Sabtu, 15 November 2014

SKRIPSI KAWIN CERAI

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Syari’ah sebagai hukum Allah diturunkan di muka bumi bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan, kedamaian dan kebahagiaan umat manusia. Hukum Allah ada yang diterangkan secara tertulis jelas dalam al-Qur’an (eksplisit) dan ada yang bersifat implisit. Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang paling utama dan inipun masih terbagi dalam dua bagian yaitu muhkam dan mutasyabih. Hukum-hukum yang terkandung didalamnya ditemui umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW telah dijelaskan melalui sunnahnya dengan sempurna. Oleh karenanya sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua yang berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat samar. Namun demikian, penjelasan-penjelasan Rasul pada saat itu terikat oleh dimensi-dimensi kultural, situasi, kondisi, tempat dan waktu sehingga penjelasan-penjelasan itu mesti dilanjutkan melalui pengkajian-pengkajian dan penelitian ijtihadi. Produk-produk pemikiran itulah yang disebut dengan fiqih. Di dalam  syari’ah itu sendiri terdapat banyak aturan yang terkandung di dalamnya. Di antara salah satu ajaran yang akan menjadi kajian dalam tulisan ini adalah aturan tentang perkawinan dan perceraian.
Allah telah menciptakan manusia terdiri dari macam-macam jenis kelamin, suku, kebudayaan, adat, dan masih banyak lagi yang lainnya supaya di antara mereka saling mengenal satu sama lain. Dan apabila mereka sudah saling mengenal, maka akan menimbulkan perkawinan.  
Syari’at Islam telah menetapkan bahwa perkawinan antara suami istri pada prinsipnya adalah sekali untuk selamanya. Dalam suatu perjanjian yang sifatnya biasa, para pihak mengharapkan agar perjanjian yang mereka buat itu kokoh dan kuat. Perjanjian yang bernama perkawinan mengandung nilai ibadah diharapkan untuk bisa langgeng selamanya. Suami istri mengharapkan agar perjanjian itu hanya berakhir apabila salah seorang diantara keduanya meninggal dunia.
Pergaulan antara suami istri adalah pergaulan yang paling kokoh. Keduanya berkumpul serta bergaul di rumah tangga dan di luar rumah tangga. Akan tetapi rumah tangga tersebut tidak selamanya mampu bertahan dalam menggapai dari tujuan pernikahan. Persoalan sering muncul dengan latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini bisa terjadi dikarenakan faktor ekonomi, perbedaan pandangan hidup, perbedaan pendapat, dan berbagai persolan yang muncul biasanya tidak bisa dipecahkan dengan jalan damai. Dari hal-hal di atas, bisa mengurangi rasa cinta dan kasih sayang dan dapat menimbulkan pertentangan, akhirnya terjadilah perceraian.
Sekalipun Islam menghendaki bahwa akad perkawinan itu pada prinsipnya adalah sekali untuk selamanya, akan tetapi kalau di antara suami istri itu sudah tidak mungkin untuk dipersatukan lagi, Islam memperkenankan kepada keduanya untuk bercerai, meskipun hal tersebut sangat dibenci oleh Allah. Hanya saja yang harus diperhatikan bahwa perceraian itu merupakan pintu darurat yang baru dibuka apabila dalam keadaan yang sudah sangat mendesak dan tidak ada jalan keluar lagi. Berbagai cara sudah  ditempuh tetapi tidak berhasil kecuali dengan jalan perceraian.
Pada dasarnya suami istri harus bergaul dengan sebaik-baiknya, saling mencintai dan menyayangi. Suami istri harus bersabar, apabila melihat sesuatu yang kurang berkenan atau kurang disenangi antara keduanya. Dalam hal ini Allah berfirman :
وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسي أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيراكثيرا[1]
Ayat di atas mengandung perintah dan larangan demi untuk kebaikan suami istri, yaitu perintah untuk bergaul dengan istri secara baik menurut yang ditetapkan oleh kebiasaan yang tumbuh dari kemanusiaan yang terhormat. Ayat ini juga mengandung larangan menyusahkan istri dan berlaku kasar tanpa sebab yang rasional.
Pada zaman sekarang, seringkali dijumpai banyak kasus yang tidak mengindahkan perkawinan, seperti perilaku kawin cerai yang sampai sekarang menjadi suatu fenomena masih sering terjadi di masyarakat[2], seperti perilaku kawin cerai yang dilakukan oleh orang-orang kalangan public figure misalnya kalangan artis dan selebritis[3]. Dan ini  dilaksanakan tanpa memperhatikan tujuan perkawinan itu sendiri yaitu untuk memperoleh kehidupan yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[4]
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 1 disebutkan bahwa :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[5]

Di dalam  Kompilasi Hukum Islam pasal 2 juga disebutkan bahwa:

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi>s\a>qan gali>z}an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[6]

Selain bertujuan untuk memperoleh kehidupan yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perkawinan juga bertujuan untuk melaksanakan libido seksualitas atau pemenuhan kebutuhan biologis. Allah berfirman :
أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلى نساءكم هن لبا س لكم وأنتم لبا س لهن4  علم الله أنكم
كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم وعفا عنكم  ( [7]
Tujuan yang lain adalah untuk memperoleh keturunan atau reproduksi[8], menjaga kehormatan dan ibadah.[9]
Apabila diperhatikan bahwa pernikahan itu merupakan akad yang sangat kuat atau mi>s\a>qan gali>z}}an. Ini dapat dipahami bahwa pernikahan itu tidak hanya menghubungkan antara dua manusia dari jenis kelamin yang berbeda melainkan juga menghubungkan dua keluarga besar yaitu keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga dari pihak perempuan. Kedua keluarga yang mulanya berdiri sendiri kemudian menjadi satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, dari sudut pandang sosiologi, bahwa perkawinan yang semula hanya perpaduan dua insan, dapat menjadi sarana pemersatu dua keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu.
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa perkawinan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga karena keluarga adalah merupakan unit terkecil dari masyarakat. Dari keluarga inilah yang akan membentuk warga masyarakat yang pada akhirnya  menjadi sebuah negara. Apabila keluarga itu sehat maka sehat pula suatu bangsa. Oleh karena itu Islam melihat keluarga sebagai sendi dasar bermasyarakat. Apabila terjadi kawin cerai maka dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan keluarga tersebut tidak sehat.
Banyak hal dalam agama yang perlu batasan-batasan seperti talak satu, dua, dan tiga. Ketentuan batasan ini agar kesempatan untuk dapat kembali hidup bersuami istri bagi mereka yang bersangkutan agak luas. Kesempatan dapat kembali bersuami istri diberikan sampai dua kali itu diharapkan masing-masing suami istri dapat memperbaiki hal-hal yang menyebabkan tidak adanya persesuaian antara mereka sehingga apabila mereka berhasil memperbaiki kelangsungan hidup perkawinan antara mereka akan dapat terjamin tanpa ada pihak yang mengalami tekanan-tekanan batin. Selain itu juga bermaksud supaya orang tidak main-main terhadap sesuatu yang dilindungi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dan hal tersebut merupakan hak Allah.  
Batasan talak di atas dapat dijadikan sebagai batasan kawin cerai. Dapat dikatakan sebagai kawin cerai apabila seseorang itu berulang-ulang melakukan perkawinan dan perceraian minimal tiga kali dengan pasangan yang berbeda-beda dan perceraiannya itu tidak disertai alasan yang dapat dibenarkan. Mereka melakukan perkawinan hanyalah untuk mencicipi dan merasakan saja dan setelah puas iapun bercerai lagi.
Dalam agama katolik itu sendiri melarang keras terhadap penganutnya bercerai. Perceraian dalam agama katolik merupakan pelanggaran terhadap hukum yang mengakibatkan seseorang yang bercerai tidak boleh melakukan perkawinan kembali. Perceraian hanya terjadi karena kematian salah seorang dari suami istri. Islam membolehkan perceraian setelah dalam keadaan yang sudah tidak memungkinkan lagi bagi seorang pasangan untuk kembali hidup rukun. Dan Islam sendiri tidak membenarkan adanya perilaku kawin cerai.
Oleh karena itu, perilaku kawin cerai sangat tidak mengindahkan hakikat dari perkawinan itu yaitu mi>s\a>qan gali>z}an. Seolah-olah perceraian itu dianggap hal yang biasa. Padahal perceraian itu merupakan jalan terakhir setelah upaya perdamaian tidak lagi dicapai. Dampak  atau akibat perceraian sangat berpengaruh terhadap keluarga besar kedua belah pihak dan jika sudah mempunyai keturunan, maka akan membawa dampak terhadap keturunannya.
 Merujuk kepada fenomena kawin cerai, undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam belum ditemukan adanya pasal yang secara khusus mengatur tentang perilaku kawin cerai. Oleh karena itu perlu adanya aturan khusus atau hukum yang mengatur dan menindaklanjuti perilaku kawin cerai. Aturan tersebut bersifat pemberian sanksi hukum terhadap pelaku kawin cerai, supaya mereka tidak main-main terhadap sesuatu yang sangat dibenci dan mendatangkan murka Allah.
Dengan latar belakang inilah, penyusun merasa perlu untuk membahas lebih jauh mengenai tinjauan hukum Islam bagi pelaku “kawin cerai” yang merupakan sebuah studi eksplorasi dan akan dijadikan bahan dalam penyusunan skripsi.

  1. Pokok Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang dapat dikaji dan dibahas antara lain :
1.      Bagaimanakah kemungkinan pemberian sanksi hukum bagi pelaku kawin cerai ?
2.      Adakah landasan hukum yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam memberikan sanksi hukum bagi pelaku kawin cerai ? 
  1. Tujuan Dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah :
a.       Untuk menjelajahi kemungkinan sanksi hukum yang dapat diberikan  bagi pelaku kawin cerai.
b.      Untuk mengetahui  hukum yang berkaitan dengan pelaku kawin cerai.
Sedangkan kegunaannya adalah :
a.   Memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah adanya kawin cerai yang banyak terjadi sekarang ini.
b.   Untuk memperkaya khazanah keilmuan dan pengetahuan  tentang hukum Islam terutama yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian.

  1. Telaah Pustaka
Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Ini adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak. Akan tetapi, perkawinan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata sehingga dalam pelaksanaan perkawinan harus diperhatikan tata cara, persyaratan dan rukun-rukunnya. Sedangkan perceraian itu merupakan sesuatu yang halal yang sangat dibenci oleh Allah. Perkawinan dan perceraian dapat diibaratkan dua sisi mata uang logam, karena perkawinan dan perceraian merupakan hukum alam yang tidak bisa ditolak atau dirubah, dan akan terus berlangsung sampai kehidupan ini tidak ada lagi sesuatu yang hidup.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam pada Buku I tentang Hukum Perkawinan tidak ada pasal yang secara spesifik mengatur tentang kawin cerai. Setelah melakukan penelaahan terhadap berbagai sumber, penyusun menemukan karya yang membahas tentang fenomena kawin cerai dengan judul Perceraian Yang Indah (Membongkar Fenomena Kawin Cerai Selebritis) karya Muhammad Muhyidin. Dalam karya tersebut, penulis menjelaskan bahwa perilaku kawin cerai itu disebabkan karena tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan dalam perkawinannya yang pertama. Morteza Mutahhari dalam bukunya yang berjudul Wanita dan Hak-Haknya Dalam Islam menerangkan bahwa dalam agama katolik perceraian itu dilarang keras. Dalam agama tersebut dijelaskan bahwa pernikahan adalah merupakan ikatan suci sehidup semati yang tidak dapat diputuskan hanyalah maut yang dapat memisahkan mereka.
Selain itu penyusun juga menemukan skripsi tentang Hukum Menikah Dengan Niat Cerai (Studi Terhadap Pemikiran Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mugni) karya Syihabudin al-Fatah. Dalam karya tersebut, penyusun hanya membahas tentang seseorang yang melakukan perkawinan dengan niatan akan menceraikan istrinya setelah kebutuhan libido seksualnya terpenuhi. Akan tetapi penyusun belum menemukan karya yang membahas dari segi tinjauan hukum Islam bagi pelaku kawin cerai. Oleh karena itu penyusun sangat tertarik untuk membahas hal tersebut. Selain dari sumber di atas, penyusun juga dibantu dengan buku-buku yang membahas tentang masalah perkawinan dan perceraian dan juga artikel-artikel yang berkaitan dengan pembahasan penyusun.

  1. Kerangka Teoritik
Syari’at Islam merupakan hukum yang bersifat universal. Dengan keuniversalannya ini hukum Islam mampu memenuhi kebutuhan manusia dari zaman ke zaman dengan berdasar nas} (al-Qur’an dan H{adis\) yang menjamin kelengkapan dan keabadian. Bagi kaum muslim al-Qur’an sebagai wahyu Allah merupakan sumber dari segala sumber hukum yang menjadi acuan dalam menegakkan keadilan dan bahkan menjadi sumber yang abadi. Di antara kandungan dari ayat-ayat tersebut adalah menyangkut hukum yang mengatur hubungan manusia dengan kholiqnya, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan makhluk lain di alam ini. Di dalam menjelaskan tentang hukum, masih banyak ayat-ayat yang sifatnya global dan implisit. Oleh karena itu hadis\ bersifat menjelaskan prinsip-prinsip hukum yang masih bersifat umum.
Seiring dengan perkembangan zaman dan banyaknya permasalahan-permasalahan baru yang muncul yang hukumnya tidak ada dalam al-Qur’an dan h}adis\, maka para ulama berupaya untuk menjawab segala permasalahan yang muncul itu dengan ijtihad.
Di dalam al-Qur’an telah ditegaskan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, baik dalam kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya. Sebagaimana firman Allah :
يأيهاالناس إناخلقنكم من ذكروأنثى وجعلنكم شعوبا وقبا ئل لتعارفوا 4 [10]

Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan kasih sayang antara suami dan istri. Anak dari hasil  perkawinan yang sah akan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia yang harmonis, sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Adapun tujuan dari pernikahan itu adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, sakinah, mawaddah, dan rahmah sesuai dengan firman Allah :
ومن ءايته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة 4 إن في ذالك لأ يت لقوم يتفكرون[11]
Untuk dapat mencapai tujuan itu dapat dicapai secara sempurna apabila tujuan yang lainnya dapat terpenuhi.
Hubungan suami istri adalah hubungan cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya, ikatan perkawinan pada dasarnya tidak hanya dapat dibatasi dengan pelayanan yang bersifat material dan biologis saja. Akan tetapi kebutuhan yang bersifat material dan biologis hanyalah sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi dan lebih mulia yakni kebutuhan rohani, cinta, kasih sayang dan barokah dari Allah.[12]
Sejalan dengan prinsip perkawinan dalam Islam yang menghendaki bahwa akad perkawinan itu pada prinsipnya adalah sekali untuk selamanya, dan tidak boleh dibatasi dalam waktu tertentu,[13] akan tetapi kalau diantara suami isteri itu sudah tidak mungkin untuk dipersatukan lagi, Islam memperkenankan kepada keduanya untuk bercerai. Hanya saja yang harus diperhatikan bahwa perceraian itu merupakan pintu darurat dan tidak ada jalan keluar lagi serta berbagai upaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya sudah ditempuh tetapi tidak berhasil kecuali dengan jalan perceraian.
Maraknya fenomena kawin cerai yang terjadi sekarang ini, kebanyakan disebabkan kesalahan dalam mengawali mahligai perkawinan. Fenomena kawin cerai yang berkali-kali, menunjukkan adanya ketidakseriusan dalam mengerjakan salah satu perkara yang sungguh-sungguh, yakni perkawinan. Apabila perkawinan dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka mustahil akan terjerumus dalam perceraian. Dalam Islam perkawinan yang hanya sebatas ingin mencicipi, sekedar merasakan atau kawin cerai dilarang. Dalam h}adis\ yang dikutip oleh ulama H{anafiyah dan H{anabilah Nabi bersabda bahwa Allah melaknat orang-orang (suami) yang suka mencicipi, merasakan wanita (kawin cerai).[14]
Perceraian merupakan sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah. Kata-kata “sangat dibenci” dapat dipahami dengan sanksi atau hukuman. Apabila dilihat bahwa fenomena kawin cerai yang sering terjadi sekarang ini lebih banyak membuktikan pelanggaran-pelanggaran terhadap tanggung jawab, hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga.  
Pada dasarnya Islam mempersempit pintu perceraian. Dalam hubungannya dengan hal ini dapat diperoleh ketentuan bahwa aturan talak atau cerai hanya diadakan guna mengatasi hal-hal yang memang sudah dalam keadaan sangat mendesak. Perceraian yang dilakukan tanpa adanya alasan tidaklah diperbolehkan, karena dapat menimbulkan mudarat bagi dirinya sendiri dan juga istrinya serta tidak membawa manfaat sama sekali, sesuai dengan kaidah :
درء المفاسدأولى/مقدم على جلب المصالح[15]

Begitu juga apabila pasangan tersebut sudah dikaruniai keturunan, maka cerai juga akan berdampak terhadap keturunannya. Rasulullah SAW bersabda :

أبغض الحلال إلى الله الطلاق[16]
Dalam lafaó yang lain disebutkan
ما أحل الله شيئا أبغض إليه من الطلاق[17]

Oleh karenanya ikatan perkawinan yang merupakan akad yang sangat kuat (mi>s\a>qan gali>z}an) haruslah dijaga dengan sebaik-baiknya. Karena perkawinan itu tidak hanya menghubungkan antara dua jenis laki-laki dan perempuan. Akan tetapi perkawinan juga menghubungkan antara dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan perempuan.
Adapun tujuan diciptakannya suatu hukum yaitu untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan serta menjaga kepentingan setiap manusia dari gangguan. Begitu juga diciptakannya hukum Islam yaitu untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia maupun kemaslahatan di akhirat kelak.[18] Selain itu dari segi sosiologi bahwa hukum itu bertujuan untuk mengatur dan melindungi masyarakat. Agar tujuan tersebut dapat terwujud, maka hukum menentukan norma-norma yang berisi aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh setiap orang baik itu yang bersifat norma-norma moral ataupun sosial. Oleh karena itu hukum berisi perintah dan larangan serta sanksi bagi pelanggarnya. Dengan kata lain bahwa hukum itu berfungsi sebagai sosial control sekaligus sebagai sosial enginering. Apabila melihat tujuan diciptakan suatu hukum di atas, maka terhadap pelaku kawin cerai itu perlu diberi sanksi atau tidak.
Dari uraian di atas, maka landasan pertama yang digunakan dalam menjelaskan segala permasalahan adalah nas} yang berupa al-Qur’an dan h}adis\ Nabi. Dan ketika suatu permasalahan yang tidak terdapat dalam nas}, maka tugas para mujtahid untuk merumuskan ketentuan masalah tersebut. Adapun dasar teori dalam penyusunan skripsi ini adalah teori sad al-z\ari>ah yaitu menutup atau menghambat jalan atau wadah yang dapat diduga membawa kepada kerusakan atau mafsadat[19]. Dalam hal kawin cerai teori ini berfungsi untuk mencegah adanya kawin cerai. Dan teori maslahah mursalah yaitu kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh Syari’ dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan disamping tidak ada dalil yang membenarkan atau menyalahkan.[20] Oleh karena itu dalam melaksanakan ijtihad, peranan sad al-z\ari>ah dan maslahah mursalah sangatlah diperlukan  untuk menemukan hukum baru oleh para mujtahid sebab nas} sebagai sumber hukum Islam sangat memperhatikan prinsip kemaslahatan. Kemaslahatan yang diinginkan oleh hukum Islam bersifat universal, duniawi dan ukhrawi.
Selain nas} yang menjadi pedoman hidup, maka undang-undang pun mempunyai peranan penting dalam mengatur urusan masyarakat, karena negara kita adalah negara yang berlandaskan hukum sehingga semua aspek yang berkaitan dengan sesama dan negara sudah banyak diatur oleh negara.  

  1. Metode Penelitian
Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka didalam penyusunan karya tulis ini menggunakan seperangkat metode penelitian yang dapat menunjang dan mengarahkan untuk dapat menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan agar sebuah karya ilmiah dapat mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dengan menggunakan metode ilmiah. Adapun penyusun di dalam menyusun karya ilmiah ini menggunakan metode sebagai berikut :
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan (library research) yaitu sebuah kajian yang menjadikan buku-buku tentang perkawinan dan perceraian serta liteatur- literatur yang berkaitan dengan masalah kawin cerai sebagai sumber datanya yang lebih bersifat dokumenter.[21]
2.      Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat Ekploratori, yaitu menjelajahi tentang suatu obyek permasalahan secara sistematis dan obyektif serta memberikan penjelasan dan penilaian secara cermat dan tepat terhadap obyek kajian kemudian menganalisanya lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan. Dalam penelitian ini penyusun adakan menjelajahi tentang fenomena kawin cerai kemudian menganalisa lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan.
3.      Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam menyusun skripsi ini adalah :
a.       Pendekatan Normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada  dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah untuk ditelusuri sehingga dapat diketahui landasan hukum yang dapat dijadikan rujukan sehingga dapat menilai tentang perilaku kawin cerai menurut hukum Islam.
b.      Pendekatan Yuridis, yaitu pendekatan yang didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku. Hal ini bermaksud untuk menganalisa terhadap perilaku kawin cerai kemudian dicoba didekati dengan norma hukum yang ada dengan mengambil ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
4.      Teknik Pengumpulan Data
Adapun data-data yang digunakan adalah data pustaka dari buku-buku dan kitab-kitab yang membahas tentang pernikahan dan perceraian serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah kawin cerai.

  1. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi ini secara global dan lebih sistematis sesuai dengan apa yang diharapkan, maka penyusun membuat sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab Pertama: Merupakan pendahuluan yang akan menjelaskan tentang latar belakang masalah, pokok-pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua: Memaparkan pengertian perkawinan dan perceraian menurut hukum Islam maupun menurut Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam.
Bab Ketiga: Menjelaskan tinjauan umum tentang kawin cerai, sebab-sebab kawin cerai serta dampak dari kawin cerai.
Bab Keempat: Menganalisis fenomena tersebut, kemudian apakah dimungkinkan  adanya aturan baru yang dapat dijadikan  pedoman aturan  hukum terhadap pelaku kawin cerai. Dan bagaimana hukum Islam dalam menyikapi hal tersebut.
Bab Kelima: Berisi penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran.





[1] An-Nisa>’ (4) : 19.

[2] Kawin-cerai : perkawinan yang dilakukan oleh seseorang secara berulang-ulang terhadap pasangan yang berbeda-beda (kawin kemudian cerai, kawin lagi dan cerai lagi begitu seterusnya) seakan-akan melakukan perkawinan hanya untuk memenuhi kebutuhan libido seksualnya dengan perempuan lain. Dan setelah merasa puas, ia akan mudah menceraikannya tanpa alasan yang jelas, kemudian ia melakukan perkawinan lagi dengan pasangan yang lain dan anehnya merekapun bercerai lagi dengan alasan yang tidak jelas. Mereka melakukan perkawinan hanyalah untuk mencicipi dan merasakan saja dan setelah puas ia pun bercerai lagi dan hal ini terjadi secara berulang-ulang. Padahal dalam hadis\ ditegaskan bahwa Allah melaknat orang yang suka mencicipi, merasakan wanita (kawin cerai). Adapun batasan bisa dikatakan kawin cerai adalah orang tersebut melakukan kawin cerai berulang-ulang dengan pasangan yang berbeda minimal tiga kali dan alasan perceraiannya tidak dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan bahwa dalam Islam sendiri talak itu dibatasi yaitu talak satu, dua, dan tiga.

[3] Muhammad Muhyidin, Perceraian Yang Indah, Membongkar Fenomena Kawin Cerai Selebritis, (Yogyakarta : Matahati, 2005), hlm. 26.

[4] Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami Istri (Hukum Perkawinan I), cet. ke- 1 (Yogyakarta : Academia & Tazaffa, 2004), hlm. 35.

[5] Undang-Undang  No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Surabaya : Arkola, t.t.), hlm. 5.

[6] Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya : Arkola, t.t.), hlm. 180.

[7] Al-Baqarah (2) : 187.
[8] Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, cet. ke- 1 (Bandung : CV Pustaka Setia 1999), hlm. 13.

[9]  Khoiruddin Nasution,  Islam Tentang . ,  hlm. 43-44.
[10] Al-Hujura>t (49) : 13.

[11] Ar-Ru>m (30) : 21.
[12] Khoiruddin Nasution,  Islam Tentang . , hlm. 36.

[13] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. ke- 10 (Yogyakarta: : UII press, 2004), hlm.71.
 [14] Al-Sayyid Sabiq, Al-Fiqh as-Sunnah, (t.t.p : Da>r al-S|aqo>fah al-Isla>miyyah), II; 155-156.

[15] Abdullah Ibn Muhammad ‘Abadi>, Iz}a>h}u al-Qawa>’id al-Fiqhiyah, (Surabaya: Hidayah, t.t. ), hlm . 44.
[16] Abu Da>wud, Sunan Abi Da>wud, Kitab at-T}ala>q, Bab Karahiyyat at-T}ala>q (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. ), II, 255, hadis\ no. 2178.

[17] Ibid., hlm. 255.

[18] Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, cet. ke- 2 (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hlm. 65.
[19] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqa>s}id asy-Syari>’ah Menurut al-Syatibi, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 151.

[20] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Us}u>l al-Fiqh, alih bahasa K.H. Masdar Helmy, cet. ke-2 (Bandung: Gema Risalah Press, 1999), hlm. 142.
[21] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset,1990), hlm. 9.

1 komentar:

  1. Betway | Casino and Resort Jobs | JT Hub
    Find the job near you 충청남도 출장마사지 on the 세종특별자치 출장샵 JT Hub hiring page. You'll find 광주 출장마사지 details 강원도 출장샵 on jobs, 문경 출장샵 skills, education, job security,

    BalasHapus