahkan, tema-tema yang lain pun sangat minimal. Adapun beberapa karya yang dijumpai penulis pada saat penelusuran karya-karya tentang Bourdieu yang sudah ada adalah sebagai berikut:
a.       Pierre Bourdieu, Jurnalisme di Televisi (terj. Dadang Rusbiantoro) (Yogyakarta: Yayasan Kalmakara dan Akademi Komunikasi Indonesia, 2001).
b.      Haryatmoko, “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu”, dalam Jurnal Kebudayaan Basis, Nomor 11–12, Tahun ke-52, November–Desember 2003.
c.       Suma Rela Rusdiarti, “Bahasa, Pertarungan Simbolik, dan Penguasa”, dalam Jurnal Kebudayaan Basis, Nomor 11–12, Tahun ke-52, November–Desember 2003.
d.      Melani Martini, “Kaidah-Kaidah Seni dan Cinta: Seni, Teori Reproduksi, dan Penerimaan Budaya”, dalam Jurnal Kebudayaan Basis, Nomor 11–12, Tahun ke-52, November–Desember 2003.
e.       Richard Jenkins, Membaca Pemikiran Bourdieu (Terj. Nurhadi) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004).
f.       Richard Harker, dkk., ed., (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra, 2005).
Cukup langka, memang, kajian akademis kita terhadap tokoh satu ini. Dengan kelangkaan inilah penulis meyakini bahwa apa yang terkerjakan, penelitian ini, kebaruannya dan keasliannya dalam dunia akademis merupakan hal yang bisa dipertanggungjawabkan.

3. Faedah yang Diharapkan
Penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat:
a.      Bagi penulis, yaitu bahwa penulis ingin menawarkan nuansa dan cakrawala baru, pengetahuan, wacana, atau diskursus perihal pertautan antara struktur dan agensi.
b.      Bagi perkembangan wacana filsafat, khususnya di Indonesia, diharapkan mampu menambah referensi atau pustaka khususnya yang berkaitan dengan korelasi pemikiran-pemikiran Bourdieu.
c.      Bagi perkembangan ilmu filsafat yang mengkaji hubungan antara struktur dan agensi, sekiranya dapat menjadi alternartif pembanding dengan para pemikir lain yang juga menyinggung masalah ini. Dari sini tentu saja diharapkan banyak manfaat muncul, baik yang bersifat akademis maupun non-akademis.
d.     Bagi khalayak umum, setidaknya dapat diharapkan memberikan kontribusi perihal pembacaan pelbagai masalah sosial, dan mampu menyulut dialog positif terkait pemikiran Bourdieu.

4. Tujuan Penelitian
Yang menjadi poin utama dalam penelitian ini tidak lain merupakan usaha untuk mengelaborasi dan menjawab permasalahan-permasalahan di atas. Secara lebih runtut, penelitian ini bertujuan untuk:
a.       Melakukan elaborasi, eksplorasi, dan komparasi pemikiran-pemikiran sebelumnya di sekitar masalahan-masalah dalam ilmu sosial yang menjadikan Bourdieu menelurkan gagasan tentang pertautan antara struktur dan agensi.
b.      Menarasikan latar belakang kehidupan dan konteks sosial Bourdieu, serta  menguak biografi kehidupan dan karya-karya Bourdieu.
c.       Berusaha melakukan pendedahan pernik-pernik pemikiran Bourdieu yang terhubung erat dengan pertautan antara struktur dan agensi.
d.      Mendeskripsikan, mengurai, memahami, menjelaskan, menafsirkan, dan merefleksikan pemikiran Bourdieu untuk menjelaskan fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat kita. Paparan ini menggunakan beberap kasus yang ada di Indonesia.


B. Tinjauan Pustaka


Dalam perbincangan ilmu sosial, studi alternatif komparasi antara struktur dan agensi setidaknya merupakan isu yang masih cukup hangat hingga saat penelitian ini dilakukan. Sedemikian pentingnya isu ini hingga Fuller menyebutnya sebagai “kegilaan” (Ritzer, 1996b: 506). Archer berpendapat, “Masalah agensi dan struktur dapat dilihat sebagai masalah fundamental dalam sosiologi modern.” Archer menambahkan bahwa kemampuan menjelaskan hubungan struktur-agensi (serta jejaring lainnya yang terkait dengan hubungan struktur-agensi) menjadi semacam masalah sentral dalam teori sosial secara umum (Ritzer, 1996b: 506). Pembahasan tentang pentingnya isu struktur-agensi juga bisa kita baca dari banyaknya para pemikir kontemporer yang menyinggungnya. Tercatat nama-nama di sana yang bisa dikatakan tekun membidangi hal tersebut, seperti Anthony Giddens, Margaret Archer, Jurgen Habermas, dan mungkin yang lainya (Ritzer, 1996b: 390–422).
Setiap pembaharuan tiada lain merupakan “ketidakpuasan” terhadap apa yang ditawarkan dari sketsa pemikiran-pemikiran sebelumnya. Pada paruh kedua abad ke-20, kancah teori sosial didominasi dua aliran besar, yakni aliran yang oleh Jean Piaget digolongkan sebagai “atomistis” dan aliran “strukturalis” (Piaget, 1995: 1–17). Keduanya mempunyai sisi silang pendapat yang amat tajam, dan mampu menembus ke dalam semua lini dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora.
Gagasan Bourdieu hadir untuk merespon situasi yang sedang tak lagi menyenangkan ini. Diiringi semangat untuk melakukan pembacaan terhadap “distribusi kelas” yang tidak pernah sama dalam tingkatan struktural, Bourdieu mencoba membongkar “social theories idol” saat itu. Ambisi untuk mendorong pembacaan atau analisis agar tidak selalu kaku dan terjebak pada penyerahan model, akan tetapi meletakkannya agar bagaimana antara praktik dan konsep saling berhadap dan menunjang (Jenkins, 1992: 12), Bourdieu pun menganalisis ketegangan antara modernitas dan alam tradisi masyarakat Aljazair, terlebih lagi di sebuah daerah seperti Kayble (Robin, 1991: 10–98 ). Bourdieu turun gunung, meninggalkan sejenak buku-buku teori yang, terkadang, seolah-olah lebih tahu realitas ketimbang realitas itu sendiri. Dia mulai melakukan kerja lapangan di Aljazair pada sekira tahun 1960-an—sebuah momen di saat Prancis menduduki daerah tersebut (Robin, 1991: xii).
Setidaknya, ada beberapa isu penting yang menjadi gambaran masyarakat Aljazair saat itu, yakni permasalahan struktur masyarakat secara kuantitas: mayoritas orang-orang Arab dan Barber, kemudian penduduk asli (native) dan “pied noir” (orang keturunan Prancis), kelemahan dan kedaulatan negara yang terancam, dan bebarapa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Prancis (Robin, 1991: 23).
Berangkat dari beberapa refleksi hasil riset di Aljazair ini—ditambah dengan beberapa riset lanjutan—Bourdieu melakukan pemetaan dan melontarkan gagasan cemerlangnya tentang cara-baca terhadap fenomena sosial yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Bahkan, Bourdieu keberatan dengan dinamika teori sosial yang sedang berkembang. Sungguh dapat dibenarkan, sebagaimana telah tersirat, bila pada paruh awal abad ke-20—bahkan mungkin hingga sekarang—ruang tempat berlangsungnya hilir-mudik teori sosial sangat didominasi oleh strukturalisme. Hingga kemudian, secara bersamaan, banyak orang secara serentak menekuni dan menggemari eksistensialisme, terlebih lagi di Prancis pada saat Bourdieu sedang meniti karir intelektualnya. Paham ini dirumuskan oleh orang-orang besar macam Sartre (1905–1980), Camus (1913–1960), Jesper (1883–1969) dan tentu saja yang lainnya, mendapat posisi yang cukup “seksi”, diperbincangkan di banyak ruang dalam dunia akademis dan memberi efek yang luar biasa (Wacquant, 2002: 549–256 dalamhttp://sociology.berkeley.edu/faculty/wacquant/wacquant_pdf/PBSOCIOLOGLIFE.pdf).
Strukturalisme merupakan paham yang banyak terilhami oleh Ferdinand de Saussure, seorang pakar linguistik dari Swiss. Setidaknya, ada lima poin penting yang dapat kita pungut dari pikiran-pikiran Saussure: (1) signified (petanda) dan signifier (penanda), (2) form (bentuk) dan content (isi), (3) langue (bahasa) dan parole (ujaran), (4) syncronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis), serta (5) sintagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik) (Saussure, 1996: 73–91; Sri Ahimsa-Putra, 2001: 33).
Temuan Saussure kemudian digunakan Levi-Strauss dalam mengolah teorinya. Gagasan penting dari Levi-Strauss adalah prinsip yang mengatakan bahwa kehidupan sosial dan kultural tidak bisa dijelaskan secara unik oleh fungsionalisme–seolah-olah semuanya telah termaktub karena jalinan fungsi dalam masyarakat. Baginya, kehidupan kultural tak bisa hanya diuraikan dalam kerangka sifat-sifat intrinsik gejala yang terkait dengan kehidupan itu. Tidak pula hal ini dijelaskan dengan data-data empiris, seolah-olah fakta selalu saja berbicara sendiri. Sebagai orang yang banyak terilhami oleh Saussure, Levi-Strauss menitikberatkan pada unsur-unsur suatu sistem yang bergabung bersama-sama  menuai jalinan membentuk ikatan totalitas. Di sini, “perbedaan” dan “hubungan” menjadi amat penting (Lechte, 2001: 122). Terkait dengan ini, Levi-Strauss menekankan bahwa tiada korelasi yang penuh seratus persen, dan para antropolog mesti berani berkeputusan untuk meminta bantuan dari para pakar bahasa dalam menjelaskan fenomena linguistik (Sri Ahimsa-Putra, 2001: 27).
Sebagaimana telah disingung di atas, selain kelompok strukturalis yang lebih menekankan “kualitas lingkungan”, situasi, dan kondisi (eksternal) dalam menganalisis suatu hal, terdapat juga aliran eksistensialisme. Aliran yang dimotori oleh Sartre ini sangat berbanding terbalik dengan strukturalisme. Jika stukturalisme lebih menekankan pada bagaimana hubungan manusia, situasi, dan kondisi, eksistensialisme lebih memfokuskan kebebasan inidividu dalam berkehendak. Aliran-aliran seperti fenomenologi, etnometodologi, dan sejenisnya merupakan teori-teori yang berjalan selaras. Tokoh-tokoh seperti Heidegger dan Husserl, yang merupakan penyumbang besar bagi aliran-aliran tersebut, juga merupakan orang-orang yang menjadi pemantik bagi kalangan eksistensialis (Bertens, 2002: 91).
Keberatan-keberatan Pierre Bourdieu tidak lain bahwa strukturalisme, dengan segala turunannya, seolah-olah lupa bahwa agensi juga dapat menentukan terbentuknya struktur. Tidak semua struktur menggiring agensi. Namun, agensi tidak pula berdiri bebas tanpa polesan dari struktur–agensi juga secara pasti ikut larut dalam struktur. Tampaknya, keduanya membentuk hubungan resiprokal yang akan menentukan pola gerak masyarakat atau, dalam bahasa Bourdieu, “a dialectic of the internalization of externality and the externalization of internality” (Bourdieu, 1977: 72).
Bagi Bourdieu, individu merupakan produk sejarah (Bourdieu, 1990: 60). Individu mencerap atau menginternalisasi apa yang diproduksinya sendiri. Proses internalisasi dan eksternalisasi tersebut terdisposisi lama, hingga seolah-olah menjadi sesuatu yang tak teringat (Bourdieu, 1977: 72). “Habitus”, demikian istilah Bourdieu yang amat masyhur, merupakan bagian yang tak terpisahkaan dari manusia. Kehadiran habitus terkait dengan reproduksi sosial yang terapresiasi dengan pola dan tingkah laku individu (Bourdieu, 1990: 52–66).
Bourdieu menggunakan istilah “struktur generik”—istilah yang dipakai dalam membaca problema sosial (Ritzer, 1996b : 40–41)—yaitu sebuah tatanan yang tidak lain adalah hasil aktivitas manusia sendiri. Struktur tersebut lahir dari narasi panjang tentang kehidupan kita sehari-hari. Kehidupan sehari-hari tentu saja tidak stagnan, akan tetapi penuh dengan strategi dan inovasi maupun teknik diri (Bourdieu, 1990: 56).
Dalam habitus inilah individu akan mencerap makna, menemukan apresiasi nilai, menjadi matrix persepsi hingga tindakan (Bourdieu, 1977: 83). Dengan habitus ini pula individu-individu akan bertemu dan bertempur dalam market (pasar). Apakah market itu? Market adalah medan perebutan makna tempat semua habitus saling bergesek. Pada saat-saat tertentu, seperti dalam Language and Symbolic Power (1991), Bourdieu menggunakan istilah market namun tidak dijelaskannya secara definitif dan rigid. Namun, istilah yang paling populer dan seolah-olah menjadi hak patennya adalah “field” (Bourdeiu, 1991: 67). Bourdieu memberikan kategori market tersebut sebagai “field”—sedangkan Haryatmoko (2003) membahasakannya sebagai “arena perjuangan”—yaitu semacam ruang tempat bercengkeramanya habitus-habitus dalam menemukan makna, menentukaan tujuan, dan saling mempertahankan, mengunguli atau proses perjuangan dalam menentukan tujuan (Bourdieu, 1994: 142).
Dari sinilah kecemerlangan gagasan seorang Bourdieu tampak, yang mencoba memadukan antara mereka yang bersikukuh bahwa strukur sebagai penentu atau agensi sebagai segalanya. Bagi filsuf ini, memang strukturalisme lebih memusatkan peran rule atau langue, yang juga berarti menolak kedaulatan agensi. Individu, bagi Bourdieu, tidak hanya tunduk dan diam mengikuti alur struktur, tetapi agensi memiliki pilihan-pilihan rasional dan inovasi serta teknik diri yang terapresiasi dalam pikiran-pikiran, apresiasi, hingga tindakan (Bourdieu, 1994: 13).
Individu juga merupakan bagian dari reproduksi struktur yang terdisposisi. Inovasi, strategi, dan teknik diri individu tersebut kemudian membentuk jejaring struktur karena setiap habitus terkait dengan jalinan antara satu dengan yang lainya. Jalinan antar-habitus membentuk kelompok habitus kolektif. Dalam kelompok inilah masing-masing mempunyai peran dalam memberikan warna dan mempunyai hubungan resiprosikal. Dengan demikian, selalu terjalin hubungan resiprokal antara habitus dan field. Kelompok-kelompok itu akan berjalin dengan field (Bourdieu, 1994: 143).
Di dalam field terjadilah pertarungan yang luar biasa. Proses pertarungan ini sangat ditentukan oleh keberadaan “modal” (capital) yang ada pada agensi. Bourdieu membongkar definisi klasik yang menitikberatkan bahwa modal hanyalah bersifat ekonomis belaka—terutama dalam tradisi marxian. Baginya, terdapat pula modal yang menempati posisi penting dalam field: modal simbolik (symbolic capital), modal budaya (cultural capital), modal sosial (social capital). Modal simbolik bisa berwujud agama, keyakinan, dan lain sebaganinya, sedangkan modal kultural bisa berbentuk identitas dan legitimasi masyarakat dalam menilainya yang bisa saja diraih, misalnya lewat capaian jenjang pendidikan formal (Bourdieu, 1990: 22).
Keberadaan modal yang ada pada setiap indivividu sangat berbeda antarsatu dengan yang lainnya. Modal ini didapat oleh individu berdasar atas posisi sang individu. Modal ini pula yang nantinya akan turut menentukan  atau menjadi bagian dari pembentuk habitus seseorang. Meski memang, Bourdieu pun mengakui bahwa modal ekonomilah (ecomomic capital) yang paling menentukan, dari sekian modal yang ada (Jenkins, 1992: 195).
Habitus akan mengalami dinamika yang rumit karena selalu saja dihadapkan pada field. Demikian seterusnya, susunan masyarakat mencakup mereka yang terus menuntut akan modal dan mempertahankannya. Dengan adanya kehormatan (honour), misalnya, modal simbolik yang terkait dengan berbagai modal yang lain, terkadang sulit sekali masyarakat untuk berubah. Bahkan, mereka yang terdominasi “tidak menyadari” karena adanya modal simbolik yang sudah tersusun dan diinternalisasi dalam waktu yang lama (Bourdieu, 1994: 198). Namun, tentu cuma demikian, agensi tak selamanya terlelap dalam daulat kekuatan modal simbolik semata karena dalam diri agensi juga terdapat modal-modal yang sekiranya mampu bertahan untuk melakukan “regulated improvisation dari hembusan modal besar dalam medan perjuangan. Maka, lahirlah dualitas atau hubungan bolak-balik, selayaknya bandul yang tak pernah tetap (Bourdieu, 1977: 78).
Demikianlah pola hubungan antara kedaulatan subyek dan kekuatan struktur. Bourdieu berhasil mengurai dengan terang bagimana kedaulatan subyek dalam struktur, bagaimana pula struktur menyerap dan membentuk individu, serta pula hubungan resiprokal keduanya yang mampu membelah analisis lama dalam pergulatan teori-teori sosial. Apa yang telah dilakukan Bourdieu, tentu saja, tidak bebas dari kritik. Terlepas dari itu, semua sudah menjadi kepastian yang tak terbantahkan bahwa Bourdieu telah banyak memberikan kontribusi baru dalam khazanah ilmu-ilmu sosial.

 

C. Landasan Teori

Usaha untuk memahami dan menjelaskan gerak serta dinamika dalam realitas sosial merupakan agenda besar umat manusia. Dengan begitu, segala persoalan yang melingkari dapat terurai dan terselesaikan. Meski harus diakui bahwa permasalahan tidaklah akan berakhir, dia akan terus datang dan selalu saja menghunjami kehidupan manusia. Demikianlah, teori-teori sosial dihadirkan untuk maksud-maksud yang tidak jauh berbeda, berlaras pada prinsip-prinsip menerangkan dan memahami pengalaman, berdasar beberapa pengalaman lain serta ide-ide secara umum mengenai dunia (Craib, 1994: 11).
Cara menjelaskan bagaimana gerak masyarakat dan segala ubo rampe yang ada padanya merupakan kebutuhan penting yang, nantinya, bakal amat menentukan dalam usaha dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Sekalipun tidak secara resmi, namun dapat diambil titik simpul secara umum bahwa semua teori sosial mendasarkan asumsinya tentang hakikat manusia dan masyarakat (Poloma, 2003: 1). Dalam sejarah perkembangan teori sosial, salah satu metode tradisional adalah menempatkan pembedaan antara teori-teori masyarakat “holistik” dan teori-teori masyarakat “individualistik”, atau dalam bahasa lain agensi menentukan struktur ataukah struktur yang menentukan agensi (Craib, 1994: 31).
Kemudian, dunia teori sosial dipenuhi berbagai perdebatan. Dapat dibenarkan, berbagai teori sosial yang ada mempunyai kecenderungan pada pertentangan dua kutub besar: subjektivis dan objektivis (Giddens, 1984: xx; Bourdieu, 1994: 34). Manusia sebagai pemegang utama atau struktur atau masyarakat yang menentukan manusia Terkait dengan ini, tepat apa yang dikatakan Vegeer (1985: 9):

Lama sekali sosiologi menggumuli soal apakah masyarakat mempunyai wujud (realitas) dalam dirinya, sehingga berdiri sendiri, berkuasa atas anggotanya, dan berkembang menurut prinsip dan hukum yang tidak tergantung pada anggota, atau tidak! Kalau tidak, masyarakat tergantung dari kemauan individu-individu yang bebas mengadakan relasi-relasi itu. Jawaban atas persoalan ini bersifat menentukan bagi masalah lain, yaitu apakah masyarakat harus diberikan prioritas di atas individu, ataukah sebaliknya, individu harus diberikan prioritas di atas masyarakat. Sampai sekarang, masalah ini masih tetap aktual.

Penelitian ini akan berpijak pada gagasan bahwa terdapat hubungan yang saling menentukan antara struktur maupun agensi. Keduanya tidaklah mempunyai hubungan yang saling bertentangan atau tidak bisa dipisahkan. Namun, sebaliknya, keduanya saling merajut dan mempunyai hubungan yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain (Giddens, 1984: 25). Senada dengan simpulan ini, Berger dan Luckmann mengatakan, “Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan kenyataan objektif, manusia merupakan produk sosial” (Berger dan Luckmann, 1990: 87).
Manusia, pada satu sisi, sangat ditentukan oleh kondisi dan lingkungan yang selalu saja menghinggapi. Namun, pada sisi lain, manunsia juga dapat berstrategi dan keluar dari lanskap struktur (Bourdieu, 1977: 78). Struktur bukanlah apa yang berdiri di luar agensi, akan tetapi struktur juga merupakan produk dari agensi itu sendiri, sebagiamana dikatakan Giddens: “Structure is not to be conseptualised as barrier to action, but as essentially involved  in its production” (Giddens, 1984: 70).
Selalu saja terjadi hubungan resiprokal antara manusia dan struktur sosial yang berusaha menggiring manusia. Sebabnya, walau bagaimanapun, manusia bukanlah robot-robot yang dengan mudah dapat diatur oleh dunia luar (Bourdieu, 1977: 24). Baik struktur maupun agensi akan terus terpaut erat dan saling mendukung dalam mereproduksi pola dan format sebuah masyarakat. Artinya, tambah Vegeer (1985: 9), mengikuti perkembangan sosiologi kontemporer, bahwa

Individu dan masyarakat tidak mungkin dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lain. Kebebasan sebagai individu tidak mungkin dipikirkan tanpa adanya ikatan dan keterkaitan dengan orang lain. Independensi sebagai individu tidak mungkin ada tanpa dependensi dari masyarakat, begitu juga tiap-tiap masyarakat menghidupi pribadi-pribadinya. Tanpa individu tidak ada masyarakat, tanpa masyarakat tidak ada individu.

Demikianlah, penelitian ini akan menyajikan bagaimana Bourdieu melihat hubungan antara “kedaulatan” agensi dan struktur sebagai sebuah analisis yang relatif baru dalam teori sosial. Dan, tentu saja, penelitian ini ingin membuktikan kemungkinan pemikiran Bourdieu sebagai bagian dari pemikiran alternatif—yang merupakan pekerjaan yang menarik sekaligus patut diapresiasi serta diperhitungkan.

 

D. Metode Penelitian


1. Bahan dan Materi Penelitian
Penelitian ini merupakan deskripsi sekaligus analisis kritis filosofis terhadap teori sosial Bourdieu, serta pemikiran yang terkait dengan para tokoh sebelumnya. Bahan dan meteri penelitian diperoleh dari studi kepustakaan (library research), yaitu pada buku-buku karya Bourdieu sendiri atau penulis lain yang menulis tentangnya. Pada tahap berikutnya, bahan-bahan tersebut diklasifikasi menjadi dua kelompok.
Pertama, kepustakaan primer, yang meliputi buku-buku dan tulisan yang berkaitan dengan tema penelitian baik dari Bourdieu maupun penulis lainnya. Di antara buku-buku yang bisa dikategorikan “buku babon” tersebut adalah Outline of a Theory of Practice (Bourdieu, 1977), Homo Academicus (Bourdieu, 1984), Distinction ( Bourdieu, 1984), Logic of Practice (Bourdieu, 1990), Language and Syimbolic Power (Bourdieu, 1991), The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (1993) In Other Words: Essays Towards a Reflexsive Sociology (Bourdieu, 1994), The Act of Resistance (1998), Pascalian Meditation (2000). Kedua, kepustakaan sekunder yang meliputi buku-buku, tulisan, artikel, jurnal, dan website (internet) yang terkait dengan tema penelitian secara langsung, termasuk buku-buku pengantar, kamus, dan tulisan dari disiplin ilmu lain yang dapat melengkapi dan membantu pemahaman terhadap tema penelitian ini.

2. Jalan Penelitian
Jalan penelitian yang akan ditempuh di sini adalah sebagai berikut:
a.       Pengumpulan data, yaitu pengumpulan sebanyak mungkin data yang berkait dengan penelitian.
b.      Klasifikasi data, yaitu membuat pemilihan data sehingga tampak jelas pembedaan antara data primer dan sekunder.
c.       Analisis, yaitu menganalisis data primer dengan bantuan data sekunder dengan menggunakan metode yang dipilih.
d.      Menyusun tulisan.
e.       Membuat simpulan dan mengajukan refleksi pribadi (personal critical reflection).



3. Analisis Hasil
Data-data dalam Penilitian ini dianalisis menggunakan hermeneutika, yaitu menafsirkan pemikiran Bourdieu dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Deskripsi. Metode ini berusaha memberikan uraian dan gambaran utuh mengenai pemikiran teori sosial Bourdieu yang terkait dengan pertautan antara strktur dan agensi.
b.      Kesinambungan historis. Latar belakang pengaruh yang diterima dari tokoh lain diteliti dalam rangka memahami pemikiran Bourdieu secara kontekstual.
c.       Holisitk. Usaha dengan semuat tenaga dan mendalam memahami pemikiran Bourdieu, yang tentu saja dirunut secara mendalam yang terkait pertautan  antara struktur dengan agensi.
d.      Komparasi. Di sini akan diandingkan Bourdieu dengan tokoh lain yang mempunyai visi dan aras yang sama tentang tema hubungan antara struktur dan agensi.
e.       Penafsiran. yaitu mencoba memungut dengan tepat apa yang dimaksud dengan Bourdeiu yang berkenaan dengan hubungan antara stuktur dan agensi dengan pertimbangan-pertimbangan penafsiran.
f.       Kohorensi intern. Karya-karya Bourdieu dianalisis berdasar keselarasan konsep dan aspek yang berkaitan dan ditetapkan inti atau dasar pemikiranya dalam suatu struktur yang logis dan sistematis. Pokok pemikiran yang mendasar dan sentral ditetapkan serta diteliti susunan logis sistematisnya dalam perkembangan pemikiran selanjutnya sesuai dengan metode pemikirannya.
g.      Heuristika. Pokok-pokok pemikiran sentral akan dijadikan acuan utama untuk melakukan interpretasi dalam rangka menemukan pemahaman komprehensif perihal teori sosial Bourdieu yang diharapkan akan lebih mudah dipahami.

E. Hasil yang Ingin Dicapai

Hasil yang akan dicapai dari penulisan dan penelitian tentang hubungan antara struktur dan agensi menurut Pierre Bourdieu adalah sebagai berikut:
1.      Penelitian ini dapat memberikan gambaran yang mendalam mengenai ciri khas serta keunikan pemikiran tentang pertautan antara struktur dan agensi disertai pemahaman yang jelas perihal teori sosial yang dimaksud oleh Bourdieu.
2.      Mendapatkan pengalaman konseptual dan pemahaman yang kritis serta dinamis mengenai bagaiamana pendamaian antara struktur dan agensi dengan segera kemungkinan penerapannya.
3.      Menambah jumlah koleksi pribadi maupun Fakultas Filsafat UGM, khususnya berkenaan dengan teori-teori sosial, sekiranya dapat menjadi bagian referensi untuk diapresiasi dalam dunia keilmuan dan akademik.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah memahami susunan penelitian ini, penulis membagi kerangka penulisan menjadi lima bab dengan tambahan sebelum Bab I, yaitu Halaman Pengesahan, Motto, Kata Pengantar, Lampiran (foto Pierre Bourdieu),  Intisari, abraksi, Daftar Isi, Daftar Figur, Daftar Lampiran, dan Lampiran. Tambahan yaitu Daftar Pustaka pada Bab V.
Bab I merupakan Pendahuluan skripsi, di mana dikemukakan latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, tinjuan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan bagian yang menerangkan lacakan perdebatan mengenai pertautan antara strktur dan agensi dari zaman ke zaman dalam kancah sejarah filsafat. Dalam bab ini pula akan diurai sekitar perdebatan teori sosial, juga disajikan konsepsi pertautan antara struktur dan agensi dari filsuf-filsuf selain Bourdieu.
Bab III merupakan bab yang mengurai tentang bagaimana latar belakang kehidupan Bourdieu, karirnya, karya-karyanya, dan sisi-sisi kehidupannya yang lain. Juga diulas pikiran-pikiran yang mempengaruhi Bourdieu, dan secara sederhana dijelaskan gagasan-gagasan Bourdieu yang berserakan di luar pemikiran pertautan antara struktur dan agensi.
Bab IV akan membincang tentang bagaimana hubungan antara struktur dan agensi yang merupakan jawaban atas keresahan Bourdieu terhadap teori-teori sosial sebelumnya, baik mengenai posisi agensi dan struktur serta hubungan keduanya. Akan diulas pula di sini sekitar gagasan pertautan antara struktur dan agensi dalam gagasan berserak hasil pembacaan realitas sosial yang mencakup pendidikan, bahasa, gender, hingga dunia yang telah disekap sistem mengerikan: neo-liberalisme.
Dalam bab terakhir, Bab V, diuraikan kesimpulan umum dan saran untuk merajut ide besar dari penelitian ini, yang sekaligus menjadi medan akhir pembahasan dalam skripsi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar