BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Syari’ah sebagai hukum Allah
diturunkan di muka bumi bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan, kedamaian dan
kebahagiaan umat manusia. Hukum Allah ada yang diterangkan secara tertulis jelas
dalam al-Qur’an (eksplisit) dan ada yang bersifat implisit.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang paling utama dan inipun masih terbagi
dalam dua bagian yaitu muhkam dan mutasyabih. Hukum-hukum yang
terkandung didalamnya ditemui umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW telah
dijelaskan melalui sunnahnya dengan sempurna. Oleh karenanya sunnah merupakan
sumber hukum Islam kedua yang berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum
Allah yang bersifat samar. Namun demikian, penjelasan-penjelasan Rasul pada
saat itu terikat oleh dimensi-dimensi kultural, situasi, kondisi, tempat dan
waktu sehingga penjelasan-penjelasan itu mesti dilanjutkan melalui
pengkajian-pengkajian dan penelitian ijtihadi. Produk-produk pemikiran itulah
yang disebut dengan fiqih. Di dalam syari’ah
itu sendiri terdapat banyak aturan yang terkandung di dalamnya. Di antara salah
satu ajaran yang akan menjadi kajian dalam tulisan ini adalah aturan tentang
perkawinan dan perceraian.
Allah telah menciptakan manusia
terdiri dari macam-macam jenis kelamin, suku, kebudayaan, adat, dan masih
banyak lagi yang lainnya supaya di antara mereka saling mengenal satu sama
lain. Dan apabila mereka sudah saling mengenal, maka akan menimbulkan
perkawinan.
Syari’at Islam telah menetapkan bahwa
perkawinan antara suami istri pada prinsipnya adalah sekali untuk selamanya.
Dalam suatu perjanjian yang sifatnya biasa, para pihak mengharapkan agar
perjanjian yang mereka buat itu kokoh dan kuat. Perjanjian yang bernama
perkawinan mengandung nilai ibadah diharapkan untuk bisa langgeng selamanya.
Suami istri mengharapkan agar perjanjian itu hanya berakhir apabila salah
seorang diantara keduanya meninggal dunia.
Pergaulan antara suami istri adalah
pergaulan yang paling kokoh. Keduanya berkumpul serta bergaul di rumah tangga
dan di luar rumah tangga. Akan tetapi rumah tangga tersebut tidak selamanya
mampu bertahan dalam menggapai dari tujuan pernikahan. Persoalan sering muncul
dengan latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini bisa terjadi dikarenakan
faktor ekonomi, perbedaan pandangan hidup, perbedaan pendapat, dan berbagai
persolan yang muncul biasanya tidak bisa dipecahkan dengan jalan damai. Dari
hal-hal di atas, bisa mengurangi rasa cinta dan kasih sayang dan dapat
menimbulkan pertentangan, akhirnya terjadilah perceraian.
Sekalipun Islam menghendaki bahwa
akad perkawinan itu pada prinsipnya adalah sekali untuk selamanya, akan tetapi
kalau di antara suami istri itu sudah tidak mungkin untuk dipersatukan lagi,
Islam memperkenankan kepada keduanya untuk bercerai, meskipun hal tersebut
sangat dibenci oleh Allah. Hanya saja yang harus diperhatikan bahwa perceraian
itu merupakan pintu darurat yang baru dibuka apabila dalam keadaan yang sudah
sangat mendesak dan tidak ada jalan keluar lagi. Berbagai cara sudah ditempuh tetapi tidak berhasil kecuali dengan
jalan perceraian.
Pada dasarnya suami istri harus
bergaul dengan sebaik-baiknya, saling mencintai dan menyayangi. Suami istri
harus bersabar, apabila melihat sesuatu yang kurang berkenan atau kurang
disenangi antara keduanya. Dalam hal ini Allah berfirman :
Ayat di atas mengandung perintah dan
larangan demi untuk kebaikan suami istri, yaitu perintah untuk bergaul dengan
istri secara baik menurut yang ditetapkan oleh kebiasaan yang tumbuh dari
kemanusiaan yang terhormat. Ayat ini juga mengandung larangan menyusahkan istri
dan berlaku kasar tanpa sebab yang rasional.
Pada zaman sekarang, seringkali
dijumpai banyak kasus yang tidak mengindahkan perkawinan, seperti perilaku
kawin cerai yang sampai sekarang menjadi suatu fenomena masih sering terjadi di
masyarakat[2], seperti
perilaku kawin cerai yang dilakukan oleh orang-orang kalangan public figure
misalnya kalangan artis dan selebritis[3]. Dan
ini dilaksanakan tanpa memperhatikan
tujuan perkawinan itu sendiri yaitu untuk memperoleh kehidupan yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.[4]
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan pasal 1 disebutkan bahwa :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[5]
Di dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 2 juga disebutkan bahwa:
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mi>s\a>qan gali>z}an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[6]
Selain bertujuan untuk memperoleh
kehidupan yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perkawinan juga bertujuan untuk
melaksanakan libido seksualitas atau pemenuhan kebutuhan biologis. Allah
berfirman :
أحل لكم ليلة الصيام
الرفث إلى نساءكم هن لبا س لكم وأنتم لبا س لهن4 علم الله أنكم
Tujuan yang lain adalah untuk memperoleh keturunan atau
reproduksi[8], menjaga
kehormatan dan ibadah.[9]
Apabila diperhatikan bahwa pernikahan
itu merupakan akad yang sangat kuat atau mi>s\a>qan gali>z}}an. Ini dapat dipahami bahwa pernikahan itu tidak hanya menghubungkan
antara dua manusia dari jenis kelamin yang berbeda melainkan juga menghubungkan
dua keluarga besar yaitu keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga dari pihak
perempuan. Kedua keluarga yang mulanya berdiri sendiri kemudian menjadi satu
kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, dari sudut pandang sosiologi, bahwa
perkawinan yang semula hanya perpaduan dua insan, dapat menjadi sarana
pemersatu dua keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu.
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa
perkawinan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga karena keluarga adalah
merupakan unit terkecil dari masyarakat. Dari keluarga inilah yang akan
membentuk warga masyarakat yang pada akhirnya
menjadi sebuah negara. Apabila keluarga itu sehat maka sehat pula suatu
bangsa. Oleh karena itu Islam melihat keluarga sebagai sendi dasar
bermasyarakat. Apabila terjadi kawin cerai maka dapat dikatakan bahwa dalam
kehidupan keluarga tersebut tidak sehat.
Banyak hal dalam agama yang perlu
batasan-batasan seperti talak satu, dua, dan tiga. Ketentuan batasan ini agar
kesempatan untuk dapat kembali hidup bersuami istri bagi mereka yang
bersangkutan agak luas. Kesempatan dapat kembali bersuami istri diberikan
sampai dua kali itu diharapkan masing-masing suami istri dapat memperbaiki
hal-hal yang menyebabkan tidak adanya persesuaian antara mereka sehingga
apabila mereka berhasil memperbaiki kelangsungan hidup perkawinan antara mereka
akan dapat terjamin tanpa ada pihak yang mengalami tekanan-tekanan batin.
Selain itu juga bermaksud supaya orang tidak main-main terhadap sesuatu yang
dilindungi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dan hal tersebut merupakan hak
Allah.
Batasan talak di atas dapat dijadikan
sebagai batasan kawin cerai. Dapat dikatakan sebagai kawin cerai apabila
seseorang itu berulang-ulang melakukan perkawinan dan perceraian minimal tiga
kali dengan pasangan yang berbeda-beda dan perceraiannya itu tidak disertai
alasan yang dapat dibenarkan. Mereka melakukan perkawinan hanyalah untuk
mencicipi dan merasakan saja dan setelah puas iapun bercerai lagi.
Dalam agama katolik itu sendiri
melarang keras terhadap penganutnya bercerai. Perceraian dalam agama katolik
merupakan pelanggaran terhadap hukum yang mengakibatkan seseorang yang bercerai
tidak boleh melakukan perkawinan kembali. Perceraian hanya terjadi karena
kematian salah seorang dari suami istri. Islam membolehkan perceraian setelah
dalam keadaan yang sudah tidak memungkinkan lagi bagi seorang pasangan untuk
kembali hidup rukun. Dan Islam sendiri tidak membenarkan adanya perilaku kawin
cerai.
Oleh karena itu, perilaku kawin cerai
sangat tidak mengindahkan hakikat dari perkawinan itu yaitu mi>s\a>qan gali>z}an. Seolah-olah perceraian itu dianggap hal yang biasa. Padahal
perceraian itu merupakan jalan terakhir setelah upaya perdamaian tidak lagi
dicapai. Dampak atau akibat perceraian sangat
berpengaruh terhadap keluarga besar kedua belah pihak dan jika sudah mempunyai
keturunan, maka akan membawa dampak terhadap keturunannya.
Merujuk kepada fenomena kawin cerai,
undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam belum ditemukan adanya pasal yang
secara khusus mengatur tentang perilaku kawin cerai. Oleh karena itu perlu
adanya aturan khusus atau hukum yang mengatur dan menindaklanjuti perilaku
kawin cerai. Aturan tersebut bersifat pemberian sanksi hukum terhadap pelaku
kawin cerai, supaya mereka tidak main-main terhadap sesuatu yang sangat dibenci
dan mendatangkan murka Allah.
Dengan latar belakang inilah,
penyusun merasa perlu untuk membahas lebih jauh mengenai tinjauan hukum Islam
bagi pelaku “kawin cerai” yang merupakan sebuah studi eksplorasi dan akan
dijadikan bahan dalam penyusunan skripsi.
- Pokok Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka
terdapat beberapa permasalahan yang dapat dikaji dan dibahas antara lain :
1.
Bagaimanakah kemungkinan
pemberian sanksi hukum bagi pelaku kawin cerai ?
2.
Adakah landasan hukum yang
dapat dijadikan sebagai rujukan dalam memberikan sanksi hukum bagi pelaku kawin
cerai ?
- Tujuan Dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah :
a.
Untuk menjelajahi kemungkinan sanksi
hukum yang dapat diberikan bagi pelaku
kawin cerai.
b.
Untuk mengetahui hukum yang berkaitan dengan pelaku kawin
cerai.
Sedangkan kegunaannya adalah :
a. Memberikan kontribusi terhadap pemecahan
masalah adanya kawin cerai yang banyak terjadi sekarang ini.
b. Untuk memperkaya khazanah keilmuan dan
pengetahuan tentang hukum Islam terutama
yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian.
- Telaah Pustaka
Perkawinan merupakan sunnatullah yang
berlaku pada semua makhluk-Nya. Ini adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT
sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak. Akan tetapi, perkawinan
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata sehingga dalam pelaksanaan
perkawinan harus diperhatikan tata cara, persyaratan dan rukun-rukunnya.
Sedangkan perceraian itu merupakan sesuatu yang halal yang sangat dibenci oleh
Allah. Perkawinan dan perceraian dapat diibaratkan dua sisi mata uang logam,
karena perkawinan dan perceraian merupakan hukum alam yang tidak bisa ditolak atau
dirubah, dan akan terus berlangsung sampai kehidupan ini tidak ada lagi sesuatu
yang hidup.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam pada Buku I tentang Hukum
Perkawinan tidak ada pasal yang secara spesifik mengatur tentang kawin cerai. Setelah
melakukan penelaahan terhadap berbagai sumber, penyusun menemukan karya yang
membahas tentang fenomena kawin cerai dengan judul Perceraian Yang Indah
(Membongkar Fenomena Kawin Cerai Selebritis) karya Muhammad Muhyidin. Dalam
karya tersebut, penulis menjelaskan bahwa perilaku kawin cerai itu disebabkan
karena tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan dalam perkawinannya yang
pertama. Morteza Mutahhari dalam bukunya yang berjudul Wanita dan Hak-Haknya
Dalam Islam menerangkan bahwa dalam agama katolik perceraian itu dilarang
keras. Dalam agama tersebut dijelaskan bahwa pernikahan adalah merupakan ikatan
suci sehidup semati yang tidak dapat diputuskan hanyalah maut yang dapat
memisahkan mereka.
Selain itu penyusun juga menemukan
skripsi tentang Hukum Menikah Dengan Niat Cerai (Studi Terhadap Pemikiran
Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mugni) karya Syihabudin al-Fatah. Dalam karya
tersebut, penyusun hanya membahas tentang seseorang yang melakukan perkawinan
dengan niatan akan menceraikan istrinya setelah kebutuhan libido seksualnya
terpenuhi. Akan tetapi penyusun belum menemukan karya yang membahas dari segi
tinjauan hukum Islam bagi pelaku kawin cerai. Oleh karena itu penyusun sangat
tertarik untuk membahas hal tersebut. Selain dari sumber di atas, penyusun juga
dibantu dengan buku-buku yang membahas tentang masalah perkawinan dan
perceraian dan juga artikel-artikel yang berkaitan dengan pembahasan penyusun.
- Kerangka Teoritik
Syari’at Islam merupakan hukum yang
bersifat universal. Dengan keuniversalannya ini hukum Islam mampu memenuhi
kebutuhan manusia dari zaman ke zaman dengan berdasar nas} (al-Qur’an dan H{adis\) yang menjamin kelengkapan dan keabadian. Bagi kaum muslim
al-Qur’an sebagai wahyu Allah merupakan sumber dari segala sumber hukum yang
menjadi acuan dalam menegakkan keadilan dan bahkan menjadi sumber yang abadi.
Di antara kandungan dari ayat-ayat tersebut adalah menyangkut hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan kholiqnya, hubungan manusia dengan sesama,
hubungan manusia dengan makhluk lain di alam ini. Di dalam menjelaskan tentang
hukum, masih banyak ayat-ayat yang sifatnya global dan implisit. Oleh karena
itu hadis\ bersifat menjelaskan prinsip-prinsip hukum yang masih bersifat
umum.
Seiring dengan perkembangan zaman dan
banyaknya permasalahan-permasalahan baru yang muncul yang hukumnya tidak ada
dalam al-Qur’an dan h}adis\, maka para ulama berupaya untuk menjawab segala permasalahan yang
muncul itu dengan ijtihad.
Di dalam al-Qur’an telah ditegaskan
bahwa Allah menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, baik dalam kehidupan
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya.
Sebagaimana firman Allah :
Perkawinan sangat penting dalam
kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang
sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai
kedudukan manusia sebagai makhluk. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam
suasana damai, tenteram, dan kasih sayang antara suami dan istri. Anak dari
hasil perkawinan yang sah akan menghiasi
kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia yang
harmonis, sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Adapun tujuan dari pernikahan itu
adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, sakinah,
mawaddah, dan rahmah sesuai dengan firman Allah :
ومن
ءايته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة 4 إن في ذالك لأ يت لقوم يتفكرون[11]
Untuk dapat mencapai tujuan itu dapat dicapai secara
sempurna apabila tujuan yang lainnya dapat terpenuhi.
Hubungan suami istri adalah hubungan
cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya, ikatan perkawinan pada dasarnya tidak
hanya dapat dibatasi dengan pelayanan yang bersifat material dan biologis saja.
Akan tetapi kebutuhan yang bersifat material dan biologis hanyalah sebagai
sarana untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi dan lebih mulia yakni
kebutuhan rohani, cinta, kasih sayang dan barokah dari Allah.[12]
Sejalan dengan prinsip perkawinan
dalam Islam yang menghendaki bahwa akad perkawinan itu pada prinsipnya adalah
sekali untuk selamanya, dan tidak boleh dibatasi dalam waktu tertentu,[13] akan
tetapi kalau diantara suami isteri itu sudah tidak mungkin untuk dipersatukan
lagi, Islam memperkenankan kepada keduanya untuk bercerai. Hanya saja yang
harus diperhatikan bahwa perceraian itu merupakan pintu darurat dan tidak ada
jalan keluar lagi serta berbagai upaya untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangganya sudah ditempuh tetapi tidak berhasil kecuali dengan jalan perceraian.
Maraknya fenomena kawin cerai yang terjadi
sekarang ini, kebanyakan disebabkan kesalahan dalam mengawali mahligai
perkawinan. Fenomena kawin cerai yang berkali-kali, menunjukkan adanya
ketidakseriusan dalam mengerjakan salah satu perkara yang sungguh-sungguh,
yakni perkawinan. Apabila perkawinan dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka
mustahil akan terjerumus dalam perceraian. Dalam Islam perkawinan yang hanya
sebatas ingin mencicipi, sekedar merasakan atau kawin cerai dilarang. Dalam h}adis\ yang dikutip oleh ulama H{anafiyah dan H{anabilah Nabi
bersabda bahwa Allah melaknat orang-orang (suami) yang suka mencicipi,
merasakan wanita (kawin cerai).[14]
Perceraian merupakan sesuatu yang
sangat dibenci oleh Allah. Kata-kata “sangat dibenci” dapat dipahami dengan
sanksi atau hukuman. Apabila dilihat bahwa fenomena kawin cerai yang sering
terjadi sekarang ini lebih banyak membuktikan pelanggaran-pelanggaran terhadap
tanggung jawab, hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga.
Pada dasarnya Islam mempersempit
pintu perceraian. Dalam hubungannya dengan hal ini dapat diperoleh ketentuan
bahwa aturan talak atau cerai hanya diadakan guna mengatasi hal-hal yang memang
sudah dalam keadaan sangat mendesak. Perceraian yang dilakukan tanpa adanya alasan
tidaklah diperbolehkan, karena dapat menimbulkan mudarat bagi dirinya sendiri
dan juga istrinya serta tidak membawa manfaat sama sekali, sesuai dengan kaidah
:
Begitu juga apabila pasangan tersebut sudah dikaruniai
keturunan, maka cerai juga akan berdampak terhadap keturunannya. Rasulullah SAW
bersabda :
Dalam lafaó yang lain
disebutkan
Oleh karenanya ikatan perkawinan yang
merupakan akad yang sangat kuat (mi>s\a>qan gali>z}an) haruslah dijaga dengan sebaik-baiknya.
Karena perkawinan itu tidak hanya menghubungkan antara dua jenis laki-laki dan
perempuan. Akan tetapi perkawinan juga menghubungkan antara dua keluarga besar
dari pihak laki-laki dan perempuan.
Adapun tujuan diciptakannya suatu
hukum yaitu untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, mendatangkan
kemakmuran dan kesejahteraan serta menjaga kepentingan setiap manusia dari
gangguan. Begitu juga diciptakannya hukum Islam yaitu untuk kemaslahatan
manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia maupun kemaslahatan di akhirat
kelak.[18] Selain
itu dari segi sosiologi bahwa hukum itu bertujuan untuk mengatur dan melindungi
masyarakat. Agar tujuan tersebut dapat terwujud, maka hukum menentukan
norma-norma yang berisi aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh setiap orang
baik itu yang bersifat norma-norma moral ataupun sosial. Oleh karena itu hukum
berisi perintah dan larangan serta sanksi bagi pelanggarnya. Dengan kata lain
bahwa hukum itu berfungsi sebagai sosial control sekaligus
sebagai sosial enginering. Apabila melihat tujuan diciptakan suatu hukum
di atas, maka terhadap pelaku kawin cerai itu perlu diberi sanksi atau tidak.
Dari uraian di atas, maka landasan
pertama yang digunakan dalam menjelaskan segala permasalahan adalah nas} yang berupa al-Qur’an dan h}adis\ Nabi. Dan ketika
suatu permasalahan yang tidak terdapat dalam nas},
maka tugas para mujtahid untuk merumuskan ketentuan masalah tersebut. Adapun
dasar teori dalam penyusunan skripsi ini adalah teori sad al-z\ari>ah yaitu menutup atau menghambat jalan atau wadah yang dapat diduga
membawa kepada kerusakan atau mafsadat[19]. Dalam
hal kawin cerai teori ini berfungsi untuk mencegah adanya kawin cerai. Dan
teori maslahah mursalah yaitu kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh
Syari’ dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan disamping tidak
ada dalil yang membenarkan atau menyalahkan.[20] Oleh
karena itu dalam melaksanakan ijtihad, peranan sad al-z\ari>ah dan maslahah mursalah sangatlah diperlukan untuk menemukan hukum baru oleh para mujtahid
sebab nas}
sebagai sumber hukum Islam sangat memperhatikan prinsip
kemaslahatan. Kemaslahatan yang diinginkan oleh hukum Islam bersifat universal,
duniawi dan ukhrawi.
Selain nas} yang
menjadi pedoman hidup, maka undang-undang pun mempunyai peranan penting dalam
mengatur urusan masyarakat, karena negara kita adalah negara yang berlandaskan
hukum sehingga semua aspek yang berkaitan dengan sesama dan negara sudah banyak
diatur oleh negara.
- Metode Penelitian
Sebagai sebuah penelitian ilmiah,
maka didalam penyusunan karya tulis ini menggunakan seperangkat metode
penelitian yang dapat menunjang dan mengarahkan untuk dapat menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan agar sebuah karya ilmiah
dapat mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dengan menggunakan
metode ilmiah. Adapun penyusun di dalam menyusun karya ilmiah ini menggunakan
metode sebagai berikut :
1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian perpustakaan (library research) yaitu sebuah kajian
yang menjadikan buku-buku tentang perkawinan dan perceraian serta liteatur-
literatur yang berkaitan dengan masalah kawin cerai sebagai sumber datanya yang
lebih bersifat dokumenter.[21]
2.
Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat Ekploratori, yaitu
menjelajahi tentang suatu obyek permasalahan secara sistematis dan obyektif
serta memberikan penjelasan dan penilaian secara cermat dan tepat terhadap
obyek kajian kemudian menganalisanya lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan.
Dalam penelitian ini penyusun adakan menjelajahi tentang fenomena kawin cerai
kemudian menganalisa lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan.
3.
Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam
menyusun skripsi ini adalah :
a.
Pendekatan Normatif, yaitu
pendekatan yang didasarkan pada dalil-dalil
al-Qur’an dan Sunnah untuk ditelusuri sehingga dapat diketahui landasan hukum
yang dapat dijadikan rujukan sehingga dapat menilai tentang perilaku kawin
cerai menurut hukum Islam.
b.
Pendekatan Yuridis, yaitu
pendekatan yang didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
bermaksud untuk menganalisa terhadap perilaku kawin cerai kemudian dicoba
didekati dengan norma hukum yang ada dengan mengambil ketentuan yang telah
ditetapkan oleh undang-undang.
4.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun data-data yang digunakan
adalah data pustaka dari buku-buku dan kitab-kitab yang membahas tentang pernikahan
dan perceraian serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah kawin
cerai.
- Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam penyusunan
skripsi ini secara global dan lebih sistematis sesuai dengan apa yang
diharapkan, maka penyusun membuat sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab Pertama: Merupakan pendahuluan yang akan menjelaskan tentang latar belakang
masalah, pokok-pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka
teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua: Memaparkan pengertian perkawinan dan perceraian menurut hukum
Islam maupun menurut Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam.
Bab Ketiga: Menjelaskan tinjauan umum tentang kawin cerai, sebab-sebab kawin
cerai serta dampak dari kawin cerai.
Bab Keempat: Menganalisis fenomena tersebut, kemudian apakah dimungkinkan adanya aturan baru yang dapat dijadikan pedoman aturan hukum terhadap pelaku kawin cerai. Dan bagaimana
hukum Islam dalam menyikapi hal tersebut.
Bab Kelima: Berisi penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran.
[2] Kawin-cerai : perkawinan yang dilakukan oleh seseorang secara
berulang-ulang terhadap pasangan yang berbeda-beda (kawin kemudian cerai, kawin
lagi dan cerai lagi begitu seterusnya) seakan-akan melakukan perkawinan hanya
untuk memenuhi kebutuhan libido seksualnya dengan perempuan lain. Dan setelah merasa
puas, ia akan mudah menceraikannya tanpa alasan yang jelas, kemudian ia
melakukan perkawinan lagi dengan pasangan yang lain dan anehnya merekapun
bercerai lagi dengan alasan yang tidak jelas. Mereka melakukan perkawinan
hanyalah untuk mencicipi dan merasakan saja dan setelah puas ia pun bercerai
lagi dan hal ini terjadi secara berulang-ulang. Padahal dalam hadis\ ditegaskan bahwa Allah melaknat orang yang suka mencicipi,
merasakan wanita (kawin cerai). Adapun batasan bisa dikatakan kawin cerai
adalah orang tersebut melakukan kawin cerai berulang-ulang dengan pasangan yang
berbeda minimal tiga kali dan alasan perceraiannya tidak dapat dibenarkan. Hal
ini berdasarkan bahwa dalam Islam sendiri talak itu dibatasi yaitu talak satu,
dua, dan tiga.
[3] Muhammad Muhyidin, Perceraian Yang Indah, Membongkar Fenomena
Kawin Cerai Selebritis, (Yogyakarta : Matahati, 2005), hlm. 26.
[4] Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami Istri (Hukum
Perkawinan I), cet. ke- 1 (Yogyakarta : Academia & Tazaffa, 2004), hlm.
35.
[5] Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan (Surabaya : Arkola, t.t.), hlm. 5.
[6] Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya : Arkola, t.t.), hlm. 180.
[7] Al-Baqarah (2) : 187.
[8] Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, cet. ke- 1
(Bandung : CV Pustaka Setia 1999), hlm. 13.
[9] Khoiruddin Nasution, Islam Tentang . , hlm. 43-44.
[12] Khoiruddin Nasution, Islam
Tentang . , hlm. 36.
[13] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. ke- 10
(Yogyakarta: : UII press, 2004), hlm.71.
[15] Abdullah Ibn Muhammad ‘Abadi>, Iz}a>h}u
al-Qawa>’id al-Fiqhiyah, (Surabaya: Hidayah, t.t. ), hlm . 44.
[16] Abu
Da>wud, Sunan Abi Da>wud, Kitab at-T}ala>q, Bab Karahiyyat
at-T}ala>q (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. ), II, 255, hadis\ no. 2178.
[17] Ibid., hlm. 255.
[18] Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat
Hukum Islam, cet. ke- 2 (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hlm. 65.
[19] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqa>s}id asy-Syari>’ah Menurut al-Syatibi, cet. ke-1 (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 151.
[20] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Us}u>l al-Fiqh, alih bahasa K.H. Masdar Helmy,
cet. ke-2 (Bandung: Gema Risalah Press, 1999), hlm. 142.
[21] Sutrisno Hadi, Metodologi Research,
(Yogyakarta : Andi Offset,1990), hlm. 9.
Betway | Casino and Resort Jobs | JT Hub
BalasHapusFind the job near you 충청남도 출장마사지 on the 세종특별자치 출장샵 JT Hub hiring page. You'll find 광주 출장마사지 details 강원도 출장샵 on jobs, 문경 출장샵 skills, education, job security,